Dinamika Gerakan Mahasiswa dan Secangkir Kopi
Oleh: Aziz Ahmad*
Kini di Jogjakarta, seperti halnya di suku Melayu, kopi menjadi social
drink. Menjadi solusi manjur untuk mengatasi terjadinya alienasi
(keterasingan) yang dialami manusia sebagai dampak modernisasi yang
dielu-elukan para sosiolog. Kopi mengatasi rasa haus dalam bentuk yang lain.
Haus ingin bicara, haus ingin mendengar, dan haus ingin didengar (Hirata, 2010:
23). Bagi orang yang sedang putus asa, kopi adalah pelarian sekaligus kebahagiaan.
Di warung kopi, kesusahan larut dalam setiap hirupan kopi yang menghangatkan
hati dan dibagi pada orang lain sehingga kesusahan itu makin terasa ringan.
kehadiran sejumlah kedai kopi di Yogyakarta sebagai ajang berkumpul
mahasiswa menjadi hal yang menarik untuk diperhatikan. Paling tidak terdapat
dua pandangan dalam menilai aktivitas mereka di kedai kopi. Pertama, kedai kopi
berfungsi sebagai media untuk memperkuat solidaritas sosial antaranggota
mahasiswa. Di dalamnya mereka berdiskusi tentang agenda-agenda organisasi dan
membahas diskursus keilmuan dan berbagai hal yang bermanfaat lainnya. Kedua,
kedai kopi dianggap menjadi tempat untuk menghabiskan waktu dan berhura-hura
karena tidak ada kesibukan yang menjadi tanggungjawab mahasiswa seusai jam kuliah.
Mahasiswa aktivis kedai kopi merupakan istilah baru yang diberikan
kepada mahasiswa yang menjadikan kedai kopi sebagai agenda hariannya. Secangkir
kopi dan sebungkus rokok selalu menjadi teman setia selama berjam-jam di kedai
kopi. Tidak jarang dari mereka hanya bersenda gurau, ngobrol ngalor-ngidul,
facebook-an, dan ada juga yang bermain kartu. Pemandangan seperti ini bisa
kita lihat misalnya di kedai kopi Blandongan, Grisei, Mato, dan SJ (Secangkir
Jawa). Hal ini kemudian menjadi semacam ‘blue print’ dari beberapa
kalangan yang melihat kedai kopi hanya sebagai tempat untuk bersenang-senang
saja. Dalam ilmu sosial, kebiasaan
seperti ini bisa dikategorikan sebagai problem sosial. Namun, sangat tidak
bijak jika penilaian semacam itu hanya dilihat dari satu sudut pandang saja.
Kampus sebagai kawah candradimuka lahirnya pemimpin bangsa
harus berbenah diri melihat kondisi seperti ini. Berbagai badan organisasi
mahasiswa seperti BEM harusnya menyediakan berbagai kegiatan yang mewadahi
kreativitas mahasiswa. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa dunia mahasiswa
adalah dunia proses, dunia persiapan, dan dunia belajar. Oleh karenanya, segala
sesuatu yang dilakukan, baik oleh organisasi intra maupun ekstra kampus,
hendaknya diarahkan kepada upaya pemantapan proses menuju terciptanya
kematangan profesional mahasiswa, khususnya kegiatan yang mendukung
pengembangan softkill mahasiswa khususnya dalam bidang Information
and Tecnologi (IT), bahasa asing, kepemimpinan, dan kewirausahaan. Jadi,
kampus harus dipahami sebagai miniatur kehidupan makro, yang dengan sendirinya
tidak bisa terceraikan dari fakta-fakta sosial yang tengah terjadi
(Al-Zastrouw, 1998: 157).
Di samping itu, organisasi pergerakan, yang masih lesu sampai saat
ini, harus melakukan terobosan-terobosan baru untuk melakukan latihan-latihan
politik, mempertajam kepekaan sosial, dan mengusung wacana-wacana baru yang
bersifat global. Kritik Prof. Machasin, Guru Besar Sejarah dan Kebudayaan Islam
UIN Sunan Kalijaga, yang menyatakan bahwa rendahnya minat mahasiswa terhadap
organisasi pergerakan salah satunya disebabkan karena organisasi ekstra kampus
tersebut kurang agresif dalam mengusung tema-tema global seperti multikulturalisme.
Sikap menutup diri dari realitas sosial, selain mendangkalkan daya kritis,
sikap seperti ini juga merupakan ‘dosa sosial’ mahasiswa karena telah
mengingkari warisan sejarah yang dibebankan kepadanya, yaitu sebagai agen
perubahan dan kontrol sosial.
Dengan begitu, kedai kopi bagi mahasiswa, selain sebagai tempat
menghilangkan penat juga berfungsi untuk memperkuat solidaritas sosial,
pengembangan wacana keilmuan, tempat
bertukar pikiran, dan kegiatan positif lainnya.
*Mahasiswa
Semester 7 Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar