Penyeleksian ajang film dokumenter Eagle Awards 2011, pada 30 Oktober 2011 lalu yang diadakan oleh Metro TV, sebagai salah satu TV swasta yang peduli terhadap perubahan hidup bangsa Indonesia berlangsung, sangat ketat dan mendebarkan bagi para finalis. Dalam ajang film dokumenter tersebut diikuti oleh beberapa anak muda, dan dari hasil seleksi tersisalah empat film dokumenter yang berdurasi antara dua puluh menit sampai setengah jam. Film tersebut banyak mengulas permasalahan sosial yang bergolak dan mendera di setiap daerah yang tak bisa dijangkau atau tak mendapat perhatian dari pemerintah setempat atau pusat.
Kita harus bersyukur, ternyata masih ada sekelompok anak manusia dan anak muda yang gelisah melihat permasalahan sosial yang dihadapi masyarakat kelas bawah dan orang pinggiran, di mana mereka kesulitan mendapatkan sarana dan prasarana sebagai penghubung interaksi sosial antara tempat satu dengan lainnya. Melihat kondisi yang menghambat kemajuan dan kesejahteraan warga setempat, sadarlah bahwa kita harus bangkit dan tak hanya berpangku tangan atau mengharap bantuan pemerintah, para konglomerat, dan para investor, baik asing atau lokal. Untuk itu, mereka pun beraksi demi perubahan nasib saudara sebangsanya dan salah satunya adalah melalui hasil karya film dokumenter yang bertema sosial-kultural.
Sebagian besar masyarakat kita mencemooh, mencibir, dan bahkan apatis dengan masa depan anak muda atau generasi muda Indonesia sekarang ini. Sehingga sering muncul pertanyaan mengapa dan dengan alasan apa, masyarakat kita pesimis dengan rasa nasionalisme anak muda atau genarasi muda sekarang ini? Yang nampak di permukaan sekarang ini dari kaum intelektual, pelajar, dan pemuda adalah budaya tawuran yang terjadi di beberapa daerah dan tempat yang sangat vital. Akibatnya tak terjaminya rasa tentram dan damai bagi kita semua. Selain kerugian materi juga tercerabutnya atau tak paham akan identitas diri dan bangsanya. Sehingga, sebagian orang atau masyarakat kita, menarik kesimpulan bahwa generasi kita sekarang ini tak mengenal dan tak mau menggali makna (filosofis) yang terkandung dalam Bhineka Tunggal Ika, tak tahu tiga pilar ajaran Ki Hajar Dewantoro, dan tak mengenal kehidupan para Founding Father bangsa Indonesia (Soekarno, Muhammad Hatta, H.Agus Salim, M.Natsir, KH.A.Dahlan, Hadrutussyaikh Hasyim Asy’ari dan lain-lainnya).
Kesimpulan itu pun diperkuat beberapa acara di TV Swasta, dari pagi sampai malam menayangkan sinetron, musik, dan komedi yang mempertontonkan lelucon yang kadang menyakitkan hati, gaya hidup yang hedon, dan sikap pemarah dijadikan panutan gaya hidup sebagian hidup masyarakat kita. Memang, tidak semua tayangan TV memperlihatkan prilaku buruk, tapi lebih banyak pengaruh buruk yang diperlihatkan. Tetapi dalam sanubari yang terdalam masih ada optimisme, bahwa dalam gelap masih ada setitik cahaya yang menerangi ruang gelap tersebut. Hal itu pun terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Ada generasi bangsa atau anak muda yang masih peduli akan masa depan hidup dirinya, sesamanya, dan negerinya. Mereka mampu menorehkan beberapa prestasi sesuai bidang keilmuaan yang dimilikinya. Mereka tak hanya berprestasi di Indonesia, tapi di kancah dunia pun mampu mengukir dan mengharumkan nama Indonesia, melalui beberapa olympiade: matematika, bahasa, kimia, robotik, fisika, budaya, dan lain-lain.
Sinta Ridwan (penderita Lupus), mampu membuat beberapa anak muda mendambatkan kecintaiannya pada naskah-naskah kuno atau naskah sejarah seperti; Jawa, Sunda, Melayu, Kalimantan, Sulawesi, dan lain sebagainya. Naskah sastra kuno disimpan dengan sistem digital dan siapa pun yang membutuhkan data-data tersebut dapat mengaksesnya. Mereka tidakk ingin sastra kuno yang mengandung filosofis tinggi tentang sejarah berdirinya suata negara atau kisah-kisah kehidupan yang pluralis tapi dinamis dan harmonis hilang begitu saja atau rusak dimakan rayap. Sinta Ridwan, meski sebagai penyandang lupus tapi tak membuatnya patah harapan, justru ia menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk sesamanya berupa naskah digital. Dalam usia yang tergolong masih muda (dua puluh dua tahun), ia sudah melakukan hal terbaik untuk bangsa ini. Kiprahnya inilah yang mengundang beberapa pihak bangga dan memberikan beberapa penghargaan untuknya. Pihak tersebut adalah Kalbe Farma berupa uang, ITB berupa laptop, dan dari muri Indonesia sebagai penggagas situs digital naskah-naskah sastra kuno. Sealain itu, Sinta Ridwan juga dipercaya sebagai dosen muda yang mengajarkan proses pembuatan naskah digital satra kuno.
Selain Sinta Ridwan, sosok pemuda yang cemerlang membawa perubahan secara gemilang adalah Elang Gemilang. Mahasiswa Institut Tekhnologi Bandung (ITB) jurusan teknik sipil, dan dalam usia dua puluh enam tahun, ia berhasil menjadi pengusaha muda yang sukses di bidang properti rumah susun sederhana (Rasuna). Rasuna ini dikhususkan bagi ekonomi kelas bawah-menengah, Elang melihat masih banyak rakyat Indonesia yang tak punya rumah dan terkadang tinggal di kolong-kolong jembatan atau emperan toko. Hal itu yang membuat Elang terusik rasa kemanusiannya dan bertekad untuk merubah nasib kaum dhuafa. Sebagian masyarakat kita enggan tinggal di rasuna, alasannya cicilannya tinggi sedang untuk makan saja harus pontang-panting bekerja. Harga rasuna yang ditawarkan antara dua puluh lima juta sampai tiga puluh juta, dengan cicilan seratus tujuh puluh ribu rupiah perbulan. Awalnya banyak warga tak percaya, berkat kegigihan Elang menyakinkan mereka berhasillah ia membangun rasuna di propinsi Jawa Barat, yang dihuni kelas ekonomi bawah. Beban negara pun sedikit dapat teratasi dengan aksi Elang Gemilang.
Tentu kita masih ingat dengan program yang digagas oleh Dr.Anis Baswedan “Indonesia mengajar,” tenaga pengajarnyanya dikirim ke daerah-daerah terpencil dan terisolasi di seluruh nusantara. Sebelum mereka diterjunkan atau dikirim ke lapangan, mereka yang mewakili kampusnya harus diseleksi dan dibekali pengetahuan umum dan khusus terlebih dahulu. Para pengajar muda yang lolos seleksi harus mengabdikan tenaga dan ilmunya selama empat dan enam bulan, tujuan program Indonesia mengajar adalah peningkatan mutu pendidikan dan terciptanya sumber daya manusia yang unggul dan berkarakter. Di mana nantinya akan menghasilkan generasi yang bertanggungjawab dan peduli terhadap sesamanya serta alam sekitarnya. Pun itu, berlaku bukan hanya untuk si terdidik tapi bagi pengajarnya juga.
Dari contoh anak-anak muda di atas, kita pun bersyukur dan salut atas aksi konkret yang mereka persembahkan untuk masa depan bangsa ini, di mana mereka memiliki nilai kemanusiaan yang luar biasa. Dalam ajang Eagle Awards 2011, menunjukkan betapa mereka harus rela tidur di atas kapal, menyeberangi hutan belantara dan marabahaya yang tak terduga mengancamnya demi menolong atau meringankan sedikit beban hidup sesama. Mereka juga ingin memperlihatkan pada kita tentang potret kehidupan masyarakat di wilayah atau daerah terpencil yang sering diabaikan, dianak-tirikan, baik oleh pemerintah maupun kita sendiri. Untuk itu, mereka mencoba menyadarkan kita agar mau membantu dan mengulurkan tangan untuk merubah kondisi kehidupan kaum yang dipinggirkan, melalui film dokumenter dan inilah empat film dokumenter yang terpilih.
Pertama, “Presiden Abu-abu,” yang disutradarai oleh Afief Riyadi dan Mutiara Paramitha, keluar sebagai film terbaik Eagle Awards 2011. Mengupas permasalahan sosial yang dihadapi masyarakat di kampung Beting yang jaraknya tak jauh dari Ibu kota Indonesia-Jakarta. Hidup terisolasi, kesulitan mendapatkan jaminan kesehatan masyarakat (JAMKESMAS) dan perlakuan tak adil oleh pihak rumah sakit dan puskesmas. Dipersulit ketika berobat, sering diterima dan dialami oleh warga Beting. Kematian pun sering menjadi obat terakhir bagi warga miskin. Bantuan dari dinas sosial, industri dan perdagangan tak pernah dicairkan. Fasilitas pendidikan juga sangat mengenaskan dan ironis, tak jarang rumah penduduk dijadikan sekolah.
Beruntunglah ada sosok Ricardo Hutahean yang memperjuangkan nasib warga kampung Beting, ia mengurus segala keperluan warga Beting terutama untuk mendapatkan KTP. Warga kesulitan memperoleh jamkesmas karena tak memiliki KTP. Selain masalah di atas, warga Beting diakui sebagai rakyat Indonesia kala ada pemilu atau pilkada demi mendulang perolehan suara, setelah itu mereka pun dibuang atau tak diakui. Sejak film ini hadir di Metro TV, pemerintah setempat pun memperhatikan nasib mereka dan membenai persoalan sosial lainnya. Sosok Ricardo itulah yang dianggap sutradara dan warga Beting sebagai Presiden abu-abu Karena ia yang banting tulang untuk memperjuangkan hak-hak hidup warga Beting.
Juara Kedua, “Mutiara Pesisir Pantai,” disutradarai oleh Bello dan Iskandar, keluar sebagai film favorit pemirsa Eagle Awards 2011. Para crew film dokumenter ini, harus menempuh dua hari-dua malam ke Dipaya Timika Papua, melalui jalur laut dan darat yang tak mulus, tapi tak menyurutkan Bello dan kawan-kawannya untuk melihat warga setempat tersenyum penuh harapan hidup yang lebih baik. Kesulitan memperoleh fasilitas kesehatan dan sanitasi yang tak layak menjadi sahabat sejati warga Dipaya Timika dari dahulu sampai sekarang. Terdapat bangunan puskesmas tapi tak beroperasi, karena bidan dan dokter yang ditempatkan di situ meninggalkan tanggungjawabnya. Bisa jadi minimnya fasilitas yang mereka terima dan terisolasi. Akibat kejadian tersebut, tingkat kematian Ibu melahirkan, bayi dan anak tinggi. Di samping itu masalah kebersihan air, rumah, dan tempat pembuangan hajat pun seadanya atau sembarang tempat. Prilaku atau kebiasaan buruk itulah yang memunculkan berbagai penyakit juga pencemaran tanah dan air. Untunglah ada salah satu kader kampung Dipaya Timika yang peduli terhadap persoalan di atas, tak henti-hentinya mengajak warga agar rajin membawa anaknya ke pos yandu. Mengikuti penyuluhan pentingnya sanitasi, dan pentingnya pendidikan melalui megaphone dengan berjalan kaki. Tak mudah mengajak warga ke arah hidup yang sehat, dan merubah nasib dengan ilmu pengetahuan, tak jarang ia dapatkan pertentangan. Namun, lambat-laun warga pun sedikit demi sedikit menjalankan apa yang sudah disosialisasikan.
Ketiga, “Garamku tak asin lagi” yang disutradarai oleh Jamaluddin dan Azhari. Film ini sebagai pemenang rekomendasi juri Eagle Awards 2011. Film yang berkisah tentang perjuangan para janda di Bieruen-Aceh, mereka harus berjuang mempertahankan garam lokal dari bombardir garam Import yang mencekik kehidupan petani garam lokal. Film ini sangat menarik karena notabene para petani garam adalah para janda, yang selalu berupaya mengentaskan kemiskinan dan menciptakan kemandirian kaum perempuan dengan tetap mempertahankan garam lokal. Dinas kelautan-perikanan dan perdagangan sering memperlakukan petani lokal tak adil, hal tersebut juga dialami petani garam di Bieruen. Baik pemerintah daerah maupun pusat, lebih memperhatikan pengusaha bermodal besar, dan pengusaha yang suka memberikan upeti (sogokan/suap). Padahal ujung kekuatan ekonomi dari suatu bangsa, terletak pada petani lokal atau pedesaan dan pedagang atau pengusaha lokal-tradisional. Seandainya kita selalu menggunakan dan membeli hasil pertanian lokal, ketimpangan perekonomian dan penanggungulangan kemiskinan tentunya dapat teratasi.
Keempat, “Hutanku sekolahku” disutradarai oleh David dan Robert Suryadi. Film ini sebagai pemenang nominasi Eagle Awards 2011. Perjalanan menuju Si Berut Mentawai memakan beberapa hari, melewati hutan dan jalanan yang terjal juga menyeberangi sungai/laut. Lokasi yang dituju ada di tengah-tengah hutan, dan penduduk setempat beternak babi. Sedangkan anak-anak mengembala babi di hutan. Hampir tak ada bangunan sekolah di sana, maka hutan atau alam pun jadi ruang belajar sehabis anak-anak pulang dari mengembala babi. Orang tua membolehkan anak-anaknya sekolah bahkan terkadang mereka pun ikut belajar. Selama ini tak ada dinas pendidikan yang mendatangi kampung mereka. Sebenarnya mereka ingin mendapatksan pendidikan yang layak sebagaimana yang dinikmati masyarakat yang terjangkau sarana-prasarana. Namun, kelihatannya hanya sebuah angan-angan dan impian yang entah kapan akan terwujud. Mereka ingin sekali menjadi orang dan anak-anak yang cerdas dan mengenal Indonesia secara utuh. Tak jarang lagu-lagu nasional dikumandangkan sebagai bentuk kecintaan mereka terhadap tanah air Indonesia.
Itulah sekelumit perjuangan dan pengorbanan generasi muda yang gregetan terhadap ketimpangan sosial di daerah-daerah terpencil dan perlakuan tidak adil terhadap kaum kelas bawah. Film dokumenter di atas memberikan jawaban dan raung lingkup bahwa generasi muda Indonesia masih ada yang peduli terhadap keberlangsungan masa depan hidup masyarakat yang selalu dipinggirkan. Tujuan dari kegiatan atau aksi yang penuh tantangan dan misi kemanusiaan adalah agar mereka atau kaum pinggiran layak mendapatkan perlindungan, jaminan sosial, hidup layak dan memperoleh pendidikan yang berbasis kratif-inovatif demi mewujudkan manusia yang berkarakter. Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 “bahwa orang-orang miskin dan anak terlantar dipelihara Negara, dan mendapatkan pendidikan yang sama”. Mereka rela mengorbankan waktu untuk bermain dan berkumpul dengan teman dan keluarganya demi sedikit meringankan beban sesamanya. Mereka ibarat cahaya di ruang gelap, pahlawan di tengah kesunyian. Lalu bagaimana dengan kita, apa yang akan kita sumbangkan untuk keberlangsungan masa depan bangsa dan Tanah air tercinta ini?
Dusrinah
Yogyakarta, 13 November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar