Selasa, 22 Januari 2013

Interpretasi “Blusukan” Presiden



Interpretasi “Blusukan” Presiden
Ahmad Sahide
            Kata “Blusukan” tiba-tiba menjadi bahasa yang populer dalam kamus politik Indonesia di awal tahun 2013 ini. Semua berawal dari kunjungan ‘mendadak’ Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) ke tempat pelelangan ikan di Kampung Nelayan Tanjung Pasir, Teluk Naga, Tangeran, Banten pada hari Jum’at, 4 Januari 2013. Kunjungan atau istilah politik lainnya “blusukan” SBY ini pun mendadak menjadi perhatian media nasional, baik cetak maupun elektronik.
Presiden SBY, selaku pribadi, tentu sedih dengan sorotan media akan pemberitaan kunjungannya yang diberitakan dengan kesan negatif. Publik, melalui pemberitaan, media menangkap makna lain dari “blusukan” Presiden SBY tersebut. Artinya bahwa publik memberikan penafsiran lain dari ‘makna’ kunjungan tersebut yang dituturkan oleh Presiden SBY dan para pembantu terdekatnya. Presiden SBY dan orang-orang dalam lingkarannya boleh kesal, tetapi juga harus menyadari proses berjalannya act of interpretation (tindakan interpretasi) dari media dan publik akan “blusukannya” tersebut.

Hakikat Interpretasi

            Ada dua hal penting diperhatikan dalam proses menginterpretasi, Prof. Dr. Siti Chamamah Soeratno, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya dan Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), membahasakannya dengan istilah ‘hakikat intepretasi’. Kedua hal tersebut adalah “kertas/teks” dan “pembaca/ pendengar”. Relasi kedua hakikat tersebut terbangun melalui komunikasi (medium) dan pesan yang ingin disampaikan oleh “kertas/teks” tersebut sangat dipengaruhi oleh personaliti atau appearance (penampilan) dari pihak komunikator, termasuk teks yang dibaca – teks bisa berupa kata atau gambar.
            Begitu pun juga dengan pihak interpreter (pembaca/pendengar), juga bisa disebut sebagai konsumer. Konsumer, dalam act of interpretation, sangat dipengaruhi oleh bahan yang dia miliki. Prof. Chamamah memberikan analogi yang bagi saya cukup menarik. Baginya, otak manusia itu ibaratnya storage (gudang/tempat penyimpanan). Semakin banyak bahan (bacaan, informasi, pengalaman, dll) yang tersimpan di dalam gudang tadi, maka hal itu akan menjadi bekal dalam proses menginterpretasi di dalam menerima pesan dari teks tadi, dan bekal tersebut mempengaruhi ekspresi/tindakan. Hal itu karena Interpretasi merupakan usaha yang kreatif yang sangat tergantung pada wawasan dan imaginasi dari peneliti (interpreter). Oleh karena itu, teks yang satu sering kali dipahami berbeda antara penerima teks yang satu dengan penerima teks yang lainnya. Hal itu karena dipengaruhi oleh bahan yang tersimpan di dalam storage tadi. Maka dari itu, semakin banyak bahan yang tersimpan di dalam storage atau otak kita, semakin kita mampu memberikan interpretasi yang lebih utuh (komprehensif) dari hakikat yang pertama (teks).
            Kembali kepada “blusukan” presiden. Kunjungan presiden dan rombongannya tersebut adalah teks yang harus ditafsirkan oleh interpreter (pembaca/pendengar). Yang bertindak selaku interpreter dalam hal ini adalah publik secara luas; media dan masyarakat pada umumnya. Dalam act of interpretation tersebut, ada memori publik (storage) akan sosok Presiden SBY yang mempengaruhi. Selama menjabat sebagai presiden, SBY dikenal sebagai presiden yang sangat mendewakan ‘pencitraan’ politik. Publik punya kesan tersendiri akan Presiden SBY bahwa ia adalah presiden yang lebih mendahulukan citra daripada kemaslahatan publik.
Storage inilah yang mempengaruhi proses pemaknaan negatif akan kunjungan mendadak presiden tersebut pada hari Jum’at lalu. Karena SBY sudah dipersepsikan sebelumnya sebagai presiden yang selalu melakukan pencitraan politik, sehingga kunjungannya tersebut kembali dilihat, dimaknai, dan diinterpretasikan sebagai bagian dari upaya pencitraan politik Presiden SBY di mana citra pemerintahan dan partainya, Partai Demokrat, semakin anjlok di mata publik. Seperti inilah gaya politik SBY yang dikenal publik selama ini. Oleh karena itu, Presiden boleh kesal dengan berbagai pemberitaan miring akan kunjungannya tersebut, tetapi ia juga harus menyadari bahwa ia juga sebetulnya telah mengkonstruk ‘teks-teks’ lain yang turut serta mempengaruhi act of interpretation publik tersebut.
Faktor (teks) lainnya yang mempengaruhi kemiringan pemberitaan “blusukan” presiden tersebut adalah Joko Widodo (Jokowi), Gubernur baru DKI Jakarta. Jokowi, setelah resmi dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta sering kali turun ke lapangan, ke tempat-tempat kumuh untuk berdialog dengan rakyat. Kepemimpinan gaya Jokowi ini, merakyat dan sering turun langsung, menjadikannya sebagai salah satu pemimpin fenomenal yang disanjung-sanjung oleh publik secara luas. Jokowi kini menjadi figur pemimpin yang tidak kalah menarik, populer, dari SBY. Karena Jokowi melakukannnya lebih duluan, maka “blusukan” Presiden SBY pun dianggap meniru gaya Jokowi yang sukses mengangkat popularitasnya dan Gubernur yang dicinta rakyat Jakarta.
Citra SBY sebagai presiden dengan ciri khas pencitraannya tidak lepas dari kunjungannya tersebut. SBY dilihat ingin mengangkat popularitas dan citra diri dan partainya, yang kini anjlok, dengan “blusukannya” tersebut. Bahwa presiden sedang melakukan pencitraan politik dan mengikuti gaya Gubernur Jokowi sulit hilang dalam act of interpretation tersebut. Dan Presiden SBY dan orang-orang lingkarannya tidak bisa memaksakan tindakan interpretasi publik tersebut. Ada teks lain dalam proses penginterpretasian ini yang sepertinya luput dari pembacaan dan kontrol presiden.
Ahmad Sahide
Mahasiswa Program Doktor
Agama dan Lintas Budaya
Kajian Timur Tengah
Sekolah Pascasarjana, UGM
Yogyakarta, 8 Januari 2013

Alamat                        : Jl. Nitipuran no. 313 A, Ngestiharjo, Bantul, Yogyakarta
Nomor kontak: 085292039650



Tidak ada komentar:

Posting Komentar