Upaya Desakralisasi Budaya di
Tengah Wacana Dominan Media
Darwin
Paradigma yang berkembang di tengah
masyarakat kita adalah budaya dan seni dimonopoli atau disekat hanya menjadi
domain kaum elite (baca: pemerintah dan kalangan terdidik) saja. Apakah wacana
ini benar adanya? Atau hal ini adalah konstruk media yang menjadi sumber segala
referensi masyarakat era sekarang?
Berbicara kebudayaan yang di
dalamnya juga tercakup wilayah seni, memang tidak bisa dilepaskan dari
kepentingan elite. Dua entitas penopang peradaban ini sudah telanjur mengendap
di dalam alam bawah sadar masyarakat di mana ia adalah wilayah sakral yang
“haram” disentuh tangan-tangan masyarakat kalangan bawah. Tentu saja medialah
yang menyebabkan semua kesalahan berpikir ini terjadi! Media secara implisit
mengakomodir wacana ini dari dahulu hingga sekarang. Misalnya, seni sastra yang
sangat luas cakupannya itu direduksi oleh surat kabar kita menjadi “sastra
koran” saja. Sastra yang hanya menampilkan puisi, cerpen, atau novel bersambung.
Padahal, ada wilayah sastra jenis lain yang tidak dijamah oleh surat kabar.
Sastra jenis lain yang bertebaran di masyarakat kita dari Sabang hingga Merauke.
Ia menjalari kampung-kampung pedalaman, pemukiman di tepi hutan, pantai,
gunung, dan tempat-tempat tinggal kelompok masyarakat dari beragam etnis yang
kaya akan nilai-nilai seni (sastra) itu.
Di pedalaman kampung seantero
Indonesia masih banyak para ahli sastra yang bergelut dengan alam tempat
tinggalnya. Ada yang penghafal tombo atau nyanyi panjang, misalnya di Pulau
Sumatera sana. Pemantun nan lihai bermain kata yang menguasai beragam jenis
pantun, ditambah lagi bertebarannya pencinta sastra kuno yang mendedikasikan
hidupnya untuk dunia yang identik dengan permainan bahasa ini. Dunia mereka ini
tentu saja adalah dunia sunyi yang jauh dari bising dunia modern. Mereka-mereka
ini tidak populer seperti para seniman televisi, atau seniman yang berderet gelar
dari kampus. Ketenaran memang menjauh dari kehidupan mereka. Nah, para seniman
dan berbagai karya mereka inilah yang tidak diperhatikan atau dikesampingkan
oleh media arus utama, seperti televisi, surat kabar, atau Internet yang sangat
populer saat ini. Sastra direduksi hanya sekadar novel, cerpen , dan puisi
saja. Tombo, serat, nyanyian, dan mantra-mantra menjadi tidak (begitu)
diakomodir oleh media. Media memang mempunyai kepentingan (ideologis) untuk
menggiring opini masyarakat terkait dengan dunia sastra secara khusus, dan
budaya secara keseluruhan.
Pemerintah kita juga turut andil
dalam melestarikan wacana “sastra/budaya elite” ini. Pemerintah selalu
menggelar pertunjukan seni di tempat-tempat mewah di perkotaaan. Tentu saja
yang bisa mengaksesnya hanyalah kelas menengah-perkotaan saja. Sementara masyarakat desa yang tentu saja
adalah mayoritas di negara kita tidak bisa merasakan indahnya seni yang
dipentaskan ini. Pemerintah juga membalut seni (segala macam seni) dengan
berbagai kepentingan, bisa politik, atau dalih mendongkrak pendapatan daerah
dengan menjadikannya objek tatapan para wisatawan.
Seni yang bergerak di tingkatan
kampung tentu saja jauh dari perhatian pemerintah. Sangat banyak seniman
ludruk, penggiat dunia wayang, penari, dan beragam ahli seni lainnya yang
tragis hidupnya karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja tidak mampu. Dengan kata lain, seni dan budaya
hanyalah menjadi prioritas jika “menguntungkan” pemerintah, bukan rakyat yang
sejatinya adalah pemilik kebudayaan itu sendiri. Jika tidak menguntungkan, maka
siap-siaplah seni dan budaya ini terdepak dari wacana pemerintah. Wajar saja
budaya kita sering diklaim oleh bangsa asing karena kita menjauhkannya dari
masyarakat kalangan bawah.
Andil para seniman
Para
seniman sendirilah sebenarnya yang bisa mendekatkan kembali seni-budaya ini
kepada masyarakat. Wacana dominan yang beranggapan bahwa sani dan budaya hanya
milik kalangan atas saja harus dilawan. Desakralisasi adalah jawabannya.
Kesakralan yang dikonstruk media selama ini bisa diterobos dengan menciptakan wacana
baru (tandingan). Caranya tentu saja dengan menggelar kesenian di tengah-tengah
masyarakat bawah dengan biaya murah, jika perlu digratiskan. Hal lain tentu
saja melakukan penyadaran kepada masyarakat bawah. Perubahan mindset bahwa seni dan budaya itu sudah
identik dengan diri mereka sendiri mutlak harus dilakukan. Seni-budaya tentulah sangat dekat dengan mereka. Nyanyian-nyanyian yang mereka
praktikkan dalam kehidupan sehari-hari, pantun, mantra-mantra, dan beragam praktik
ritual lainnya adalah kenyataan yang tak terbantahakan betapa dekatnya seni
dengan kehidupan masyarakat bawah.
Cara seperti inilah kiranya yang
bisa dilakukan. Seni untuk rakyat, seperti yang diinginkan kelompok Lekra
(Lembaga Kebudayaan Rakyat) tahun 1960-an dulu, harus ditumbuhsuburkan kembali
kalau mau bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Mustahil menjadi bangsa besar
jika masyarakatnya dijauhkan dari seni dan budaya! Begitu! Wallahu a’lam bi al-shawab. 22
Des 2012, 3.37 PM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar