Interpretasi “Blusukan” Presiden
Ahmad Sahide
Kata
“Blusukan” tiba-tiba menjadi bahasa yang populer dalam kamus politik Indonesia
di awal tahun 2013 ini. Semua berawal dari kunjungan ‘mendadak’ Presiden Susilo
Bambang Yudoyono (SBY) ke tempat pelelangan ikan di Kampung Nelayan Tanjung
Pasir, Teluk Naga, Tangeran, Banten pada hari Jum’at, 4 Januari 2013. Kunjungan
atau istilah politik lainnya “blusukan” SBY ini pun mendadak menjadi perhatian
media nasional, baik cetak maupun elektronik.
Presiden SBY, selaku pribadi, tentu sedih dengan sorotan media akan
pemberitaan kunjungannya yang diberitakan dengan kesan negatif. Publik, melalui
pemberitaan, media menangkap makna lain dari “blusukan” Presiden SBY tersebut.
Artinya bahwa publik memberikan penafsiran lain dari ‘makna’ kunjungan tersebut
yang dituturkan oleh Presiden SBY dan para pembantu terdekatnya. Presiden SBY
dan orang-orang dalam lingkarannya boleh kesal, tetapi juga harus menyadari
proses berjalannya act of interpretation (tindakan interpretasi) dari media
dan publik akan “blusukannya” tersebut.
Hakikat Interpretasi
Ada
dua hal penting diperhatikan dalam proses menginterpretasi, Prof. Dr. Siti
Chamamah Soeratno, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya dan Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada (UGM), membahasakannya dengan istilah ‘hakikat
intepretasi’. Kedua hal tersebut adalah “kertas/teks” dan “pembaca/ pendengar”.
Relasi kedua hakikat tersebut terbangun melalui komunikasi (medium) dan pesan
yang ingin disampaikan oleh “kertas/teks” tersebut sangat dipengaruhi oleh
personaliti atau appearance (penampilan) dari pihak komunikator,
termasuk teks yang dibaca – teks bisa berupa kata atau gambar.
Begitu
pun juga dengan pihak interpreter (pembaca/pendengar), juga bisa disebut
sebagai konsumer. Konsumer, dalam act of interpretation, sangat
dipengaruhi oleh bahan yang dia miliki. Prof. Chamamah memberikan analogi yang
bagi saya cukup menarik. Baginya, otak manusia itu ibaratnya storage
(gudang/tempat penyimpanan). Semakin banyak bahan (bacaan, informasi, pengalaman,
dll) yang tersimpan di dalam gudang tadi, maka hal itu akan menjadi bekal dalam
proses menginterpretasi di dalam menerima pesan dari teks tadi, dan bekal
tersebut mempengaruhi ekspresi/tindakan. Hal itu karena Interpretasi merupakan usaha yang kreatif yang sangat tergantung pada
wawasan dan imaginasi dari peneliti (interpreter). Oleh karena itu, teks
yang satu sering kali dipahami berbeda antara penerima teks yang satu dengan
penerima teks yang lainnya. Hal itu karena dipengaruhi oleh bahan yang tersimpan
di dalam storage tadi. Maka dari itu, semakin banyak bahan yang
tersimpan di dalam storage atau otak kita, semakin kita mampu memberikan
interpretasi yang lebih utuh (komprehensif) dari hakikat yang pertama (teks).
Kembali
kepada “blusukan” presiden. Kunjungan presiden dan rombongannya tersebut adalah
teks yang harus ditafsirkan oleh interpreter (pembaca/pendengar). Yang
bertindak selaku interpreter dalam hal ini adalah publik secara luas; media dan
masyarakat pada umumnya. Dalam act of interpretation tersebut, ada
memori publik (storage) akan sosok Presiden SBY yang mempengaruhi.
Selama menjabat sebagai presiden, SBY dikenal sebagai presiden yang sangat
mendewakan ‘pencitraan’ politik. Publik punya kesan tersendiri akan Presiden
SBY bahwa ia adalah presiden yang lebih mendahulukan citra daripada
kemaslahatan publik.
Storage inilah yang mempengaruhi proses pemaknaan negatif akan kunjungan
mendadak presiden tersebut pada hari Jum’at lalu. Karena SBY sudah
dipersepsikan sebelumnya sebagai presiden yang selalu melakukan pencitraan
politik, sehingga kunjungannya tersebut kembali dilihat, dimaknai, dan
diinterpretasikan sebagai bagian dari upaya pencitraan politik Presiden SBY di
mana citra pemerintahan dan partainya, Partai Demokrat, semakin anjlok di mata
publik. Seperti inilah gaya politik SBY yang dikenal publik selama ini. Oleh
karena itu, Presiden boleh kesal dengan berbagai pemberitaan miring akan
kunjungannya tersebut, tetapi ia juga harus menyadari bahwa ia juga sebetulnya
telah mengkonstruk ‘teks-teks’ lain yang turut serta mempengaruhi act of
interpretation publik tersebut.
Faktor (teks)
lainnya yang mempengaruhi kemiringan pemberitaan “blusukan” presiden tersebut
adalah Joko Widodo (Jokowi), Gubernur baru DKI Jakarta. Jokowi, setelah resmi
dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta sering kali turun ke lapangan, ke
tempat-tempat kumuh untuk berdialog dengan rakyat. Kepemimpinan gaya Jokowi
ini, merakyat dan sering turun langsung, menjadikannya sebagai salah satu
pemimpin fenomenal yang disanjung-sanjung oleh publik secara luas. Jokowi kini
menjadi figur pemimpin yang tidak kalah menarik, populer, dari SBY. Karena
Jokowi melakukannnya lebih duluan, maka “blusukan” Presiden SBY pun dianggap
meniru gaya Jokowi yang sukses mengangkat popularitasnya dan Gubernur yang
dicinta rakyat Jakarta.
Citra SBY sebagai
presiden dengan ciri khas pencitraannya tidak lepas dari kunjungannya tersebut.
SBY dilihat ingin mengangkat popularitas dan citra diri dan partainya, yang
kini anjlok, dengan “blusukannya” tersebut. Bahwa presiden sedang melakukan
pencitraan politik dan mengikuti gaya Gubernur Jokowi sulit hilang dalam act
of interpretation tersebut. Dan Presiden SBY dan orang-orang lingkarannya
tidak bisa memaksakan tindakan interpretasi publik tersebut. Ada teks lain dalam
proses penginterpretasian ini yang sepertinya luput dari pembacaan dan kontrol
presiden.
Ahmad Sahide
Mahasiswa Program Doktor
Agama dan Lintas Budaya
Kajian Timur Tengah
Sekolah Pascasarjana, UGM
Yogyakarta, 8 Januari 2013
Alamat : Jl. Nitipuran no. 313
A, Ngestiharjo, Bantul, Yogyakarta
Nomor kontak: 085292039650
Tidak ada komentar:
Posting Komentar