Pesona Mekah Sebelum Islam
( Review
buku Mekah: Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim karya Zuhairi Misrawi)
Oleh:
Aziz
Selama ini pandangan kita terhadap Mekah
lebih cenderung didasarkan pada pendekatan teologis dan kedekatan emosional mengingat
kota itu sebagai kota suci umat Islam dan kiblat dimana kita menghadapkan diri
setiap kali melakukan sholat. Hal ini kemudian menyebabkan sebagian besar umat
Islam tidak mengetahui dimensi historis dan sosiologis Mekah sebagai kota yang
memiliki sejarah panjang dan menarik untuk diketahui. Dalam buku yang berjudul
Mekah: Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim, Zuhairi Misrawi menyajikan
Mekah dengan pendekatan yang seimbang antara aspek Historis-Sosiologis dan
aspek teologis kota suci umat Islam tersebut. Dalam buku itu, Zuhairi Misrawi
menyajikannya dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami tentang sejarah
Mekah dari periode awal sampai periode saat ini.
Dilihat dari referensi yang
digunakan, buku tersebut merupakan buku pertama dalam bahasa Indonesia yang
menkaji tentang Mekah secara komprehensif. Pengarang menggabungkan dengan baik
antara literatur klasik Islam dan literatur modern. Dalam mengkaji aspek
historis-sosiologis mengenai Mekah, pengarang mengambil rujukan dari tulisan
sejarawan awal Islam seperti al-Thabari, Ibn Jabir, al-Azraqi, Ibn Hisyam,
al-Mas’udi, dan Ibn Khaldun serta literatur modern khususnya karya-karya Orientalis
seperti Snouck Hurgronje, Philip K. Hitti, Patricia Crone, dan Montgomeri Watt.
Adapun aspek teologis mengenai Mekah pengarang merujuk kepada kitab-kitab
tafsir yang ditulis oleh pakar tafsir yang otoritatif semisal Zamakhsyari,
al-Razi, dan Ibn Katsir. Kelebihan lain dari buku tersebut adalah kemampuan
penulis untuk memadukan antara masa lalu dan masa kini sehingga sejarah terasa
begitu hidup. Penulis mampu mengkaji peran Mekah dalam konteks global khususnya
dengan isu-isu kontemporer seperti perdamaian dunia, toleransi agama, dan
kesetaraan gender.
Daya tarik Mekah sejak periode sebelum
Islam adalah adanya Ka’bah. Situs ini menjadi magnet bagi para peziarah dari berbagai
agama, suku, dan bangsa baik dari dalam dan luar negeri karena diyakini mampu
memberikan ketenangan batin. Selain Ka’bah, situs penting lainnya yang terdapat
di Mekah adalah Hajar Aswad, air Zamzam, dan Maqam Ibrahim.
Titik Temu Para Nabi dan Agama Samawi
Zuhairi Misrawi dengan merujuk ke literatur Hadits menyatakan bahwa
Nabi Adam adalah orang pertama yang menempati Mekah karena di dalamnya terdapat
rumah Tuhan. Setelah kematiannya, keturunannya mendirikan rumah yang terbuat
dari tanah liat dan bebatuan (hlm. 75). Di tempat itulah para nabi menempati
tempat itu, di antaranya adalah Nabi Nuh. Para nabi datang ke Mekah sebagai
tempat peribadatan, khususnya tatkala menghadapi masalah tentang umatnya.
Beberapa nabi yang meninggal di sekitar Mekah antara lain Nuh, Hud, Syu’aib,
dan Shaleh. Adapun Nabi Ibrahim dan Ismail merupakan nabi yang paling berjasa
dalam pembangunan Ka’bah dan ritual haji yang dilakukan umat Islam saat ini.
Sebelum Islam datang, Mekah menjadi
tempat suci bagi agama-agama samawi seperti Yahudi dan Kristen. Rumah Tuhan
yang dibangun oleh Ibrahim beberapa kali disebutkan dalam perjanjian lama dan
al-Quran setelah kedatangan Islam. Mekah sebagai kota suci sebelum Islam bisa
diklarifikasi dari beberapa nama yang disebutkan dalam berbagai bahasa seperti
Miqreb, bahasa Saba Selatan yang berarti tempat suci, Mekwerab,
bahasa Ethiopia Lama, yang berarti tempat suci dan pusat perdagangan. Peran
Ibrahim sebagai Nabi yang berjasa besar dalam pembangunan Ka’bah dan kemudian
kembali ke Palestina dan memiliki putra yaitu Ishak menjadi alasan yang kuat
untuk menyebut Mekah dan khususnya Ka’bah sebagai titik temu agama-agama
Samawi.
Sumber Ekonomi
Mekah sebagai kota yang sering dikunjungi manusia dari berbagai
penjuru dunia, baik sebelum maupun setelah kedatangan Islam, menjadi sumber
ekonomi yang melimpah bagi pihak yang menguasai kota suci ini. Setelah Ismail,
yang menguasai Mekah adalah suku Jurhum. Mereka menjadi kaya dengan
memanfaatkan kedatangan para penziarah ke Mekah. Kemarau panjang yang melanda
kota ini menjadi penyebab hilangnya wibawa suku jurhum atas hegemoninya
terhadap mekah. Mereka menjual air zam-zam untuk memenuhi kebutuhan pokok
mereka dan mencuri hiasan berharga yang ada di dalam Ka’bah dan menyimpannya di
saluran air zam-zam yang menjadikan tersumbatnya saluran air. Kekeringan
berkepanjangan ini yang kemudian mengantarkan kabilah Khuza’a mengambil alih
mekah. Kabilah ini mengelola mekah secara profesional dan memberikan pelayanan
terbaik bagi para penziarah. Kabilah Khuza’a berkuasa selama kurang lebih 300
tahun dan dilanjutkan oleh kabilah Quraisy. Adalah Qushay, salah seorang dari
suku Quraisy, berhasil membeli kunci dari Abu Ghibsyan, tokoh kabilah Khuza’a
yang suka mabuk dan menukarkan kunci itu dengan minuman keras. Sejak mekah
dikuasai Qushay, dibangun sebuah tempat yang disebut Dar al-Nadwa, yaitu tempat
berkumpulnya para pembesar Mekah untuk membahas masalah-masalah yang dihadapi mereka,
termasuk masalah keagamaan.
Setelah Qushay wafat, kunci diserahkan kepada putra tertuanya, Abdu
al-Dar, yang kemudian menyebabkan terjadinya perselisihan dengan Abdu Manaf.
Akhirnya perselisihan itu diselesaikan dengan pembagian tugas: Abd Manaf mengurusi
masalah air (al-siqayah), sedangkan Abd al-Dar bertanggung jawab atas kunci
panji (al-sadanah) dan pimpinan rapat. Kesepakatan ini berlangsung hingga Islam
datang.
Pusat Perdagangan Internasional
Salah satu aspek lain yang menjadi
kelebihan dari buku yang ditulis oleh alumnus Universitas al-Azhar itu adalah
peran Mekah sebelum Islam sebagai pusat perdagangan internasional. Mekah
merupakan jalur perdagangan
internasional yang utama, yaitu, pertama dari Yaman yang menghubungkan
antara Timur lewat jalur laut dengan Mekah. Kedua, dari Syam yang menghubungkan
Asia Kecil dan Eropa Timur dengan Mekah. Ketiga, dari Irak yang menghubungkan
jalur darat ke Kabul, Kashmir, Singkiang, sampai ke Kanton dengan Mekah.
Keempat, dari Habsyi dan Mesir yang menghubungkan jalur darat antara
Alexandria, Mesir dengan Tangier, Ceuta, Maroko, kemudian menyeberangi Selat
Gibraltar menuju semenanjung Iberia dengan Mekah (Karim, 2007: hlm. 56-57).
Tentang Penulis
Nama: Aziz
Mahasiswa
Semester 7 Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI) UIN Sunan Kalijaga
Aktif di
komunitas Belajar Menulis (KBM) Jalan Taman Siswa
Tulisan ini
dikirim atas rekomendasi dari Ahmad Sahide
No hp:
08562998747
Tidak ada komentar:
Posting Komentar