Minggu, 08 Juli 2012

“Dia Harus Belajar Pada Puisinya Sendiri”

 “Apalah arti sebuah nama?” kata William Shakespeare. Ini tentu sudah lazim dan akrab dengan telinga kita. Tapi bagi Bustan Basir Maras, penyair yang menulis buku “Negeri Anak Mandar”, nama bagi seorang penyair itu penting. Hal ini ia katakan dalam diskusi sederhana di Komunitas Belajar Menulis (KBM), Selasa, 12 Juni 2012, malam, yang membedah buku “Puisi dan Sebuah Janji”, karya A. Hasdiansyah (AH), mahasiswa Universitas Negeri Makassar (UNM). Oleh karena itu, dalam diskusi buku tersebut, di mana Bustan Basir Maras sebagai pembicara tunggal, ia mengatakan bahwa seandainya penulis (AH) sempat hadir dalam forum tersebut, maka ia menyarankan kepada sang pemilik nama untuk memikirkan ulang nama “A. Hasdiansyah” sebagai nama pena dalam dunia kepenyairan. “Pakai nama Andi lagi?” katanya dengan ekspresi yang menyiratkan seolah kata “Andi” kurang ‘senyawa’ dengan dunia kepenyairan.

Posisi AH dalam dunia kepenyairan Bustan Basir Maras sangat mengapresiasi semangat pencarian dan proses kreatif dari AH dengan karya pertamanya tersebut. Dan ia melihat bahwa buku puisi tersebut sebagai bagian dari proses panjang yang masih harus dijejaki oleh AH dalam dunia kepenyairan. Bagi Basir Maras, ada tiga (3) tingkatan yang mesti dilalui oleh seorang penyair; mengamati, menirukan, dan menambah. Dari ketiga tingkatan ini, penggerak dari Komunitas Goeboek Indonesia ini melihat bahwa AH baru pada tingkatan kedua, yaitu pada tingkatan menirukan. Oleh karena itu, gaya penulisan AH di dalam bukunya tersebut menirukan dan mengambil hampir semua gaya kepenulisan dari penyair-penyair ternama di Indonesia.

Dari empat besar ‘mazhab penyair’ di Indonesia, WS Rendra, Sutarji Kalsum Bahri, Goenawan Muhammad, dan Sapardi Joko Damono, ditemukan gaya itu dalam puisi-puisi AH tersebut. Misalnya “Sajak Buta” pada halaman 19, yang bagi Bustan Basir Maras, mirip dengan gaya Sutardji Chalsoum Bahri. Beberapa mirip dengan gaya Rendra, Sapardi dan lain-lain. Ada juga puisinya yang mirip dengan puisi-puisi tahun 80-an, seperti “Ada Badai di Ujung Senja, Shalat magrib,” pada halaman 94. Puisi yang sangat singkat, kalimat pertama adalah judulnya, dan kalimat kedua adalah teks dari puisi tersebut. judul lebih panjang dari isi. Ini, bagi Bustan Basir Maras yang sudah bertahun-tahun bergelut dalam dunia kepenyairan, banyak ditemukan pada era tahun 80-an. Bustan Basir Maras berharap bahwa proses yang kini sedang dijejaki oleh AH tidak berhenti dalam pencarian jati diri dan karakter khasnya sebagai penyair. Dan proses itu tidak instan tentunya. Maka di sinilah dibutuhkan ketekunan dan kesabaran dalam mengikuti proses-proses tersebut. Hal ini tentu penting bagi setiap penyair, terutama kepada AH dengan bukunya tersebut, karena dari seratus puisi AH dalam buku tersebut, Basir Maras hanya menemukan satu yang berhasil menjadi puisi, itu menurutnya, yaitu “Bulan Merah, Bulan Merana” pada halaman 20. Dan AH harus belajar pada puisinya tersebut. Puisi; benar/logis dan indah Namanya saja dunia sastra, ia tidak punya rumus kepastian mengenai puisi yang bagus dan juga cara menulis puisi yang baik. Tetapi paling tidak, Bustan Basir Maras memberikan sedikit gambaran bahwa sebuah puisi itu harus benar dan indah, logis dan indah. Artinya bahwa dalam menulis puisi logika-kebenaran juga harus diperhatikan. Setelah ia benar dan logis, maka ia harus indah dalam rangkaian kalimatnya. Bahasa puisi tentu harus berbeda dengan bahasa penjual sayur di pasaran. Ada pun puisi-puisi AH, bagi Basir Maras, itu sudah benar, tetapi belum indah. Dan juga jangan lupa bahwa puisi perlu bertendens; puisi selain ia dilihat sebagai sastrawi, ia juga harus hadir sebagai penyampai pesan sosial dan budaya kepada masyarakat. Jadi ia tidak sekedar puisi, sepuitik dan seromantik apa pun ia, ia harus jelas mau menyampaikan apa kepada pembacanya. Itulah sastra (puisi) yang bertendens. Karena, bagaimanapun, kata, puisi, karya sastra, merupakan alat atau media ekspresi bagi sastrawan (Sambodja, 2011:61). Itulah mengapa Seno Gumira Ajidarma mengatakan bahwa ketika pers dibungkam, maka sastra harus bicara.

Ahmad Sahide, Yogyakarta, 14 Juni 2012
Bacaan Sambodja, Asep. 2011. Asep Sambodja Menulis. Bandung: Ultimus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar