Minggu, 27 Januari 2013

Cerita di Balik Menulis: Antara Pram dan Helvy Tiana Rosa



Cerita di Balik Menulis: Antara Pram dan Helvy Tiana Rosa
Darwin
            “Menulis itu gampang,” kata budayawan dan penulis kondang Arswendo Atmowiloto. Apakah ujaran yang sangat populer dari Arswendo itu benar adanya? Apakah karena ia sudah menghasilkan puluhan buku dan artikel, sehingga seenaknya saja ia mengatakan bahwa menulis itu gampang? Terlepas dari konteks apa pun dan subjektivitas individu seorang Arswendo, saya meyakini bahwa menulis itu tidak mudah. Butuh keseriusan hidup dalam menjalaninya.
            Jika kita bicara tentang dunia menulis, tentu tidak bisa tidak, pikiran kita akan tertuju pada  bolpoin, kertas, lontar, dan mesin kettik, yang sekarang bersalin rupa menjadi komputer. Bahkan, saat ini  muncul komputer tablet yang menjadikan aktivitas menulis bisa dilakukan di mana saja. Jika pikiran kita hanya sebatas ini, bisa dipastikan tesis Arswendo di atas benar adanya. Tinggal torehkan isi pikiran di atas kertas dengan sebuah bolpoin, atau letakkan jari-jari di atas keyboard laptop, maka akan jadilah sebuah tulisan. Gampang!  Namun, persoalan menulis tidak hanya bicara bolpoin dan kertas saja, tetapi ada banyak yang mengitarinya. Di balik bulir padi yang bernas, ada pupuk, air, juga tentu saja kerja keras dan doa seorang petani. Di balik rekahnya kuncup mawar, ada perhatian dari pemiliknya yang setiap paginya selalu menyemprotkan air, bahkan “membelai” dan menyenandungkan sebuah lagu, laiknya merawat seorang bayi.
            Menulis tidak hanya sekadar toreh-menoreh di kertas atau Microsoft word di komputer. Setidaknya, ini bisa dilihat pada sastrawan besar milik bangsa Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Di balik karya monumental hasil jari-jarinya, ada buku yang menemani. Ada penderitaan yang diakrabi. Dan, yang menarik bagi saya adalah sisi ketekunan seorang Pram, panggilan akrabnya. Dari berbagai literatur, ia adalah dokumentator peristiwa yang “gila”. Ia adalah pengliping koran sejati. Sehingga lahirlah Kronik Revolusi yang terkenal itu berdasarkan klipingan koran yang dilakukannya di sekitar era revolusi Indonesia. Bahkan, Tetralogi Burunya yang fenomenal itu lahir dari tradisi merawat sejarah yang dilakukannya ini. Tetralogi ini berdasarkan kliping mahasiswa Universitas Res Publica saat Pram mengajar Sejarah di sana. Pram mewajibkan mahasiswanya mengumpulkan koran dari akhir abad 19 hingga awal abad 20 (Astuti Ananta Toer, ed, 2009: 481). Tentu saja banyak lika-liku hidup yang dialami Pram lainnya, di balik dunia menulis yang menjadi laku hidupnya. Buku-bukunya dilarang, bahkan dimusnahkan. Ia tidak dianggap sebagai warga negara berkat stereotype Orba, dan hampir separuh hidupnya dijalani dalam penjara.

Helvy Tiana Rosa
            Helvy Tiana Rosa, nama yang kita akrabi di jagat kepenulisan dalam dua dasawarsa terakhir. Ia adalah pendiri Forum Lingkar Pena yang telah mengorbitkan banyak penulis di Tanah Air. Novelnya “Ketika Mas Gagah Pergi” begitu tenar hingga dicetak berpuluh-puluh kali.
Nah, di balik keasyikannya menulis, tersimpan hal-hal yang patut kita tiru atau setidaknya menjadi refleksi hidup dalam menjalani laku menulis. Helvy Tiana Rosa mengalami penderitaan hidup sewaktu kecil. Rumahnya yang berada di sekitaran pinggir rel di daerah Gunung Sahari, Jakarta Selatan ketika itu hanya terbuat dari tripleks dan kardus saja. Meskipun kemiskinan menderanya, menurut penuturannya kepada Koran Tempo, tetap saja ia berusaha mengkomsumsi lima  buku dalam sehari (Koran Tempo, 6 Januari 2013).
Tidak hanya sebatas ini, Helvy juga melakukan hal “gila” ketika ia belum menjadi penulis masyhur seperti sekarang. Masih dalam penuturannya kepada Koran Tempo, ia bahkan mengamen puisi di Taman Ismail Marzuki, di hadapan para sastrawan seperti Taufiq Ismail dan Putu Wijaya demi mendapatkan uang untuk membeli buku dan mesin ketik.
Kultur membaca yang kuat, itulah yang menjadi keseharian kakak kandung Asma Nadia ini. Helvy Tiana Rosa menekankan pentingnya membaca ini dengan mengutip Muhammad Iqbal, “Bagi anak muda, wajib membaca lima macam buku setiap minggu. Pertama buku yang diminati. Kedua, buku yang sangat tidak diminati. Ketiga, buku kontemporer. Keempat, buku tentang agamamu. Dan yang kelima, bebas, itu bonus.” (Koran Tempo, 6 Januari 2013).
Begitulah secuil cerita di balik menulis. Masih banyak pengalaman-pengalaman hebat lainnya di kitaran kehidupan seorang penulis. Sekadar pelengkap, budayawan Radhar Panca Dahana mengaku kehilangan sekitar 1000 judul buku dari perpustakaan pribadinya karena dipinjam (Kompas, 20 Januari 2013). Bisa dibayangkan koleksi buku yang dipunyai oleh penulis yang juga penyair ini jika yang hilang dipinjam saja mencapai angka 1000. Jadi, menulis itu tidak gampang, butuh kepekaan dan cinta. Terutama kecintaan kepada gaya hidup yang identik dengan keberaksaraan, yakni buku, dan literatur sejenis lainnya.
Untuk mengakhiri tulisan yang mudah-mudahan reflektif ini, saya kembali kepada Arswendo di atas, di mana ia mengatakan, menulis (mengarang) itu gampang. Setelah saya membolak-balik bukunya yang diterbitkan Gramedia, cetakan tahun 2011 yang berjudul “Mengarang itu Gampang: Menulis Skenario dan Laku”, saya menemui ujung dari kata-kata menulis itu gampang di atas. Di halaman 31, tertera: “Mengarang itu gampang, karena bisa dipelajari. Semua bisa mempelajari asal bisa baca dan tulis, dan mempunyai minat terus-menerus yang tak mudah patah.” Ternyata Arswendo juga sangat menekankan keseriusan dalam menulis, bukan! Wallahu a’lam bi al-shawab.
Kamar kos, 26 27 Januari 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar