Ofa; Penemuan Bakat Kepenyairannya
Awalnya, Ofadhani Afwan, panggilan kesehariannya Ofa, memperlihatkan
bakat sastranya pada saya dengan kemampuannya berpantun. Ada yang sempat ia
tuliskan dan ada juga yang berlalu bersama angin. Sebagai ‘teman bermain’, saya
pun selalu mendorongnya untuk terus menulis pantun. Ia pun terkadang datang
dengan membawa pantun-pantun barunya. Dari situ, yang terlihat dari saya adalah
dia memiliki bakat sastra yang boleh jadi karena faktor genetik. Ofa masih
memiliki warisan darah ‘sastra Padang’ dalam dirinya. Dari garis keturunan ibu,
Dr. Ietje Nazaruddin, ia berdarah Padang. Sebagaimana kita ketahui, bagi
peminat sastra terutama, bahwa Padang banyak melahirkan sastrawan-sastrawan
besar di Indonesia.
Dari Padang, sederet nama telah tertoreh (dan mengabadi tentunya) dalam
kesusasteraan Indonesia, ada Hamka dengan novelnya yang melegenda “Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijk,” terlepas ia didakwa oleh Muhidin M. Dahlan sebagai
plagiat. Karya lain dari Hamka yang juga melegenda adalah “Di Bawah Lindungan
Ka’bah”. Nama lainnya adalah A.A. Navis, yang lahir 17 November 1924 di Padang
Panjang, dengan salah satu cerpennya yang melegenda “Robohnya Surau Kami.” Juga
ada Abdoel Moeis dengan mahakaryanya “Salah Asuhan” dan “Salah Pilih”. Nama
lainnya yang melegenda adalah Marah Rusli, nama pena dari Marah Halim bin Sutan
Abubakar, dengan novelnya yang selalu disebut-sebut generasi muda dalam dunia
perjodohan (yang mencoba menghilangkan peran orangtua), “Siti Nurbaya (Kasih
Tak Sampai)”. Dan tentu masih banyak sastrawan-sastrawan besar lainnya dari
Padang yang pernah membangun ‘rezim’ sastra Indonesia. Sepertinya, Ofadhani
Afwan masih terkena cipratan ‘gen sastra’ dari Padang, walaupun ia ditakdirkan
lahir di Yogyakarta.
Lanjut cerita, pada suatu hari, Ofa bercerita kepada saya bahwa ia juga
bisa nulis puisi, selain nulis pantun. Ia mengatakan itu sambil bermain, tidak
meninggalkan dunianya sebagai anak yang waktu itu masih duduk kelas lima (5)
Sekolah Dasar (SD), sekarang sudah duduk di bangku kelas enam. Dengan cara dan
gaya saya, juga sambil bercanda tentunya, menantang adek kita ini menulis puisi
dan juga berjanji bahwa puisinya akan saya terbitkan. Maka ia pun mulai menulis
puisi, sangat intens (bersemangat). Bahkan saya membuatkan ia jadwal nulis
puisi di markas Komunitas Belajar Menulis (KBM) minimal sekali dalam satu
minggu. Dalam bahasanya, minta diajari menulis, tetapi sebenarnya saya tidak
mengajari dia menulis puisi. Saya hanya memberi ia fasilitas (Laptop) dan juga
mendampinginya menulis. Sesekali dengan ‘hadiah’ bemain Badminton
bersama di samping rumahnya. Hehehe.....
Dalam menulis puisi, Ofa terkadang sambil bermain atau mendengarkan
musik. Seolah itu yang mengiringi pencarian ide atau sebagai pembuka
imajinasinya. Dan imajinasinya dalam menangkap makna kehidupan (sebagaimana
yang dibahasakan oleh Mba Evi Idawati) kadang berjalan ketika melihat
benda-benda di sekeliling. Ada judul puisinya “Seperti Helm,” karena pada saat menulis, di atas
meja samping kanan Laptop ada helm putih. Begitulah ia berproses dalam dunia
kepenyairannya. Terkadang dalam satu kali pertemuan, Ofa menghasilkan tiga
sampai lima puisi. Terkadang juga hanya menghasilkan satu. Tergantung pada
suasana hatinya (mood). Ada pun judul dari puisi ini sebagian besar
datangnya dari saya. Adek Ofa hanya tahu menulis dan judulnya diserahkan ke
saya. Jadi, pekerjaan saya selain mendapingi ia menulis adalah menentukan judul
dari setiap karya yang dihasilkannya. Hanya satu dua puisinya yang ia beri
judul sendiri.
Untuk mengakhiri pangantar ini, saya menangkap dan membahasakan dalam
kata-kata rasa berterima kasih penulis (Ofadhani Afwan) dan juga kedua
orangtuanya tentu, Ir. Nizam Effendi-Dr. Ietje Nazaruddin, kepada Mba Evi
Idawati yang berkenan memberikan endorsement dari buku puisi Ofadhani
Afwan ini. Ini merupakan bentuk dukungan moril dari Mba Evi untuk Ofa dalam
menjaga, meneruskan, dan terus mengembangkan tradisi kepenyairannya.
Hal yang luar biasa dari Ofa adalah ia mampu melahirkan karya dalam
usianya kini yang baru menginjak dua belas tahun (Kelas 6 SD). Suatu hal yang
jarang kita temukan dari anak seumuran dia. Ada, tapi bisa dihitung jari. Di
Iran, misalnya, pernah lahir bocah kecil yang mampu menghafal al-Qur’an pada
usianya yang baru menginjak lima tahun, kemudian mendapatkan gelar Doktor Honoris
Causa dari Hijaz College Islamic University, Inggris, ketika ia
menginjak usia tujuh tahun. Anak itu adalah Muhammad Husein Tabataba’i yang
lahir di Qom pada tanggal 16 Februari 1991.
Menulis puisi dan menghafal al-Qur’an tentu sangat jauh untuk
dibandingkan, tetapi saya hanya ingin mengatakan bahwa seorang anak kecil bisa
menorehkan sejarah sesuai dengan bakat dan kemampuannya ketika kita mampu
menemukan dan memberi ruang baginya untuk berproses sesuai dengan bakat yang
dimilikinya. Bagi saya, apa yang dilakukan oleh Ofadhani Afwan dengan buku
puisinya ini adalah sejarah, makanya patut, bahkan wajib untuk kita abadikan.
Semoga ini bisa menginspirasi bagi anak-anak seumuran Ofa lainnya dan juga
membuat iri bagi yang sudah besar (anak-anak muda pada umumnya), tetapi belum
memiliki sesuatu yang bisa ia kontribusikan untuk bangsa dan negara, selain
gaya hidup (life style). Selamat kepada Ofadhani Afwan. Semoga terus
berkarya di tengah kesehariannya untuk bermain sebagai anak, dan belajar sebagai
siswa.
Ahmad Sahide
Teman bermain Ofa
Yogyakarta, 1 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar