Minggu, 26 Agustus 2012

Tiga Tokoh yang Saya Kagumi

Hidup ini menjadi indah salah satunya karena ada objek di luar diri kita untuk dijadikan sebagai pemanis hidup. Ia menjadi pelengkap di tengah misteri kehidupan kita di dunia yang sulit kita tebak ini. Ada yang mengagumi pasangan hidupnya, teman, benda-benda, atau yang paling aneh (bagi penulis), ada yang kagum dengan seorang politisi. Banyak juga yang mengagumi seorang sastrawan, intelektual, nabi, filosof, dan ibu kita sendiri.

Yang paling menarik belakangan ini adalah fenomena terkagum-kagumnya orang Indonesia dengan yang “berbau” Korea. Ya, kekaguman ini tentu saja dimulai dari para artis Korea yang tanpa henti menghiasi televisi kita dari dulu hingga sekarang ini, dari kita bangun tidur hingga tidur kembali. Bahkan, ketika tidur pun yang ada dalam mimpi kita adalah artis-artis Korea yang katanya ganteng dan cantik-cantik itu (versi sebagian orang). Berkat para artis inilah, budaya Korea menyerbu masuk ke kamar-kamar tidur anak-anak Indonesia. Merubah ruang tamu keluarga orang Indonesia dari nuansa Jawa, Maluku, Papua, menjadi “beraroma” Korea. Budaya Korea masuk menyerbu ruang-ruang keindonesiaan kita lewat film-filmnya yang katanya romantis itu. Atau melalui para boyband-boyband-nya yang bak dewa itu. Biar saja orang tergila-gila dengan segala yang berbau Korea, penulis, untuk saat ini tetap tidak tertarik untuk mengagumi artis-artis Korea itu.


Dalam benak penulis hanya ada bayangan para intelektual-politisi hebat pra-kemerdekaan, itu pun mengerucut pada tiga tokoh fantastis: Mohamad Hatta, Tan Malaka, dan si jenius yang menguasai banyak bahasa, sekaligus cendekiawan Muslim, Agus Salim. Bukannya mengecilkan peran para tokoh bangsa pra-kemerdekaan lainnya, tetapi penulis mengspesialkan tiga tokoh ini karena ada yang berbeda dari tiga tokoh ini yang penulis lihat. Semua orang berhak mengidolakan seseorang atau sesuatu bukan! Seperti orang-orang yang menuhankan para artis Korea itu. Mohamad Hatta Penulis kagum pada sosok Mohammad Hatta (selanjutnya Hatta) ini karena kecintaannya pada buku. Bukannya menafikan kontribusi besarnya pada bangsa ini, tetapi, hemat penulis, ada “keanehan” tersendiri dengan salah satu tokoh proklamasi ini. “Aneh” disini penulis maksudkan, ia berbeda dengan para tokoh bangsa lainnya dalam hal “memuja” buku. Dari berbagai literatur kita ketahui, hal-hal aneh dilakukan oleh Hatta dalam perjumpaannya dengan buku. Misalnya, mas kawin untuk istrinya, Rahmi Rachim, adalah sebuah buku hasil kreasinya ketika dibuang di Digul, yakni Alam Pikiran Yunani (Alfarizi, 2009: 198-199). Kegilaannnya yang lain adalah ketika dia pulang dari kuliah di negeri Belanda antara tahun 1921-1932, ia membawa 16 peti buku dan hanya sekoper pakaian. Banyak cerita juga yang menyebutkan Hatta akan langsung marah pada anak-anak saat ia diasingkan di Banda Neira ketika ada seorang anak yang tidak sengaja menumpahkan kopi di atas bukunya.

Kita bisa merefleksi ulang, sudah sejauh mana kita bergelut dengan buku-buku. Atau, misalnya, jika dikaitkan dengan para pemimpin kita sekarang, apakah mereka juga mencintai buku sepertti Hatta. Pemimpin kita sekarang sepertinya hanya sibuk dengan diri sendiri, dan tentu saja kesibukan itu pasti tidak jauh-jauh dari yang namanya mempertahankan posisi dalam jagat politik. Jarang kita mendengar di jagat pemberitaan kita ada seorang politisi yang “segila” Hatta dalam kecintaannya terhadap buku. Agus Salim Agus Salim adalah salah satu founding father kita yang tidak diragukan lagi track record-nya dalam peta perjalanan Bangsa Indonesia. Tercatat ia adalah salah satu anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), juga anggota DPR (Volksraad) zaman Hindia Belanda yang, ketika berada di lembaga ini ia sangatlah kritis dengan pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu, ia juga anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang mempersiapkan segala sesuatunya demi kelengkapan syarat sebagai sebuah negara. Penyusunan Undang-undang Dasar (UUD) adalah salah satu kerja luar biasa badan ini. Tentu saja pemikiran-pemikiran cerlang Agus Salim ikut mewarnai isi dari UUD kita ini. Yang lain yang membuat penulis kagum dengan tokoh ini yakni penguasaannya terhadap berbagai bahasa di dunia—Inggris, Jerman, Belanda, Arab, Perancis, Turki, Jepang, Cina, dll.—(Anshoriy dan Tjakrawerdaya, 2008: 56), keterampilannya dalam berdiplomasi—dengan retorikanya yang luar biasa—, dan keproduktifannya dalam menghasilkan karya tulis. Ia adalah diplomat ulung yang membuat negara-negara Arab seperti Mesir, misalnya, terpaksa mengakui kedulatan negara kita pasca-ditancapkannya tiang penanda kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Diplomat ulung ini patut kiranya menjadi contoh bagi diplomat-diplamat era sekarang, terutama terkait dengan maraknya “pencaplokan” atau pengambilalihan pulau-pulau di perbatasan kita oleh negara tetangga. Tan Malaka Sosok yang satu ini sangat kontroversial, tetapi karena kekontroversialannya inilah maka penulis mengidolakannya. Betapa tidak, ia selalu dicap oleh negara sebagai tokoh kiri (Komunis), pemberontak kemapanan (negara), agitator, dan berbagai julukan-julukan tidak mengenakkan lainnya. Inilah konstruk yang dilakukan oleh kekuasaan selama ini. Padahal, ia adalah pencetus awal gagasan Indonesia merdeka melalui karyanya Naar Repoebliek Indonesia (Menuju Indonesia Merdeka). Karya inilah yang mempengaruhi ide-ide kemerdekaan dari para tokoh bangsa kita sesudahnya, seperti Soekarno dengan Menuju Indonesia Merdeka-nya atau Hatta dengan Indonesia Merdeka-nya, dan dampak-dampak besar lain yang menginspirasi para tokoh bangsa lainnya. Selain sebagai inspirator Indonesia merdeka, tokoh asal Sumatera Barat ini penulis kagumi juga karena dunia keintelektualannya dengan pemikiran brilian-orisinal sehingga menghasilkan karya-karya spektakuler. Sepanjang hidupnya, ia telah melahirkan 26 buku (Susilo, 2008: 31). Salah satu karyanya yang fenomenal adalah Madilog. Adakah tokoh kita sekarang ini seperti Tan Malaka, di mana ia adalah seorang ideolog, pembaca buku, sekaligus penulis buku-buku serius? Silakan dijawab sendiri! Darwin..Jogja, 19 dan 20 Mei 2012

*Refleksi ini ditulis dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar