Minggu, 09 Desember 2012

Pesona Mekah Sebelum Islam



Pesona Mekah Sebelum Islam
( Review buku Mekah: Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim karya Zuhairi Misrawi)
                                                                                    Oleh: Aziz
            Selama ini pandangan kita terhadap Mekah lebih cenderung didasarkan pada pendekatan teologis dan kedekatan emosional mengingat kota itu sebagai kota suci umat Islam dan kiblat dimana kita menghadapkan diri setiap kali melakukan sholat. Hal ini kemudian menyebabkan sebagian besar umat Islam tidak mengetahui dimensi historis dan sosiologis Mekah sebagai kota yang memiliki sejarah panjang dan menarik untuk diketahui. Dalam buku yang berjudul Mekah: Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim, Zuhairi Misrawi menyajikan Mekah dengan pendekatan yang seimbang antara aspek Historis-Sosiologis dan aspek teologis kota suci umat Islam tersebut. Dalam buku itu, Zuhairi Misrawi menyajikannya dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami tentang sejarah Mekah dari periode awal sampai periode saat ini.

            Dilihat dari referensi yang digunakan, buku tersebut merupakan buku pertama dalam bahasa Indonesia yang menkaji tentang Mekah secara komprehensif. Pengarang menggabungkan dengan baik antara literatur klasik Islam dan literatur modern. Dalam mengkaji aspek historis-sosiologis mengenai Mekah, pengarang mengambil rujukan dari tulisan sejarawan awal Islam seperti al-Thabari, Ibn Jabir, al-Azraqi, Ibn Hisyam, al-Mas’udi, dan Ibn Khaldun serta literatur modern khususnya karya-karya Orientalis seperti Snouck Hurgronje, Philip K. Hitti, Patricia Crone, dan Montgomeri Watt. Adapun aspek teologis mengenai Mekah pengarang merujuk kepada kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh pakar tafsir yang otoritatif semisal Zamakhsyari, al-Razi, dan Ibn Katsir. Kelebihan lain dari buku tersebut adalah kemampuan penulis untuk memadukan antara masa lalu dan masa kini sehingga sejarah terasa begitu hidup. Penulis mampu mengkaji peran Mekah dalam konteks global khususnya dengan isu-isu kontemporer seperti perdamaian dunia, toleransi agama, dan kesetaraan gender. 

            Daya tarik Mekah sejak periode sebelum Islam adalah adanya Ka’bah. Situs ini menjadi magnet bagi para peziarah dari berbagai agama, suku, dan bangsa baik dari dalam dan luar negeri karena diyakini mampu memberikan ketenangan batin. Selain Ka’bah, situs penting lainnya yang terdapat di Mekah adalah Hajar Aswad, air Zamzam, dan Maqam Ibrahim.

Titik Temu Para Nabi dan Agama Samawi
            Zuhairi Misrawi dengan merujuk ke literatur Hadits menyatakan bahwa Nabi Adam adalah orang pertama yang menempati Mekah karena di dalamnya terdapat rumah Tuhan. Setelah kematiannya, keturunannya mendirikan rumah yang terbuat dari tanah liat dan bebatuan (hlm. 75). Di tempat itulah para nabi menempati tempat itu, di antaranya adalah Nabi Nuh. Para nabi datang ke Mekah sebagai tempat peribadatan, khususnya tatkala menghadapi masalah tentang umatnya. Beberapa nabi yang meninggal di sekitar Mekah antara lain Nuh, Hud, Syu’aib, dan Shaleh. Adapun Nabi Ibrahim dan Ismail merupakan nabi yang paling berjasa dalam pembangunan Ka’bah dan ritual haji yang dilakukan umat Islam saat ini.

            Sebelum Islam datang, Mekah menjadi tempat suci bagi agama-agama samawi seperti Yahudi dan Kristen. Rumah Tuhan yang dibangun oleh Ibrahim beberapa kali disebutkan dalam perjanjian lama dan al-Quran setelah kedatangan Islam. Mekah sebagai kota suci sebelum Islam bisa diklarifikasi dari beberapa nama yang disebutkan dalam berbagai bahasa seperti Miqreb, bahasa Saba Selatan yang berarti tempat suci, Mekwerab, bahasa Ethiopia Lama, yang berarti tempat suci dan pusat perdagangan. Peran Ibrahim sebagai Nabi yang berjasa besar dalam pembangunan Ka’bah dan kemudian kembali ke Palestina dan memiliki putra yaitu Ishak menjadi alasan yang kuat untuk menyebut Mekah dan khususnya Ka’bah sebagai titik temu agama-agama Samawi.  

Sumber Ekonomi
Mekah sebagai kota yang sering dikunjungi manusia dari berbagai penjuru dunia, baik sebelum maupun setelah kedatangan Islam, menjadi sumber ekonomi yang melimpah bagi pihak yang menguasai kota suci ini. Setelah Ismail, yang menguasai Mekah adalah suku Jurhum. Mereka menjadi kaya dengan memanfaatkan kedatangan para penziarah ke Mekah. Kemarau panjang yang melanda kota ini menjadi penyebab hilangnya wibawa suku jurhum atas hegemoninya terhadap mekah. Mereka menjual air zam-zam untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka dan mencuri hiasan berharga yang ada di dalam Ka’bah dan menyimpannya di saluran air zam-zam yang menjadikan tersumbatnya saluran air. Kekeringan berkepanjangan ini yang kemudian mengantarkan kabilah Khuza’a mengambil alih mekah. Kabilah ini mengelola mekah secara profesional dan memberikan pelayanan terbaik bagi para penziarah. Kabilah Khuza’a berkuasa selama kurang lebih 300 tahun dan dilanjutkan oleh kabilah Quraisy. Adalah Qushay, salah seorang dari suku Quraisy, berhasil membeli kunci dari Abu Ghibsyan, tokoh kabilah Khuza’a yang suka mabuk dan menukarkan kunci itu dengan minuman keras. Sejak mekah dikuasai Qushay, dibangun sebuah tempat yang disebut Dar al-Nadwa, yaitu tempat berkumpulnya para pembesar Mekah untuk membahas masalah-masalah yang dihadapi mereka, termasuk masalah keagamaan.

Setelah Qushay wafat, kunci diserahkan kepada putra tertuanya, Abdu al-Dar, yang kemudian menyebabkan terjadinya perselisihan dengan Abdu Manaf. Akhirnya perselisihan itu diselesaikan dengan pembagian tugas: Abd Manaf mengurusi masalah air (al-siqayah), sedangkan Abd al-Dar bertanggung jawab atas kunci panji (al-sadanah) dan pimpinan rapat. Kesepakatan ini berlangsung hingga Islam datang. 

Pusat Perdagangan Internasional
            Salah satu aspek lain yang menjadi kelebihan dari buku yang ditulis oleh alumnus Universitas al-Azhar itu adalah peran Mekah sebelum Islam sebagai pusat perdagangan internasional. Mekah merupakan jalur perdagangan  internasional yang utama, yaitu, pertama dari Yaman yang menghubungkan antara Timur lewat jalur laut dengan Mekah. Kedua, dari Syam yang menghubungkan Asia Kecil dan Eropa Timur dengan Mekah. Ketiga, dari Irak yang menghubungkan jalur darat ke Kabul, Kashmir, Singkiang, sampai ke Kanton dengan Mekah. Keempat, dari Habsyi dan Mesir yang menghubungkan jalur darat antara Alexandria, Mesir dengan Tangier, Ceuta, Maroko, kemudian menyeberangi Selat Gibraltar menuju semenanjung Iberia dengan Mekah (Karim, 2007: hlm. 56-57).
             


Tentang Penulis
Nama: Aziz
Mahasiswa Semester 7 Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI) UIN Sunan Kalijaga
Aktif di komunitas Belajar Menulis (KBM) Jalan Taman Siswa
Tulisan ini dikirim atas rekomendasi dari Ahmad Sahide
No hp: 08562998747
 


  

             
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar