Minggu, 10 Juni 2012

Si Lugu: Cinta dan Kebobrokan Moral

Si Lugu: Cinta dan Kebobrokan Moral salah satu karya sastra seorang Voltaire yang berjudul Si Lugu (L’Ingenu, 1767) memberi kesan tersendiri bagi saya mengenai sebuah tradisi dan tatanan masyarakat nir keadilan; sebuah tradisi yang kemudian mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas. Namun, dongeng penulis yang bernama asli Francois-Marie Arouet ini juga mengukirkan dengan indah sebuah kisah cinta, kesetiaan, dan pengorbanan yang tiada tara dari masing-masing tokoh utama, yakni Si Lugu dan Nona de Saint-Yves, yang sangat mengesankan bagi para pembacanya. Di samping pesan-pesan mengenai tradisi dan tatanan bobrok masyarakat Prancis dan kisah cinta mengharukan, Voltaire yang merupakan seorang filsuf sekaligus penulis besar sastra dan sejarah abad ke 18 ini juga menuangkan ide-idenya mengenai kebersahajaan manusia dalam kehidupan, sama halnya dengan karya-karyanya yang terdahulu terbit.


Saya sejatinya yakin bahwa sistem pemerintahan Prancis masa itu yang dipimpin oleh seorang raja dan pastor-pastor Katholik memungkinkan terciptanya keadilan bagi masyarakatnya. Namun, sangat mengherankan tata cara istana atau dapat disebut sebagai birokrasi dalam sistem pemerintahan tersebut sungguh berbelit. Untuk bertemu dengan baginda raja, dalam dongeng tersebut, Si Lugu harus menghadap terlebih dahulu Menteri Jendral de Louvois. Dan untuk bertemu dengan Sang Menteeri Jendral, Si Lugu harus bertemu terlebih dahulu dengan Alexandre, seorang Asisten Pertama Urusan Perang. Namun karena sang asisten sedang berkencan dengan seorang wanita istana, Si Lugu diminta untuk menemui asisten pertama Alexandre. “Berbicara pada dia (asisten pertama Alexandre) sama artinya menghadap Bapak Alexandre sendiri,” begitu ucap seorang penjaga yang mengantarkan Si Lugu, yang sebelumnya mengatakan hal yang sama, “berbicara dengan ia (Alexandre, asisten pertama sang jendral) sama saja dengan bertemu dengan Bapak Menteri Jendral de Louvois,” ketika Jendral de Louvois tidak dapat ditemui.

Tidak selesai sampai di situ, Si Lugu justru harus membayar jika ingin mendapatkan pangkat letnannya; memimpin satu resimen kavaleri sebagai haknya karena berhasil mengusir orang-orang Inggris dari negerinya. Bahkan, untuk dapat menikahi kekasihnya, yakni Nona de Saint-Yves yang merupakan ibu permandian Si Lugu, ia harus terlebih dahulu mendapat restu dari bapak suci Paus yang berada ribuan kilometer dekat laut tengah dan bahasanya tidak ia mengerti. Bayangkan!
Kisah cinta yang menjadi perantara Voltaire memaparkan gagasan-gagasan filosofis mengenai peristiwa-peristiwa dan kemanusiaan dan kritiknya ini juga tak kalah berkesan. Si Lugu yang sangat mencintai Nona de Saint-Yves namun tak dapat menikahinya karena terhalang oleh tradisi, berjuang untuk menemui raja. Si Lugu mengharapkan raja dapat memenuhi semua keinginannya, salah satunya adalah restu untuk menikahi ibu permandiannya itu, sebagai balasan dari jasanya yang telah mengusir orang-orang Inggris dari tanah Prancis. Namun, karena ia menolak membayar kepada asisten pertama Alexandre untuk mendapatkan haknya tersebut, Si Lugu akhirnya dipenjara. Sementara Nona de Saint-Yves rela menyerahkan kehormatan dan kesucian dirinya kepada pastor bejat demi terbebasnya pemuda tampan yang ia sangat cintai.

Dari sinilah saya menilai bahwa tradisi bangsa Prancis waktu itu sangat bobrok; jauh dari nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Apa pasal? Dalam dongeng dijelaskan seorang pastor dan wanita alim didikannya yang menjadi pembimbing Nona de Saint-Yves mengatakan bahwa segala dosa besar, termasuk menyerahkan kehormatan dan kesucian diri kepada pastor, tidak dapat dianggap sebagai dosa jika dilakukan untuk kebaikan dan kebenaran, yakni menyelamatkan orang yang dicintai. Laki-laki yang dicintai akan bangga dan merasa ditolong dengan itu. “Negara macam apa!” jerit Nona Yves menanggapi kebusukan dan kebobrokan moral masyarakat bangsanya. Gagasan atau ide-ide mengenai kebijaksanaan dalam hidup tak luput Voltaire sajikan melalui Gordon dan Si Lugu di dalam kuburan orang-orang hidup, yakni perjara. Ada beberapa hal yang mengesankan saya, dan tentu hal ini sangat subjektif adanya. Ini tidak lepas dari kemampuan masing-masing individu dalam memahami suatu karya, dan tentu, selera! Mengenai hal subjektif tersebut pun dijelaskan dalam dongeng, melalui Si Lugu, yang menyatakan bahwa Rodogune karya Corneille bukanlah karya yang terbaik meski Gordon menilainya sebagai yang terbaik dari karya-karya yang ada dalam penjara itu. Dan, pernyataan “perpisahan selalu meningkatkan rasa cinta yang tak terpuaskan, dan filsafat pun tidak dapat mengendurkannya” merayap di atas kulit keterkesanan saya. Karena memang itulah yang seharusnya dibangun oleh sepasang kekasih; yakni kondisi perpisahan atau keterpisahan, sehingga rasa cinta akan semakin bertambah gejolaknya. Perihal wabah kekuasaan yang melanda hampir di semua penjuru negeri juga mendapat porsi tersediri bagi Voltaire dalam karya sastra ini. Lagi-lagi melalui Si Lugu dan Gordon dalam penjara, yang mengamati bahwa di balik semua jabatan ada dosa dan bahaya yang khusus bertalian dengannya.

Dari sini, saya teringat budayawan Sujiwo Tejo dalam sebuah acara di televisi yang menyatakan bahwa semua orang tahu dan paham bahwa kepala raja atau penguasa itu busuk, sehingga mereka memakai mahkota untuk menutupi kebusukannya itu. Memperhatikan apa yang Voltaire paparkan tersebut, saya pikir ia sangat cakap dalam menyajikan dan memadukan gagasannya mengenai cinta, kebijaksanaan, dan kritik terhadap lingkungan sosialnya dalam seduhan karya sastra yang manis. Dan tentu, ini soal selera!

Jogja, 10 Juni, 2012 Azka Fazanu HI’08 UMY

Tidak ada komentar:

Posting Komentar