Budaya Kekerasan: antara Nirsadar
Kolektif dan Cinta ala Fromm
Darwin
“Kehidupan
adalah seni mencinta”
(Erich
Fromm)
Jika
mencermati berita di televisi, surat kabar, dan dunia maya Internet akhir-akhir
ini, seolah-olah bangsa kita yang besar ini hanya dipenuhi oleh para “manusia
haus darah” yang menjadikan the others sebagai
objek pengaktualisasian diri dengan cara yang sangat purba: kekerasan. The others di sini diidentifikasi
sebagai lawan yang harus “ditaklukkan” karena adanya sekat-sekat primordialisme.
Hal ini mewujud ke dalam identitas yang menjadi ciri masyarakat dari dahulu
hingga saat ini. Dan, dengan identitas itu lahirlah sebuah ambisi yang meniadakan
identitas yang lain.
Kekerasan dilakukan oleh semua
kelompok dalam masyarakat, baik itu mahasiswa, politisi di DPR, organisasi yang
mencatut nama agama, hingga masyarakat biasa. Peristiwa yang memiriskan hati
terjadi di Lampung, provinsi yang terkenal dengan masyarakatnya yang majemuk
itu. Setidaknya 14 orang meninggal akibat bentrok antarwarga Desa Balinuraga, Kecamatan
Way Panji, dan warga beberapa desa di Kecamatan Kalianda, Lampung Selatan, 28
dan 29 Oktober lalu (Kompas, 1/11/2012).
Tentang “budaya” kekerasan yang
sudah ada sejak zaman purba ini, Psikolog Analitik, Carl Gustav Jung dan Erich
Fromm, seorang Psikoanalis Kritis menganalisinya secara filosofis dan akademik.
Dua orang ini memiliki perspektif luar biasa dalam memandang kekerasan.
Kekerasan yang selama ini kita anggap sebagai perilaku destruktif dan abai
dengan solidaritas itu, dilihat oleh dua pakar ini secara memikat, di mana
kekerasan tidak hanya sekadar baku-hantam dan sabetan senjata tajam saja, tapi
lebih daripada itu.
Carl Gustav Jung
Carl Gustav Jung (selanjutnya Jung)
melihat, fenomena kekerasan bisa terjadi disebabkan adanya nirsadar
kolektif pada diri manusia. Nirsadar
(ketaksadaran, lawan dari kesadaran) kolektif bisa diartikan sebagai warisan ingatan
masa lalu sejak kita kecil yang menjadi mitos dalam benak setiap individu.
Mitos warisan masa lalu ini bisa berupa ideologi, ataupun berupa cerita yang
didongengkan setiap malam menjelang tidur oleh nenek, atau petuah-petuah hidup
lainnya yang diberikan oleh orangtua kita ketika kita berinteraksi dalam
keluarga. Mimpi, menurut Si Gustav Jung, juga termasuk bagian dari nirsadar
kolektif ini. Penulis membahasakan nirsadar kolektif ini dengan endapan-endapan
yang suatu saat bisa muncul ke permukaan saat kita dalam keadaan sadar.
Sebagaimana diketahui, menurut para psikoanalis, struktur kepribadian kita
dalam kondisi sadar itu hanyalah puncak gunung es dari struktur kepribadian
yang lain, yakni ketidaksadaran tadi.
Nah, kekerasan yang muncul dalam
masyarakat kita belakangan ini, jika dikaitkan dengan nirsadar kolektif Jung ini, disebabkan oleh endapan-endapan
masa lalu tentang identitas unggul (kelompok kita yang paling baik),
dongeng-dongeng yang berkait kekerasan sebagai jalan ampuh penyelesai masalah,
dan lain sebagainya. “Dongeng” yang telah mengendap sejak kita kecil ini bisa
muncul di masa sekarang ketika menemukan “media”-nya, yakni berupa objek
aktualisasi diri di atas tadi. Maka kekerasan pun tak dapat dihindarkan.
Erich Fromm
Buku Erich Fromm yang paling sering
disebut ketika bicara kekerasan tentunya adalah The
Anatomy of Human Destruktiveness, atau dalam bahasa Indonesia diartikan
dengan anatomi kekerasan manusia. Menurut Fromm, ada dua kecendrungan cinta
dalam diri manusia, yakni cinta akan kehidupan dan cinta kematian (Ibrahim,
2007: 239). Kekerasan yang mewabah di bangsa ini adalah penanda masyarakat
Indonesia cinta akan kematian. Fromm membahasakannya dengan nekrofilus.
Masyarakat yang cinta akan kematian
ini selalu “ingin” melihat orang lain “bonyok”, bahkan tak bernyawa sekaligus.
Daya rusak terhadap objek juga menjadi ambisi masyarakat berkarakter nekrofilus ini. Apa saja yang dilihat
pastilah jiwa destruktif akan muncul secara tiba-tiba. Dalam bahasa Jung di
atas tadi disebut dengan endapan yang melesat ke permukaan secara tak terduga.
Kekerasan memang sudah lumrah dalam
sejarah peradaban umat manusia. Dimulai dari dua putra Adam, Habil dan Qabil,
tradisi itu terus berlanjut hingga peradaban abad modern yang serba digital saat
ini. Dalam konteks keindonesiaan, tradisi kekerasan juga menemukan tempatnya
juga. Parahnya, kekerasan malah dijalankan oleh negara. Banyak para aktivis
atau pembangkang politik yang menjadi objek kekerasan negara. Padahal,
masyarakat (negara) kita adalah masyarakat yang kaya akan nilai-nilai budaya.
Tentu saja budaya yang selalu mengedepankan kedamaian, toleran, lemah lembut,
dan beragam nilai khas Indonesia lainnya. Di manakah cinta seperti yang dikatakan
Fromm di awal tulisan ini? Entahlah! Yang bisa kita lakukan adalah menyebar ‘cinta
akan kehidupan’ (biofilus) di
tengah-tengah masyarakat yang dipenuhi culture
of violence saat ini! Wallahu a’lam
bi al-shawab.
Jogja 2 11 2012, 9.56 PM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar