Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat, sejak pertengahan tahun lalu sampai sekarang selalu menjadi bulan-bulanan media. Anas Urbaningrum menjadi sorotan media setelah mantan Bendahara Umumnya di Partai Demokrat (PD), M. Nazaruddin, menyebut adanya aliran dana ‘pelicin’ yang mengalir pada dirinya dari beberapa proyek, seperti proyek pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang serta pembangunan kompleks olahraga di Hambalang. Mindo Rosalina Manulang, Direktur Marketing PT Anak Negeri, perusahaan M. Nazaruddin, juga berkali-kali menyebut nama Anas dalam persidangan.
Terakhir, Yulianis, juga salah satu staf M. Nazaruddin, menyebut adanya dana mengalir ke Anas Urbaningrum sebesar Rp. 100 juta ketika Anas maju sebagai calon ketua umum Partai Demokrat pada bulan Mei 2010 lalu (Kompas, 26/01/2012). Dalam kongres PD tersebut, Anas berhasil mengalahkan Andi Alfian Mallarangeng, yang juga disebut mendapatkan aliran dana, dan Marzuki Alie, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Malapetaka politik yang menimpa Anas Urbaningrum ini membuat citra politik PD, yang dalam pemilu 2009 lalu, semakin menurun. Hal ini diakui oleh beberapa kader dari partai tersebut. Nama Anas pun, tercium oleh publik, disebut-sebut akan dicopot dari jabatannya. Muncullah nama Djoko Suyanto, Menko Polhukam, sebagai salah satu pengganti Anas dari jabatan Ketua Umum (Kedaulatan Rakyat, 27/01/2012). Inikah Akhir dari perjalanan karir politik Anas?
Anas dan karir politiknya
Anas Urbaningrum dikenal sebagai salah satu politikus muda yang berbakat. Karir politiknya begitu cepat sampai ke puncak perpolitikan Tanah Air. Baru beberapa tahun turun dari jabatan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), ia kemudian lolos menjadi salah satu anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dan ketika anggota KPU banyak yang terlibat kasus korupsi, sebut saja nama Mulyana W. Kusuma dan Nazaruddin Syamsuddin, Anas terlebih dahulu loncat ke Partai Demokrat dan lolos dari jeratan korupsi. Ini menunjukkan, hemat penulis, Anas adalah politisi yang sangat ‘pandai’ membaca situasi dan juga visioner, dalam artian mampu membaca peta politik ke depan.
Pembacaan dan langkah politik Anas, yang loncat ke Demokrat, rupanya tepat. Dalam kongres Demokrat pada bulan Mei 2010, ia terpilih sebagai orang nomor satu di partai pemenang pemilu dan terbesar tersebut. Decak kagum apresiasi politik pun ia peroleh. Ia mampu menjadi pemimpin dari partai terbesar di Indonesia pada usia yang masih sangat muda, baru berusia 40-an tahun. Ia pun menjadi salah satu politisi yang menonjol, mengalahkan senior-seniornya di HMI yang berkiprah di beberapa partai, terutama di partai Golkar. Artinya bahwa Anas menapaki puncak karir politiknya begitu cepat dan berjalan mulus. Anas dilihat sebagai sosok ‘SBY’ kedua.
Dalam menghadapi pemilihan umum 2009 lalu, kepemimpinan kaum muda digaungkan. Beberapa kelompok kaum muda muncul memperjuangkan kepemimpinan kaum muda tersebut, seperti Effendi Gazali dan kawan-kawan, tetapi kelompok ini tidak punya kekuatan dan kendaraan politik, sehingga tidak diperhitungkan dalam bursa kepemimpinan nasional 2009 lalu. Terbukti capres dan cawapres 2009 semuanya dari kelompok tua. Demokrat mengusung Susilo Bambang Yudoyono-Boediono (SBY-Boediono), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P) mengusung Megawati Soekarno Putri-Prabowo Subianto, Golkar memajukan Jusuf Kalla-Wiranto (JK-Win), semuanya sudah berusia di atas 60-an tahun.
Daur ulang kepemimpinan nasional ini tidak menjawab kerinduan publik akan hadirnya kepemimpinan kaum muda. Tetapi setelah Anas terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat Mei 2010 lalu, seolah harapan hadirnya kepemimpinan kaum muda itu telah berada di depan mata. Tinggal menunggu waktu daur ulang berikutnya, 2014 nanti. Harapan itu bukan tanpa alasan. Pertama, Sosok Anas bisa muncul sebagai kaum muda yang dituakan. Artinya bahwa kemampuan berpolitiknya mampu membuat orang yang lebih tua darinya menerima kepemimpinannya, dan itu terbukti di Demokrat pada awal-awal kepemimpinannya. Juga Anas di mata publik dipandang sebagai sosok yang punya integritas. Gaya politiknya cerdas, santun, dan lembut.
Kedua, Demokrat adalah partai fenomenal yang bisa keluar sebagai pemenang pemilu pada usianya yang masih seumur jagung dalam pemilu 2009 lalu. Artinya bahwa talenta induvidu dan kendaraan politik dimiliki oleh Anas. Oleh karena itu, Anas ketika diwawancarai soal pencalonannya untuk presiden 2014 nanti oleh salah satu media, setelah terpilih sebagai Ketua Umum, menjawab bahwa ‘bila waktunya masih dhuhur, jangan shalat azhar dulu’. Pernyataan ini sebenarnya tersirat bahwa ia hanya menunggu waktu. Terlebih dari itu SBY secara konstitusi tidak mungkin lagi maju sebagai capres 2014 nanti. Figur menjual yang bisa menggantikan SBY setelah ia ‘pensiun’ dari Demokrat adalah Anas.
Lonceng ‘kematian’ Anas
Politik memang kadang seperti membalikkan telapak tangan. Ia bisa berubah dalam hitungan hari atau sekejap. Itulah yang dirasakan oleh Anas saat ini. Sosok yang sebelumnya dielu-elukan oleh publik dan juga oleh kader-kader partai yang dipimpinnya kini telah kehilangan kharisma dan otoritas politiknya. Ia tidak lagi dilihat sebagai pemimpin dari kaum muda yang ‘dituakan’, tetapi ia adalah pemimpin yang memalukan dan merusak citra partainya. Itulah mengapa wacana pencopotan dirinya santer diberitakan di berbagai media demi ‘membersihkan’ partai. Soetan Bathoegana, Ketua Dewan Pimpinan Pusat PD, mengatakan bahwa siapapun pengurus PD yang jadi tersangka akan dicopot dari jabatannya (Kompas, 27/01/2012). Ini menunjukkan bahwa wacana pencopotan Anas itu berkembang di internal partai tersebut, walaupun berupaya untuk ditutup-tutupi.
Jika dalam perkembangan selanjutnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Anas sebagai tersangka, maka tidak ada pilihan lain bagi Demokrat untuk mencopotnya. Dan tentu akan lebih elegan jika Anas segera mengundurkan diri. Anas harus membaca bahwa ini merupakan sinyal atau lonceng kematiannya dalam dunia politik. Terlepas ia ditetapkan sebagai tersangka atau tidak. Meskipun kematian dalam dunia politik itu tidak hanya sekali, menutur Akbar Tanjung, guru Anas di HMI, tetapi bagi Anas untuk hidup kembali dalam percaturan politik Indonesia tidak akan semulus dari perjalanannya selama ini menapaki dan menuju puncak karir politiknya di Partai Demokrat. Anas membutuhkan waktu dan sepertinya harus memulai dari awal. Selamat jalan Anas, menju ‘akhirat’ dunia politikmu!
Ahmad Sahide
Pemerhati Sosial Politik
Tinggal di Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar