Kurang lebih satu minggu menjelang rapat Paripuran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam hal kenaikan harga Bahan bakar Minyak (BBM), Indonesia, di berbagai kota-kota besar, diwarnai dengan gerakan demonstrasi, terutama dari kalangan pergerakan mahasiswa. Hampir setiap hari kita disuguhi berita utama mengenai demonstrasi penolakan rencana pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) mulai satu April kemarin. BBM pun menjadi menu obrolan setiap hari dari semua kalangan masyarakat, mulai dari masyarakat pada tingkatan bawah sampai pada tingkatan elite.
Banyak hal menarik sebetulnya yang harus kita catat dari polemik wacana menaikkan harga BBM tersebut, baik itu yang terjadi di jalanan maupun yang terjadi di dalam gedung Senayan sana. Catatan mengenai maraknya aksi yang anarkis di banyak kota-kota besar tempat berlangsungya aksi demonstrasi mahasiswa. Kegaduhan sidang Paripurna yang berlangsung Jum’at (30/03) siang yang berakhir tengah malam, dan wacana kembali retaknya koalisi partai pendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY)-Boediono untuk yang kesekian kalinya.
Demonstrai Mahasiswa
Dari hasil rapat Sidang Paripurna yang berakhir tengah malam, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya memutuskan harga BBM tidak jadi naik pada 1 April kemarin. Hasilnya, “penyesuaian harga BBM dilakukan jika terdapat selisih kenaikan hanrga minyak mentah Indonesia (ICP) 15 persen dalam 6 bulan dari asumsi APBN-P-212.” Sikap Dewan ini boleh jadi karena melihat tekanan dari masyarakat yang jeritannya tersampaikan lewat demonstrasi yang dilakukan oleh teman-teman gerakan, baik itu gerakan mahasiswa maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Artinya bahwa gerakan mahasiswa dan LSM yang berteriak di jalan-jalan menjadi bermakna dalam membangun kultur politik yang demokratis. Di mana kultur demokratis yang penulis pahami adalah lahirnya kelompok-kelompok terdidik dalam masyarakat yang memiliki kekuatan untuk menekan dan mengontrol pemerintah dalam pengambilan kebijakan publik. Dalam hal ini, demonstrasi yang marak terjadi di mana-mana, terutama satu minggu terakhir, telah memainkan peran itu.
Apa yang telah dilakukan oleh teman-teman yang bergabung dalam dunia pergerakan, terutama pergerakan mahasiswa, harus diapresiasi, tetapi bukan berarti tanpa kritik dan kelemahan. Pertama, stigma yang tidak terpisahkan dari demonstrasi akhir-akhir ini adalah anarkisme. Dan itu terjadi di banyak tempat. Pergerakan mahasiswa akan semakin akrab dengan kekerasan dalam menyampaikan aspirasi rakyat banyak. Tentu banyak faktor sebab akibat dari semua ini, tetapi tentu sangat disayangkan jika ke depan kita akan semakin akrab dengan tindak kekerasan. Masyarakat kita akan ‘dididik’ dengan cara kekerasan. Indonesia pun akan berwujud menjadi negara anarkis. Politik kita anarkis, gerakan mahasiswa cenderung anarkis, dan masyarakat di mana-mana melakukan tindakan yang anarkis, perampokan, penculikan, pembunuhan, dan seterusnya. Seharusnya ini menjadi kesadaran bersama.
Anarkisme Dalam Senayan
Penulis sempat mengikuti dan menyaksikan (lewat media) lobi-lobi politik sampai kemudian berlangsungnya rapat sidang Paripurna di Senayan pada Jum’at tengah malam. Sebagai rakyat yang terwakili oleh masyarakat Senayan, penulis merasa miris melihat kelakuan para elite di Senayan yang katanya sedang memperjuangkan kepentingan rakyat. Cara mereka bersidang, melakukan interupsi, dan lain sebagainya tidak mencerminkan sebagai wakil rakyat yang terdidik. Kelakuan mereka di dalam gedung istimewa itu ‘anarkis’ dan kurang lebih sama dengan kelakuan preman jalanan. Mereka berteriak, berkelakar sesuka mereka tanpa memedulikan etika di dalam forum. Kurang lebih sama dengan preman jalanan yang meneriaki lawan atau musuhnya. Begitulah kelakuan wakil kita di Senayan sana dalam memperlakukan dan meneriaki fraksi yang sikap politiknya berbeda dengan mereka. Sangat tidak mendidik. Dan banyak di antara mereka berteriak bukan untuk memperjuangkan nasib rakyat kecil, tetapi teriakannya untuk meraih simpati publik.
Entah sampai kapan wajah senayan yang anarkis dan mempertontonkan budaya politik yang banal ini akan berubah di gedung besar dan sakral tersebut. Yang jelas dan harapannya, masyarakat kita semakin terdidik dan cerdas sehingga bisa menilai setelah melihat langsung bahwa wajah Indonesia yang anarkis saat ini tidak hanya di jalanan, tetapi juga di dalam gedung tempat berkumpulnya wakil-wakil rakyat. Semoga ini juga menjadi pejalaran bagi rakyat ke depannya untuk tidak memilih para ‘preman politik’.
Koalisi ‘Pengkhianat’
Cerita lain yang menarik dari Senayan, setelah voting, adalah adanya istilah ‘pengkhianat’ politik dari koalisi pemerintahan SBY-Boediono. Dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah korbannya. Dari enam partai koalisi pemerintahan SBY-Boediono, hanya PKS mengambil sikap yang berbeda, “Tidak perlu ada perubahan Pasal 7 Ayat 6 UU APBN 2012”. Petinggi dan kader Partai Demokrat (PD) pun pada bersuara dan menyudutkan PKS yang dianggapnya sebagai partai yang tidak setia terhadap koalisi dan secara tidak langsung mengatakan bahwa PKS adalah partai yang tidak tahu berterima kasih dengan tiga jatah menteri di kabinet untuk PKS.
Kembali retaknya koalisi pemerintahan SBY-Boediono sebenarnya sudah tercium satu-dua hari sebelum rapat pengambilan keputusan. Selain PKS, ada Golkar yang disebut-sebut berbeda sikap dengan PD. Walaupun Golkar akhirnya memiliki sikap yang sama dengan PD dan partai koalisi pemerintah. Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie segera mengklaim bahwa opsi yang disepakati dewan adalah opsi yang diperjuangkan oleh partai berlambang pohon beringin tersebut. Ini adalah bukti bahwa Golkar berpihak dan berjuang untuk rakyat banyak. Kurang lebih seperti itu yang ingin dikatakan oleh Aburizal Bakrie untuk mengambil untung dari kisruh kenaikan harga BBM.
Yang harus dicatat dengan baik adalah bahwa isu keretakan Partai Koalisi pendukung pemerintahan SBY-Boediono kali ini adalah yang ketiga kalinya. Keretakan sebelumnya terkait dengan sikap Dewan dalam kasus Bank Century (2010), kemudian dalam Pansus Hak Angket Mafia Pajak (2011). Ini menunjukkan bahwa koalisi yang dibangun oleh SBY tidak pernah solid. Dan ia tidak berjalan efektif dalam mengatasi persoalan, sebaliknya ia adalah masalah itu sendiri. Tidak solidnya koalisi partai pendukung pemerintah ini karena memang ia dibangun di atas landasan kepentingan politik yang pragmatis, bukan di atas landasan visi kemasyarakatan. Maka dalam setiap pengambilan sikap politik, setiap partai akan hitung-hitungan terkait dengan untung-rugi dalam kalkulasi politik. Kembali banalitas politik menjadi tontonan dengan rating tinggi.
Golkar sejalan dengan PD karena melihat ada celah untuk meraih simpati publik dengan ‘memainkan koalisi’. PKS tetap tidak sejalan karena ia tidak mendapatkan keuntungan politik. Yang pasti, PKS tentu tidak diuntungkan secara politik dengan semua ini. Dalam koalisi ia sudah terkucilkan. Di masyarakat ia sudah dilihat sebagai pertai yang tidak memiliki prinsip politik. Sebaliknya, Partai oposisi, PDI-P, Gerindra, dan Hanura, akan terbantu menarik simpati publik karena terlihat lebih konsisten sejak dari awal.
Ahmad Sahide
Direktur Komunitas Belajar Menulis (KBM) Yogyakarta
Dan Pemerhati Sosial Politik
Tinggal Di Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar