Senin, 19 November 2012

Budaya Kekerasan: antara Nirsadar Kolektif dan Cinta ala Fromm



Budaya Kekerasan: antara Nirsadar Kolektif dan Cinta ala Fromm
Darwin
“Kehidupan adalah seni mencinta”
(Erich Fromm)            
Jika mencermati berita di televisi, surat kabar, dan dunia maya Internet akhir-akhir ini, seolah-olah bangsa kita yang besar ini hanya dipenuhi oleh para “manusia haus darah” yang menjadikan the others sebagai objek pengaktualisasian diri dengan cara yang sangat purba: kekerasan. The others di sini diidentifikasi sebagai lawan yang harus “ditaklukkan” karena adanya sekat-sekat primordialisme. Hal ini mewujud ke dalam identitas yang menjadi ciri masyarakat dari dahulu hingga saat ini. Dan, dengan identitas itu lahirlah sebuah ambisi yang meniadakan identitas yang lain.

            Kekerasan dilakukan oleh semua kelompok dalam masyarakat, baik itu mahasiswa, politisi di DPR, organisasi yang mencatut nama agama, hingga masyarakat biasa. Peristiwa yang memiriskan hati terjadi di Lampung, provinsi yang terkenal dengan masyarakatnya yang majemuk itu. Setidaknya 14 orang meninggal akibat bentrok antarwarga Desa Balinuraga, Kecamatan Way Panji, dan warga beberapa desa di Kecamatan Kalianda, Lampung Selatan, 28 dan 29 Oktober lalu (Kompas, 1/11/2012).

            Tentang “budaya” kekerasan yang sudah ada sejak zaman purba ini, Psikolog Analitik, Carl Gustav Jung dan Erich Fromm, seorang Psikoanalis Kritis menganalisinya secara filosofis dan akademik. Dua orang ini memiliki perspektif luar biasa dalam memandang kekerasan. Kekerasan yang selama ini kita anggap sebagai perilaku destruktif dan abai dengan solidaritas itu, dilihat oleh dua pakar ini secara memikat, di mana kekerasan tidak hanya sekadar baku-hantam dan sabetan senjata tajam saja, tapi lebih daripada itu.

Carl Gustav Jung
            Carl Gustav Jung (selanjutnya Jung) melihat, fenomena kekerasan bisa terjadi disebabkan adanya nirsadar kolektif  pada diri manusia. Nirsadar (ketaksadaran, lawan dari kesadaran) kolektif bisa diartikan sebagai warisan ingatan masa lalu sejak kita kecil yang menjadi mitos dalam benak setiap individu. Mitos warisan masa lalu ini bisa berupa ideologi, ataupun berupa cerita yang didongengkan setiap malam menjelang tidur oleh nenek, atau petuah-petuah hidup lainnya yang diberikan oleh orangtua kita ketika kita berinteraksi dalam keluarga. Mimpi, menurut Si Gustav Jung, juga termasuk bagian dari nirsadar kolektif ini. Penulis membahasakan nirsadar kolektif ini dengan endapan-endapan yang suatu saat bisa muncul ke permukaan saat kita dalam keadaan sadar. Sebagaimana diketahui, menurut para psikoanalis, struktur kepribadian kita dalam kondisi sadar itu hanyalah puncak gunung es dari struktur kepribadian yang lain, yakni ketidaksadaran tadi. 

            Nah, kekerasan yang muncul dalam masyarakat kita belakangan ini, jika dikaitkan dengan nirsadar kolektif  Jung ini, disebabkan oleh endapan-endapan masa lalu tentang identitas unggul (kelompok kita yang paling baik), dongeng-dongeng yang berkait kekerasan sebagai jalan ampuh penyelesai masalah, dan lain sebagainya. “Dongeng” yang telah mengendap sejak kita kecil ini bisa muncul di masa sekarang ketika menemukan “media”-nya, yakni berupa objek aktualisasi diri di atas tadi. Maka kekerasan pun tak dapat dihindarkan. 

Erich Fromm
            Buku Erich Fromm yang paling sering disebut ketika bicara kekerasan tentunya adalah  The Anatomy of Human Destruktiveness, atau dalam bahasa Indonesia diartikan dengan anatomi kekerasan manusia. Menurut Fromm, ada dua kecendrungan cinta dalam diri manusia, yakni cinta akan kehidupan dan cinta kematian (Ibrahim, 2007: 239). Kekerasan yang mewabah di bangsa ini adalah penanda masyarakat Indonesia cinta akan kematian. Fromm membahasakannya dengan nekrofilus

            Masyarakat yang cinta akan kematian ini selalu “ingin” melihat orang lain “bonyok”, bahkan tak bernyawa sekaligus. Daya rusak terhadap objek juga menjadi ambisi masyarakat berkarakter nekrofilus ini. Apa saja yang dilihat pastilah jiwa destruktif akan muncul secara tiba-tiba. Dalam bahasa Jung di atas tadi disebut dengan endapan yang melesat ke permukaan secara tak terduga. 

            Kekerasan memang sudah lumrah dalam sejarah peradaban umat manusia. Dimulai dari dua putra Adam, Habil dan Qabil, tradisi itu terus berlanjut hingga peradaban abad modern yang serba digital saat ini. Dalam konteks keindonesiaan, tradisi kekerasan juga menemukan tempatnya juga. Parahnya, kekerasan malah dijalankan oleh negara. Banyak para aktivis atau pembangkang politik yang menjadi objek kekerasan negara. Padahal, masyarakat (negara) kita adalah masyarakat yang kaya akan nilai-nilai budaya. Tentu saja budaya yang selalu mengedepankan kedamaian, toleran, lemah lembut, dan beragam nilai khas Indonesia lainnya. Di manakah cinta seperti yang dikatakan Fromm di awal tulisan ini? Entahlah! Yang bisa kita lakukan adalah menyebar ‘cinta akan kehidupan’ (biofilus) di tengah-tengah masyarakat yang dipenuhi culture of violence saat ini! Wallahu a’lam bi al-shawab.
Jogja 2 11 2012, 9.56 PM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar