Jumat, 04 Januari 2013

Catatan Untuk Seorang Guru Besar



Catatan Untuk Seorang Guru Besar
(catatan kuliah)
Ahmad Sahide
            Tadi pagi, jam enam lewat tiga puluh dua menit dan tiga puluh dua detik, hape saya berdering, tanda adanya pesan yang masuk. Segera saya menutup buku “A World Without Islam”, yang sedangs saya baca. Memberi pembatas pada batas halaman yang saya baca. Saya pun menyempatkan diri membuka serta mencari tahu dari siapa dan apa isi pesannya. Rupanya yang mengirim pesan itu adalah Prof. Dr. Siti Chamamah Soeratno, dosen saya yang mengampu mata kuliah “Teori Interpretasi.” Redaksi kalimatnya adalah “kuliah besuk pagi jam 7 di rumah Bulaksumur G 10.” Saya lalu menjawabnya, “iya bu. Insya Allah. Mksh,” kemudian melanjutkan membaca buku di atas. Ibu Chamamah memang biasa mengirim sms kepada saya terkait banyak hal; perubahan jadwal atau ada buku yang akan dia pinjamkan.
Ada kuliah tambahan berarti, pikir saya, karena jadwal kuliah kami hanya ada dua belas pertemuan, dan sebelumnya Ibu Chamamah, demikian ia sering dipanggil, sudah memberikan kuliah dari mata kulian ini selama tiga belas kali pertemuan. Tambahan pertemuan itu kebijakan personal dia, sekalipun kampus hanya menjadwalkan dua belas kali pertemuan. Pada pertemuan sebelumnya, ke-13, ia juga sudah menutup pertemuan dengan memberi saya tugas terakhir. Presensi juga sudah saya kumpulkan pada bagian pengajaran. Dan saya sering kali, memang, kuliah di rumahnya. Itu hal biasa bagi dia untuk mahasiswa program doktor. Oleh karena itu, saya tidak lagi berpikir bahwa akan ada kuliah dengan Ibu Chamamah dari mata kuliah ini. pada pertemuan sebelumnya kan sudah ditutup.
Setelah melanjutkan bacaan sekitar lima menit, saya berpikir jangan-jangan Ibu Chamamah bermaksud memberikan kuliah hari Jum’at pagi tadi, bukan besok pagi, Sabtu 5 Januari 2013, dari yang saya pahami melalui isi pesannya. Saya sempat kepikiran kalau ia sebetulnya mengirim sms tadi malam, Kamis tanggal 3 Januari 2013, tetapi setelah saya coba buka lagi sms itu, memerhatikan tanggal dan jamnya dengan baik. Betul, saya tidak salah baca, sms itu masuk jam enam lewat tiga puluh dua menit, tanggal 4 Januari. Saya kembali melanjutkan membaca buku dengan segelas kopi di meja sebelah kanan, yang sesekali saya teguk.
Jam tujuh lewat 25 menit, empat puluh tujuh detik, nada pesan hape saya kembali berdering. Beberapa detik kemudian saya buka. Ternyata dari Ibu Chamamah lagi, “kok belum datang?” tanyanya. Saya terhentak, kaget, dan panik membaca isi pesan itu. Saya lalu mengetik dengan cepat, tangan bergetaran, perasaan bersalah sebagai mahasiswa tidak terhindarkan lagi. Tidak lupa menjelaskan bahwa sms-nya baru masuk. Setelah menjawab sms Ibu Chamamah, tentu dengan memohon maaf, saya begergas mandi seadanya, sepertinya tidak sampai lima menit. Kemudian segera mengambil tas, berlari ke sana ke mari menyiapkan segalanya dengan segala perasaan bersalah dan lain sebagainya. Buku dan kamus yang terletak di meja saya tidak saya perhatikan lagi. Kamar pun tidak sempat lagi saya tutup. Begitu pun juga dengan sepatu yang tidak sempat lagi saya kenakan.
Saya segera meluncur ke kompleks UGM, rumah Ibu Chamamah, tempat dia akan memberi, lagi, saya kuliah seorang diri di luar ‘pengetahuan’ jurusan. Saya mengendarai motor dengan sangat cepat, rasanya ingin terbang untuk segera sampai, tentu dengan perasaan bersalah yang semakin mengencangkan laju motor Revo merah saya itu. Saya pun nyalib para pengendara motor lainnya di sana-sini. Kecepatan motor saya memang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Biasanya, jarak tempuh saya dari kontrakan ke UGM kurang lebih dua puluh menit, tapi tadi pagi, jarak tempuh saya kurang dari lima belas menit. Memang sedikit meniru ‘gaya’ Valentino Rossi. Maklum, saya ‘ditunggu’ oleh seorang Guru Besar yang cukup dikenal luas akan kapasitas keilmuwannya. Bagi saya, Ibu Chamamah adalah gurunya Guru Besar.
Jam delapan kurang enam menit, saya memang sangat memerhatikan jam tadi pagi dalam perjalanan itu, saya sudah berada di depan rumah Ibu Chamamah. Seorang pembantunya telah menunggui saya di depan pagar. “Sudah ditungguin mas sama Ibu,” katanya sambil mempersilahkan saya masuk, menuju ruangan yang biasa digunakan oleh Ibu Chamamah untuk aktivitas mengajar. Di sana, Laptopnya sudah menanti di atas meja. Tidak lama menunggu, dengan perasaan bersalah terus mengahntui, saya pun mendengar suara sandal Ibu Chamamah yang pelan, mengingat usianya sudah tujuh puluh satu tahun, ke arah ruangan tempat saya sedang menunggu. Saya lalu menyambutnya dengan perasaan bersalah dan siap jika Ibu Chamamah harus menampakkan kekecewaannya, walaupun saya tahu beliau bukanlah tipikal dosen yang seperti itu.
Syukurnya, Ibu Chamamah sama sekali tidak menyambut saya sebagai orang yang bersalah. Justru ia tersenyum ramah kepada saya begitu sampai di ruangan. Dari senyumnya tidak ada marah atau kesal sedikit pun yang saya tangkap. Ia hanya tersenyum pelan dan ramah sambil bercerita kalau ia sebetulnya mengirim sms itu kemarin sore, habis Magrib, di sela-sela kesibukannya mengikuti rapat di Muhammadiyah. “Berarti untung saya sms yach?” katanya kepada saya sebelum meneruskan dan menjelaskan mengapa ia memberikan kuliah tambahan secara mendadak. Sebagai catatan, ia mengirim sms ke saya untuk kuliah di luar jadwal jurusan itu karena ia merasa ada yang perlu dijelaskan lagi setelah membaca tugas akhir yang saya kirimkan lewat email.
Prof. Dr. Siti Chamamah Soeratno memang seorang Guru Besar sejati, ia mengajar dengan hati dan jiwa yang besar, tulus untuk mencerdaskan dan mentransformasikan ilmunya kepada anak didiknya. Usianya yang sudah lebih tujuh puluh tahun tidak menyurutkan semangatnya. Walaupun ia memang mendidik dengan keras, memaksa untuk membaca dan membuat makalah setiap pertemuan. Seandainya pendidik-pendidik kita dapat meniru jiwa besar Ibu Chamamah, besarlah harapan kita untuk masa depan bangsa dan negara ini untuk bisa bersaing dengan bangsa dan negara lain!
Yogyakarta, 4 Januari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar