Catatan Untuk Seorang Guru Besar
(catatan kuliah)
Ahmad Sahide
Tadi
pagi, jam enam lewat tiga puluh dua menit dan tiga puluh dua detik, hape saya
berdering, tanda adanya pesan yang masuk. Segera saya menutup buku “A World
Without Islam”, yang sedangs saya baca. Memberi pembatas pada batas halaman
yang saya baca. Saya pun menyempatkan diri membuka serta mencari tahu dari
siapa dan apa isi pesannya. Rupanya yang mengirim pesan itu adalah Prof. Dr.
Siti Chamamah Soeratno, dosen saya yang mengampu mata kuliah “Teori
Interpretasi.” Redaksi kalimatnya adalah “kuliah besuk pagi jam 7 di rumah
Bulaksumur G 10.” Saya lalu menjawabnya, “iya bu. Insya Allah. Mksh,” kemudian
melanjutkan membaca buku di atas. Ibu Chamamah memang biasa mengirim sms kepada
saya terkait banyak hal; perubahan jadwal atau ada buku yang akan dia
pinjamkan.
Ada kuliah tambahan berarti, pikir saya, karena jadwal kuliah kami
hanya ada dua belas pertemuan, dan sebelumnya Ibu Chamamah, demikian ia sering
dipanggil, sudah memberikan kuliah dari mata kulian ini selama tiga belas kali
pertemuan. Tambahan pertemuan itu kebijakan personal dia, sekalipun kampus
hanya menjadwalkan dua belas kali pertemuan. Pada pertemuan sebelumnya, ke-13,
ia juga sudah menutup pertemuan dengan memberi saya tugas terakhir. Presensi
juga sudah saya kumpulkan pada bagian pengajaran. Dan saya sering kali, memang,
kuliah di rumahnya. Itu hal biasa bagi dia untuk mahasiswa program doktor. Oleh
karena itu, saya tidak lagi berpikir bahwa akan ada kuliah dengan Ibu Chamamah
dari mata kuliah ini. pada pertemuan sebelumnya kan sudah ditutup.
Setelah melanjutkan bacaan sekitar lima menit, saya berpikir
jangan-jangan Ibu Chamamah bermaksud memberikan kuliah hari Jum’at pagi tadi,
bukan besok pagi, Sabtu 5 Januari 2013, dari yang saya pahami melalui isi
pesannya. Saya sempat kepikiran kalau ia sebetulnya mengirim sms tadi malam,
Kamis tanggal 3 Januari 2013, tetapi setelah saya coba buka lagi sms itu,
memerhatikan tanggal dan jamnya dengan baik. Betul, saya tidak salah baca, sms
itu masuk jam enam lewat tiga puluh dua menit, tanggal 4 Januari. Saya kembali
melanjutkan membaca buku dengan segelas kopi di meja sebelah kanan, yang
sesekali saya teguk.
Jam tujuh lewat 25 menit, empat puluh
tujuh detik, nada pesan hape saya kembali berdering. Beberapa detik kemudian
saya buka. Ternyata dari Ibu Chamamah lagi, “kok belum datang?” tanyanya. Saya
terhentak, kaget, dan panik membaca isi pesan itu. Saya lalu mengetik dengan
cepat, tangan bergetaran, perasaan bersalah sebagai mahasiswa tidak terhindarkan
lagi. Tidak lupa menjelaskan bahwa sms-nya baru masuk. Setelah menjawab sms Ibu
Chamamah, tentu dengan memohon maaf, saya begergas mandi seadanya, sepertinya
tidak sampai lima menit. Kemudian segera mengambil tas, berlari ke sana ke mari
menyiapkan segalanya dengan segala perasaan bersalah dan lain sebagainya. Buku
dan kamus yang terletak di meja saya tidak saya perhatikan lagi. Kamar pun
tidak sempat lagi saya tutup. Begitu pun juga dengan sepatu yang tidak sempat
lagi saya kenakan.
Saya segera meluncur ke kompleks UGM, rumah Ibu Chamamah, tempat dia
akan memberi, lagi, saya kuliah seorang diri di luar ‘pengetahuan’ jurusan.
Saya mengendarai motor dengan sangat cepat, rasanya ingin terbang untuk segera
sampai, tentu dengan perasaan bersalah yang semakin mengencangkan laju motor
Revo merah saya itu. Saya pun nyalib para pengendara motor lainnya di
sana-sini. Kecepatan motor saya memang berbeda dari sebelum-sebelumnya.
Biasanya, jarak tempuh saya dari kontrakan ke UGM kurang lebih dua puluh menit,
tapi tadi pagi, jarak tempuh saya kurang dari lima belas menit. Memang sedikit
meniru ‘gaya’ Valentino Rossi. Maklum, saya ‘ditunggu’ oleh seorang Guru Besar
yang cukup dikenal luas akan kapasitas keilmuwannya. Bagi saya, Ibu Chamamah
adalah gurunya Guru Besar.
Jam delapan kurang enam menit, saya memang sangat memerhatikan jam tadi
pagi dalam perjalanan itu, saya sudah berada di depan rumah Ibu Chamamah.
Seorang pembantunya telah menunggui saya di depan pagar. “Sudah ditungguin mas
sama Ibu,” katanya sambil mempersilahkan saya masuk, menuju ruangan yang biasa
digunakan oleh Ibu Chamamah untuk aktivitas mengajar. Di sana, Laptopnya sudah
menanti di atas meja. Tidak lama menunggu, dengan perasaan bersalah terus
mengahntui, saya pun mendengar suara sandal Ibu Chamamah yang pelan, mengingat
usianya sudah tujuh puluh satu tahun, ke arah ruangan tempat saya sedang
menunggu. Saya lalu menyambutnya dengan perasaan bersalah dan siap jika Ibu
Chamamah harus menampakkan kekecewaannya, walaupun saya tahu beliau bukanlah
tipikal dosen yang seperti itu.
Syukurnya, Ibu Chamamah sama sekali tidak menyambut saya sebagai orang
yang bersalah. Justru ia tersenyum ramah kepada saya begitu sampai di ruangan.
Dari senyumnya tidak ada marah atau kesal sedikit pun yang saya tangkap. Ia hanya
tersenyum pelan dan ramah sambil bercerita kalau ia sebetulnya mengirim sms itu
kemarin sore, habis Magrib, di sela-sela kesibukannya mengikuti rapat di
Muhammadiyah. “Berarti untung saya sms yach?” katanya kepada saya sebelum
meneruskan dan menjelaskan mengapa ia memberikan kuliah tambahan secara
mendadak. Sebagai catatan, ia mengirim sms ke saya untuk kuliah di luar jadwal
jurusan itu karena ia merasa ada yang perlu dijelaskan lagi setelah membaca
tugas akhir yang saya kirimkan lewat email.
Prof. Dr. Siti Chamamah Soeratno memang seorang Guru Besar sejati, ia
mengajar dengan hati dan jiwa yang besar, tulus untuk mencerdaskan dan
mentransformasikan ilmunya kepada anak didiknya. Usianya yang sudah lebih tujuh
puluh tahun tidak menyurutkan semangatnya. Walaupun ia memang mendidik dengan
keras, memaksa untuk membaca dan membuat makalah setiap pertemuan. Seandainya
pendidik-pendidik kita dapat meniru jiwa besar Ibu Chamamah, besarlah harapan
kita untuk masa depan bangsa dan negara ini untuk bisa bersaing dengan bangsa
dan negara lain!
Yogyakarta, 4 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar