Minggu, 02 Desember 2012

Ofa; Penemuan Bakat Kepenyairannya



Ofa; Penemuan Bakat Kepenyairannya

            Awalnya, Ofadhani Afwan, panggilan kesehariannya Ofa, memperlihatkan bakat sastranya pada saya dengan kemampuannya berpantun. Ada yang sempat ia tuliskan dan ada juga yang berlalu bersama angin. Sebagai ‘teman bermain’, saya pun selalu mendorongnya untuk terus menulis pantun. Ia pun terkadang datang dengan membawa pantun-pantun barunya. Dari situ, yang terlihat dari saya adalah dia memiliki bakat sastra yang boleh jadi karena faktor genetik. Ofa masih memiliki warisan darah ‘sastra Padang’ dalam dirinya. Dari garis keturunan ibu, Dr. Ietje Nazaruddin, ia berdarah Padang. Sebagaimana kita ketahui, bagi peminat sastra terutama, bahwa Padang banyak melahirkan sastrawan-sastrawan besar di Indonesia.
Dari Padang, sederet nama telah tertoreh (dan mengabadi tentunya) dalam kesusasteraan Indonesia, ada Hamka dengan novelnya yang melegenda “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk,” terlepas ia didakwa oleh Muhidin M. Dahlan sebagai plagiat. Karya lain dari Hamka yang juga melegenda adalah “Di Bawah Lindungan Ka’bah”. Nama lainnya adalah A.A. Navis, yang lahir 17 November 1924 di Padang Panjang, dengan salah satu cerpennya yang melegenda “Robohnya Surau Kami.” Juga ada Abdoel Moeis dengan mahakaryanya “Salah Asuhan” dan “Salah Pilih”. Nama lainnya yang melegenda adalah Marah Rusli, nama pena dari Marah Halim bin Sutan Abubakar, dengan novelnya yang selalu disebut-sebut generasi muda dalam dunia perjodohan (yang mencoba menghilangkan peran orangtua), “Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai)”. Dan tentu masih banyak sastrawan-sastrawan besar lainnya dari Padang yang pernah membangun ‘rezim’ sastra Indonesia. Sepertinya, Ofadhani Afwan masih terkena cipratan ‘gen sastra’ dari Padang, walaupun ia ditakdirkan lahir di Yogyakarta.
Lanjut cerita, pada suatu hari, Ofa bercerita kepada saya bahwa ia juga bisa nulis puisi, selain nulis pantun. Ia mengatakan itu sambil bermain, tidak meninggalkan dunianya sebagai anak yang waktu itu masih duduk kelas lima (5) Sekolah Dasar (SD), sekarang sudah duduk di bangku kelas enam. Dengan cara dan gaya saya, juga sambil bercanda tentunya, menantang adek kita ini menulis puisi dan juga berjanji bahwa puisinya akan saya terbitkan. Maka ia pun mulai menulis puisi, sangat intens (bersemangat). Bahkan saya membuatkan ia jadwal nulis puisi di markas Komunitas Belajar Menulis (KBM) minimal sekali dalam satu minggu. Dalam bahasanya, minta diajari menulis, tetapi sebenarnya saya tidak mengajari dia menulis puisi. Saya hanya memberi ia fasilitas (Laptop) dan juga mendampinginya menulis. Sesekali dengan ‘hadiah’ bemain Badminton bersama di samping rumahnya. Hehehe.....
Dalam menulis puisi, Ofa terkadang sambil bermain atau mendengarkan musik. Seolah itu yang mengiringi pencarian ide atau sebagai pembuka imajinasinya. Dan imajinasinya dalam menangkap makna kehidupan (sebagaimana yang dibahasakan oleh Mba Evi Idawati) kadang berjalan ketika melihat benda-benda di sekeliling. Ada judul puisinya “Seperti Helm,” karena pada saat menulis, di atas meja samping kanan Laptop ada helm putih. Begitulah ia berproses dalam dunia kepenyairannya. Terkadang dalam satu kali pertemuan, Ofa menghasilkan tiga sampai lima puisi. Terkadang juga hanya menghasilkan satu. Tergantung pada suasana hatinya (mood). Ada pun judul dari puisi ini sebagian besar datangnya dari saya. Adek Ofa hanya tahu menulis dan judulnya diserahkan ke saya. Jadi, pekerjaan saya selain mendapingi ia menulis adalah menentukan judul dari setiap karya yang dihasilkannya. Hanya satu dua puisinya yang ia beri judul sendiri.
Untuk mengakhiri pangantar ini, saya menangkap dan membahasakan dalam kata-kata rasa berterima kasih penulis (Ofadhani Afwan) dan juga kedua orangtuanya tentu, Ir. Nizam Effendi-Dr. Ietje Nazaruddin, kepada Mba Evi Idawati yang berkenan memberikan endorsement dari buku puisi Ofadhani Afwan ini. Ini merupakan bentuk dukungan moril dari Mba Evi untuk Ofa dalam menjaga, meneruskan, dan terus mengembangkan tradisi kepenyairannya.
Hal yang luar biasa dari Ofa adalah ia mampu melahirkan karya dalam usianya kini yang baru menginjak dua belas tahun (Kelas 6 SD). Suatu hal yang jarang kita temukan dari anak seumuran dia. Ada, tapi bisa dihitung jari. Di Iran, misalnya, pernah lahir bocah kecil yang mampu menghafal al-Qur’an pada usianya yang baru menginjak lima tahun, kemudian mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Hijaz College Islamic University, Inggris, ketika ia menginjak usia tujuh tahun. Anak itu adalah Muhammad Husein Tabataba’i yang lahir di Qom pada tanggal 16 Februari 1991.
Menulis puisi dan menghafal al-Qur’an tentu sangat jauh untuk dibandingkan, tetapi saya hanya ingin mengatakan bahwa seorang anak kecil bisa menorehkan sejarah sesuai dengan bakat dan kemampuannya ketika kita mampu menemukan dan memberi ruang baginya untuk berproses sesuai dengan bakat yang dimilikinya. Bagi saya, apa yang dilakukan oleh Ofadhani Afwan dengan buku puisinya ini adalah sejarah, makanya patut, bahkan wajib untuk kita abadikan. Semoga ini bisa menginspirasi bagi anak-anak seumuran Ofa lainnya dan juga membuat iri bagi yang sudah besar (anak-anak muda pada umumnya), tetapi belum memiliki sesuatu yang bisa ia kontribusikan untuk bangsa dan negara, selain gaya hidup (life style). Selamat kepada Ofadhani Afwan. Semoga terus berkarya di tengah kesehariannya untuk bermain sebagai anak, dan belajar sebagai siswa.
Ahmad Sahide
Teman bermain Ofa
Yogyakarta, 1 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar