Jumat, 04 Januari 2013

Upaya Desakralisasi Budaya di Tengah Wacana Dominan Media



Upaya Desakralisasi Budaya di Tengah Wacana Dominan Media
Darwin
            Paradigma yang berkembang di tengah masyarakat kita adalah budaya dan seni dimonopoli atau disekat hanya menjadi domain kaum elite (baca: pemerintah dan kalangan terdidik) saja. Apakah wacana ini benar adanya? Atau hal ini adalah konstruk media yang menjadi sumber segala referensi masyarakat era sekarang?
            Berbicara kebudayaan yang di dalamnya juga tercakup wilayah seni, memang tidak bisa dilepaskan dari kepentingan elite. Dua entitas penopang peradaban ini sudah telanjur mengendap di dalam alam bawah sadar masyarakat di mana ia adalah wilayah sakral yang “haram” disentuh tangan-tangan masyarakat kalangan bawah. Tentu saja medialah yang menyebabkan semua kesalahan berpikir ini terjadi! Media secara implisit mengakomodir wacana ini dari dahulu hingga sekarang. Misalnya, seni sastra yang sangat luas cakupannya itu direduksi oleh surat kabar kita menjadi “sastra koran” saja. Sastra yang hanya menampilkan puisi, cerpen, atau novel bersambung. Padahal, ada wilayah sastra jenis lain yang tidak dijamah oleh surat kabar. Sastra jenis lain yang bertebaran di masyarakat kita dari Sabang hingga Merauke. Ia menjalari kampung-kampung pedalaman, pemukiman di tepi hutan, pantai, gunung, dan tempat-tempat tinggal kelompok masyarakat dari beragam etnis yang kaya akan nilai-nilai seni (sastra) itu.
            Di pedalaman kampung seantero Indonesia masih banyak para ahli sastra yang bergelut dengan alam tempat tinggalnya. Ada yang penghafal tombo atau nyanyi panjang, misalnya di Pulau Sumatera sana. Pemantun nan lihai bermain kata yang menguasai beragam jenis pantun, ditambah lagi bertebarannya pencinta sastra kuno yang mendedikasikan hidupnya untuk dunia yang identik dengan permainan bahasa ini. Dunia mereka ini tentu saja adalah dunia sunyi yang jauh dari bising dunia modern. Mereka-mereka ini tidak populer seperti para seniman televisi, atau seniman yang berderet gelar dari kampus. Ketenaran memang menjauh dari kehidupan mereka. Nah, para seniman dan berbagai karya mereka inilah yang tidak diperhatikan atau dikesampingkan oleh media arus utama, seperti televisi, surat kabar, atau Internet yang sangat populer saat ini. Sastra direduksi hanya sekadar novel, cerpen , dan puisi saja. Tombo, serat, nyanyian, dan mantra-mantra menjadi tidak (begitu) diakomodir oleh media. Media memang mempunyai kepentingan (ideologis) untuk menggiring opini masyarakat terkait dengan dunia sastra secara khusus, dan budaya secara keseluruhan.
            Pemerintah kita juga turut andil dalam melestarikan wacana “sastra/budaya elite” ini. Pemerintah selalu menggelar pertunjukan seni di tempat-tempat mewah di perkotaaan. Tentu saja yang bisa mengaksesnya hanyalah kelas menengah-perkotaan saja.  Sementara masyarakat desa yang tentu saja adalah mayoritas di negara kita tidak bisa merasakan indahnya seni yang dipentaskan ini. Pemerintah juga membalut seni (segala macam seni) dengan berbagai kepentingan, bisa politik, atau dalih mendongkrak pendapatan daerah dengan menjadikannya objek tatapan para wisatawan.
            Seni yang bergerak di tingkatan kampung tentu saja jauh dari perhatian pemerintah. Sangat banyak seniman ludruk, penggiat dunia wayang, penari, dan beragam ahli seni lainnya yang tragis hidupnya karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja tidak  mampu. Dengan kata lain, seni dan budaya hanyalah menjadi prioritas jika “menguntungkan” pemerintah, bukan rakyat yang sejatinya adalah pemilik kebudayaan itu sendiri. Jika tidak menguntungkan, maka siap-siaplah seni dan budaya ini terdepak dari wacana pemerintah. Wajar saja budaya kita sering diklaim oleh bangsa asing karena kita menjauhkannya dari masyarakat kalangan bawah.

Andil para seniman  
Para seniman sendirilah sebenarnya yang bisa mendekatkan kembali seni-budaya ini kepada masyarakat. Wacana dominan yang beranggapan bahwa sani dan budaya hanya milik kalangan atas saja harus dilawan. Desakralisasi adalah jawabannya. Kesakralan yang dikonstruk media selama ini bisa diterobos dengan menciptakan wacana baru (tandingan). Caranya tentu saja dengan menggelar kesenian di tengah-tengah masyarakat bawah dengan biaya murah, jika perlu digratiskan. Hal lain tentu saja melakukan penyadaran kepada masyarakat bawah. Perubahan mindset bahwa seni dan budaya itu sudah identik dengan diri mereka sendiri mutlak harus dilakukan. Seni-budaya  tentulah sangat dekat  dengan mereka. Nyanyian-nyanyian yang mereka praktikkan dalam kehidupan sehari-hari, pantun, mantra-mantra, dan beragam praktik ritual lainnya adalah kenyataan yang tak terbantahakan betapa dekatnya seni dengan kehidupan masyarakat bawah.
            Cara seperti inilah kiranya yang bisa dilakukan. Seni untuk rakyat, seperti yang diinginkan kelompok Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) tahun 1960-an dulu, harus ditumbuhsuburkan kembali kalau mau bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Mustahil menjadi bangsa besar jika masyarakatnya dijauhkan dari seni dan budaya! Begitu! Wallahu a’lam bi al-shawab. 22 Des 2012, 3.37 PM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar