Cerita di Balik Menulis: Antara
Pram dan Helvy Tiana Rosa
Darwin
“Menulis itu gampang,” kata
budayawan dan penulis kondang Arswendo Atmowiloto. Apakah ujaran yang sangat populer
dari Arswendo itu benar adanya? Apakah karena ia sudah menghasilkan puluhan buku
dan artikel, sehingga seenaknya saja ia mengatakan bahwa menulis itu gampang? Terlepas
dari konteks apa pun dan subjektivitas individu seorang Arswendo, saya meyakini
bahwa menulis itu tidak mudah. Butuh keseriusan hidup dalam menjalaninya.
Jika kita bicara tentang dunia menulis,
tentu tidak bisa tidak, pikiran kita akan tertuju pada bolpoin, kertas, lontar, dan mesin kettik,
yang sekarang bersalin rupa menjadi komputer. Bahkan, saat ini muncul komputer tablet yang menjadikan
aktivitas menulis bisa dilakukan di mana saja. Jika pikiran kita hanya sebatas
ini, bisa dipastikan tesis Arswendo di atas benar adanya. Tinggal torehkan isi
pikiran di atas kertas dengan sebuah bolpoin, atau letakkan jari-jari di atas
keyboard laptop, maka akan jadilah sebuah tulisan. Gampang! Namun, persoalan menulis tidak hanya bicara
bolpoin dan kertas saja, tetapi ada banyak yang mengitarinya. Di balik bulir
padi yang bernas, ada pupuk, air, juga tentu saja kerja keras dan doa seorang
petani. Di balik rekahnya kuncup mawar, ada perhatian dari pemiliknya yang
setiap paginya selalu menyemprotkan air, bahkan “membelai” dan menyenandungkan
sebuah lagu, laiknya merawat seorang bayi.
Menulis tidak hanya sekadar
toreh-menoreh di kertas atau Microsoft
word di komputer. Setidaknya, ini bisa dilihat pada sastrawan besar milik
bangsa Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Di balik karya monumental hasil
jari-jarinya, ada buku yang menemani. Ada penderitaan yang diakrabi. Dan, yang
menarik bagi saya adalah sisi ketekunan seorang Pram, panggilan akrabnya. Dari
berbagai literatur, ia adalah dokumentator peristiwa yang “gila”. Ia adalah
pengliping koran sejati. Sehingga lahirlah Kronik
Revolusi yang terkenal itu berdasarkan klipingan koran yang dilakukannya di
sekitar era revolusi Indonesia. Bahkan, Tetralogi Burunya yang fenomenal itu
lahir dari tradisi merawat sejarah yang dilakukannya ini. Tetralogi ini
berdasarkan kliping mahasiswa Universitas Res Publica saat Pram mengajar Sejarah
di sana. Pram mewajibkan mahasiswanya mengumpulkan koran dari akhir abad 19
hingga awal abad 20 (Astuti Ananta Toer, ed, 2009: 481). Tentu saja banyak
lika-liku hidup yang dialami Pram lainnya, di balik dunia menulis yang menjadi
laku hidupnya. Buku-bukunya dilarang, bahkan dimusnahkan. Ia tidak dianggap
sebagai warga negara berkat stereotype Orba, dan hampir separuh hidupnya
dijalani dalam penjara.
Helvy Tiana Rosa
Helvy Tiana Rosa, nama yang kita akrabi
di jagat kepenulisan dalam dua dasawarsa terakhir. Ia adalah pendiri Forum
Lingkar Pena yang telah mengorbitkan banyak penulis di Tanah Air. Novelnya “Ketika Mas Gagah Pergi” begitu tenar
hingga dicetak berpuluh-puluh kali.
Nah,
di balik keasyikannya menulis, tersimpan hal-hal yang patut kita tiru atau
setidaknya menjadi refleksi hidup dalam menjalani laku menulis. Helvy Tiana Rosa
mengalami penderitaan hidup sewaktu kecil. Rumahnya yang berada di sekitaran pinggir
rel di daerah Gunung Sahari, Jakarta Selatan ketika itu hanya terbuat dari tripleks
dan kardus saja. Meskipun kemiskinan menderanya, menurut penuturannya kepada Koran Tempo, tetap saja ia berusaha
mengkomsumsi lima buku dalam sehari (Koran Tempo, 6 Januari 2013).
Tidak
hanya sebatas ini, Helvy juga melakukan hal “gila” ketika ia belum menjadi
penulis masyhur seperti sekarang. Masih dalam penuturannya kepada Koran Tempo, ia bahkan mengamen puisi di
Taman Ismail Marzuki, di hadapan para sastrawan seperti Taufiq Ismail dan Putu
Wijaya demi mendapatkan uang untuk membeli buku dan mesin ketik.
Kultur
membaca yang kuat, itulah yang menjadi keseharian kakak kandung Asma Nadia ini.
Helvy Tiana Rosa menekankan pentingnya membaca ini dengan mengutip Muhammad
Iqbal, “Bagi anak muda, wajib membaca
lima macam buku setiap minggu. Pertama buku yang diminati. Kedua, buku yang
sangat tidak diminati. Ketiga, buku kontemporer. Keempat, buku tentang agamamu.
Dan yang kelima, bebas, itu bonus.” (Koran
Tempo, 6 Januari 2013).
Begitulah
secuil cerita di balik menulis. Masih banyak pengalaman-pengalaman hebat
lainnya di kitaran kehidupan seorang penulis. Sekadar pelengkap, budayawan Radhar
Panca Dahana mengaku kehilangan sekitar 1000 judul buku dari perpustakaan
pribadinya karena dipinjam (Kompas,
20 Januari 2013). Bisa dibayangkan koleksi buku yang dipunyai oleh penulis yang
juga penyair ini jika yang hilang dipinjam saja mencapai angka 1000. Jadi,
menulis itu tidak gampang, butuh kepekaan dan cinta. Terutama kecintaan kepada
gaya hidup yang identik dengan keberaksaraan, yakni buku, dan literatur sejenis
lainnya.
Untuk
mengakhiri tulisan yang mudah-mudahan reflektif ini, saya kembali kepada
Arswendo di atas, di mana ia mengatakan, menulis (mengarang) itu gampang.
Setelah saya membolak-balik bukunya yang diterbitkan Gramedia, cetakan tahun
2011 yang berjudul “Mengarang itu
Gampang: Menulis Skenario dan Laku”,
saya menemui ujung dari kata-kata menulis
itu gampang di atas. Di halaman 31, tertera: “Mengarang itu gampang, karena bisa dipelajari. Semua bisa mempelajari
asal bisa baca dan tulis, dan mempunyai minat terus-menerus yang tak mudah
patah.” Ternyata Arswendo juga sangat menekankan keseriusan dalam menulis,
bukan! Wallahu a’lam bi al-shawab.
Kamar kos, 26 27 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar