Segala Sesuatu Akan Musnah, Kecuali Perkataan Yang Tertulis
(Margantoro, 2011, 4)
Menulis adalah kegiatan memindahkan “isi kepala” ke atas secarik kertas, bukanlah sebaliknya memindahkan “isi kepala” ke dalam bentuk kata-kata. Menyimak definisi sederhana dari penulis ini, bisa dimaknai arti sebuah tulisan yang selalu identik dengan kertas, atau zaman dulu daun lontar ini, misalnya. Ia berbeda sama sekali, bahkan menjadi anti-tesis dari perkataan yang keluar dari mulut kita. Yang satu berbekas, dan yang satunya bisa lenyap. Tulisan tetap abadi dimulai saat ia mulai ditorehkan hingga tak berbatas waktu. Sementara kata-kata yang tidak dituliskan (direkam) akan lesap seketika itu juga.
Kita bisa membayangkan apa yang terjadi seandainya sejarah (peradaban) tidak dituliskan. Semua menjadi sunyi, hampa, dan tak ada gairah. Ilmu pengetahuan tak akan berkembang, budaya umat manusia mandek, dan dunia menjadi “gelap gulita”. Dengan kata lain, peradaban tidak akan lahir jika hanya mengandalkan perkataan. Peradaban butuh ditulis.
Tulisan sangat besar artinya bagi peradaban umat manusia umumnya, dan bagi kita (saat ini) khususnya. Mengingat vitalnya sebuah tulisan ini, penulis ingin bercerita sedikit terkait dunia tulis-menulis sebagai refleksi bagi kita bersama.
Cerita tentang tulisan pastilah tidak menarik bagi generasi pop zaman sekarang. Film atau boyband asal Korea, atau tren fesyen terbaru jauh lebih menarik daripada ngomongin tulisan. “Apa itu tulisan, tidak ada menarik-menariknya?”, mungkin ini yang akan terlontar dari orang-orang dari generasi saat ini, generasi yang dikendalikan oleh kecanggihan perangkat teknologi digital.
Walaupun membosankan bagi generasi era sekarang, penulis tetap akan bercerita, terserah mau didengarkan atau tidak! Yang penting bercerita! Sekelumit cerita tentang dunia tulis menulis, dunia yang menbentuk sebagian sejarah keindonesiaan. Dunia yang membuat sejarah keindonesiaan itu terpapar hingga keluar Indonesia. Dunia yang diresapi oleh orang-orang atau masyarakat Indonesia, dan dari situ bisa belajar betapa sejarah peradaban (Indonesia) itu penuh dengan paradoks.
Melawan Ala Pram
Sebenarnya sederhana saja.
Penulis akan bercerita sedikit tentang Pramoedya Ananta Toer, sang penulis besar yang pernah dilahirkan bangsa ini. Walaupun sederhana, tetapi tidak bisa diremehkan. Karena ia sedikit banyaknya juga sangat penting, apalagi bagi para penulis, calon penulis, atau yang tidak menulis sama sekalipun.
Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya Pram), novelis yang menelurkan ide-idenya lewat, salah satunya, tetralogi Burunya, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca adalah yang menjadi perhatian penulis kali ini ketika membahas dunia yang mengasyikkan, “dunia pulpen, dawat, dan kertas” ini.
Pram mendedikasikan hidupnya dalam ranah tulis menulis hingga akhir hayatnya. Dampaknya, ketika ia sudah tiada hari ini tulisannya tetap menginspirasi, dan keluarga yang ditinggalkannya mendapatkan warisan yang lebih berharga daripada emas sekalipun, yakni tulisan, tulisan yang menghasilkan emas dan uang (royalti).
Hidupnya Pram tidak bisa dilepaskan dari pena, kertas, dan tinta. Inilah yang dilakukannya sepanjang nafasnya berhembus.
Tentu saja ada tujuan mengapa ia melakukan ini. Pram melakukan ini tiada lain adalah karena rasa peduli. Peduli dengan penghuni Bumi manusia ini. Ia peduli dan ingin menegakkan kebenaran, ia prihatin dan ingin melawan ketidakadilan. Kemanusiaan yang egaliter, inilah yang diperjuangkan oleh seorang Pram melalui tulisan-tulisannya. Egaliter di sini bisa diartikan setara dalam segala hal. Sama di depan hukum, sama sebagai warga negara, dan sama sebagai penghuni Bumi secara keseluruhan. Semuanya berhak mendapatkan ketinggian derajat kemanusiaannya. Pram ingin memanusiakan manusia, siapa pun itu, ia tidak memandang warna kulit, agama, kebangsaan, atau status. Bagi Pram, semua manusia itu sama. Masing-masing ingin menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang bebas dari penindasan dan diskriminasi.
Yang dilakukan Pram, ya, menulis saja. Diskriminasi, ketidakadilan, dan penindasan itu (yang dirasakan oleh siapa pun itu) dilawan oleh Pram dengan tulisan. Terutama karya sastranya yang mencapai puluhan itu. Ia sendiri menderita karenanya. Ia merasakan penjara pulau Buru yang menciutkan nyali orang-orang buangan itu selama puluhan tahun. Belum lagi deritanya di zaman kolonial dan Orde Lama. Namun, penderitaan itu bagi Pram tidaklah menyurutkan niatnya memperjuangan nilai-nilai kemanusiaan, dan terus melawan ketidakadilan yang dipraktikkan negara atau institusi/perorangan yang mempunyai kuasa lainnya.
Bagi kita, generasi muda zaman digital, bisa juga memunculkan jiwa altruisme ini melalui tulisan. Kita mahfum, di negara kita saat ini banyak persoalan kemanusiaan, mencakup segala aspek, mulai dari politik, ekonomi, budaya, dan lainnya akibat tidak munculnya pemimpin yang peduli dengan realitas. Tugas kita tentunya untuk menegakkan kembali batang tubuh kemanusiaan yang telah roboh diterjang badai kekuasaan para pemimpin zalim ini. Salah satunya adalah dengan menulis, seperti yang Pram telah lakukan. Akhirnya, sebagai kata penutup: mari melawan dengan tulisan!! Wallahu a’lam bi al-shawab.
Darwin
Yogya, 09 Juni 2012, 08.16 AM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar