Minggu, 09 Desember 2012

Dinamika Gerakan Mahasiswa dan Secangkir Kopi



Dinamika Gerakan Mahasiswa dan Secangkir Kopi
             
                                                                                    Oleh: Aziz Ahmad*

Kini di Jogjakarta, seperti halnya di suku Melayu, kopi menjadi social drink. Menjadi solusi manjur untuk mengatasi terjadinya alienasi (keterasingan) yang dialami manusia sebagai dampak modernisasi yang dielu-elukan para sosiolog. Kopi mengatasi rasa haus dalam bentuk yang lain. Haus ingin bicara, haus ingin mendengar, dan haus ingin didengar (Hirata, 2010: 23). Bagi orang yang sedang putus asa, kopi adalah pelarian sekaligus kebahagiaan. Di warung kopi, kesusahan larut dalam setiap hirupan kopi yang menghangatkan hati dan dibagi pada orang lain sehingga kesusahan itu makin terasa ringan.

kehadiran sejumlah kedai kopi di Yogyakarta sebagai ajang berkumpul mahasiswa menjadi hal yang menarik untuk diperhatikan. Paling tidak terdapat dua pandangan dalam menilai aktivitas mereka di kedai kopi. Pertama, kedai kopi berfungsi sebagai media untuk memperkuat solidaritas sosial antaranggota mahasiswa. Di dalamnya mereka berdiskusi tentang agenda-agenda organisasi dan membahas diskursus keilmuan dan berbagai hal yang bermanfaat lainnya. Kedua, kedai kopi dianggap menjadi tempat untuk menghabiskan waktu dan berhura-hura karena tidak ada kesibukan yang menjadi tanggungjawab mahasiswa seusai jam kuliah.

Mahasiswa aktivis kedai kopi merupakan istilah baru yang diberikan kepada mahasiswa yang menjadikan kedai kopi sebagai agenda hariannya. Secangkir kopi dan sebungkus rokok selalu menjadi teman setia selama berjam-jam di kedai kopi. Tidak jarang dari mereka hanya bersenda gurau, ngobrol ngalor-ngidul, facebook-an, dan ada juga yang bermain kartu. Pemandangan seperti ini bisa kita lihat misalnya di kedai kopi Blandongan, Grisei, Mato, dan SJ (Secangkir Jawa). Hal ini kemudian menjadi semacam ‘blue print’ dari beberapa kalangan yang melihat kedai kopi hanya sebagai tempat untuk bersenang-senang saja.  Dalam ilmu sosial, kebiasaan seperti ini bisa dikategorikan sebagai problem sosial. Namun, sangat tidak bijak jika penilaian semacam itu hanya dilihat dari satu sudut pandang saja.

Kampus sebagai kawah candradimuka lahirnya pemimpin bangsa harus berbenah diri melihat kondisi seperti ini. Berbagai badan organisasi mahasiswa seperti BEM harusnya menyediakan berbagai kegiatan yang mewadahi kreativitas mahasiswa. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa dunia mahasiswa adalah dunia proses, dunia persiapan, dan dunia belajar. Oleh karenanya, segala sesuatu yang dilakukan, baik oleh organisasi intra maupun ekstra kampus, hendaknya diarahkan kepada upaya pemantapan proses menuju terciptanya kematangan profesional mahasiswa, khususnya kegiatan yang mendukung pengembangan softkill mahasiswa khususnya dalam bidang Information and Tecnologi (IT), bahasa asing, kepemimpinan, dan kewirausahaan. Jadi, kampus harus dipahami sebagai miniatur kehidupan makro, yang dengan sendirinya tidak bisa terceraikan dari fakta-fakta sosial yang tengah terjadi (Al-Zastrouw, 1998: 157).

Di samping itu, organisasi pergerakan, yang masih lesu sampai saat ini, harus melakukan terobosan-terobosan baru untuk melakukan latihan-latihan politik, mempertajam kepekaan sosial, dan mengusung wacana-wacana baru yang bersifat global. Kritik Prof. Machasin, Guru Besar Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga, yang menyatakan bahwa rendahnya minat mahasiswa terhadap organisasi pergerakan salah satunya disebabkan karena organisasi ekstra kampus tersebut kurang agresif dalam mengusung tema-tema global seperti multikulturalisme. Sikap menutup diri dari realitas sosial, selain mendangkalkan daya kritis, sikap seperti ini juga merupakan ‘dosa sosial’ mahasiswa karena telah mengingkari warisan sejarah yang dibebankan kepadanya, yaitu sebagai agen perubahan dan kontrol sosial. 

Dengan begitu, kedai kopi bagi mahasiswa, selain sebagai tempat menghilangkan penat juga berfungsi untuk memperkuat solidaritas sosial, pengembangan wacana keilmuan,  tempat bertukar pikiran, dan kegiatan positif lainnya. 

*Mahasiswa Semester 7 Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga

             
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar