Sabtu, 04 Februari 2012

Nuklir Iran dan Krisis Selat Hormuz

Ahmad Sahide
“Politik internasional, seperti halnya semua politik, adalah perjuangan demi kekuasaan, apa pun tujuan akhir dari politik internasional, tujuan menengahnya adalah kekuasaan. Mereka mungkin mendefenisikan tujuan-tujuan mereka itu dalam pengertian tujuan yang lebih relijius, filosofis, ekonomis atau sosial, tapi mereka melakukannya dengan berupaya memperoleh kekuasaan.”


Pandangan realis Hans Morgenthau di atas sepertinya sangat relevan dalam mengamati krisis Selat Hormuz di awal tahun 2012 ini. Keberadaan Selat Hormuz sangat penting artinya bagi negara-negara pengonsumsi minyak di dunia. Tempat berlalu lintasnya 40 persen minyak dunia (Kompas, 2/01/2012). Selat ini juga merupakan satu-satunya jalur perairan delapan negara di kawasan Teluk Persia atau Arab, di mana Iran menjadi salah satu negara yang bertepi pada Selat ini (Kompas, 5/01/2012). 

Krisis Selat Hormuz merupakan imbas dari krisis nuklir Iran yang melahirkan ketegangan politik di kawasan Timur Tengah dan dunia saat ini. Krisis ini dimulai ketika negara-negara Barat, yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS), menggalang kekuatan dalam upayanya menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Iran, negara yang selalu dicurigai sedang mengembangkan nuklir untuk persenjataan militer. Iran, pasca revolusi 1979, yang tidak pernah tunduk terhadap Barat, merespon wacana sanksi yang akan dijatuhkan tersebut dengan mengancam akan menutup Selat Hormuz. 

Ketegangan Iran versus Barat pun semakin meningkat. Pasalnya, Selat Hormuz dapat dikatakan sebagai salah satu ‘jantung’ kehidupan negara-negara Barat. Mereka, Barat, membutuhkan minyak dan Selat Hormuz adalah perairan yang dilalui sekitar 40 persen minyak dunia. Oleh karena itu, setelah Iran melemparkan wacana menutup Selat Hormuz, harga minyak dunia mulai merangkak naik. Ini menunjukkan bahwa letak geografis Selat ini sangat vital artinya bagi banyak negara di dunia saat ini. Di mana minyak sudah menjadi salah satu kebutuhan primer. Itulah mengapa beberapa negara Eropa tidak sepakat menjatuhkan sanksi terhadap Iran. 

Yunani, misalnya, yang sepertiga pasokan minyaknya berasal dari Iran, keberatan dengan rencana embargo minyak Iran tersebut (Kompas, 4/01/2012). Terlebih saat ini Eropa sedang dalam krisis ekonomi yang membahayakan. Kalaupun sanksi itu dijatuhkan, besar kemungkinan tidak dipatuhi oleh beberapa negara Barat yang sangat membutuhkan minyak Iran, atau minyak yang diekspor lewat Selat Hormuz. Seperti halnya yang terjadi pada tahun 1995 ketika Presiden AS pada saat itu Bill Clinton menjatuhkan sanksi terhadap Iran dengan mengembargo ekonomi total dan kemudian mengeluarkan Undang-Undang D’Amato yang melarang perusahaan-perusahaan asing menanamkan modalnya pada sektor perminyakan Iran lebih dari US$ 40 juta pertahun. Namun demikian sanksi ini tidak dipatuhi, bahkan oleh sekutu Amerika sendiri seperti Inggris dan Perancis yang memiliki investasi besar di bidang energi Iran pada saat itu (El-Gogary, 2006: 324). Iran juga sudah sangat kenyang dengan sanksi serta masih bisa survive.

Pertarungan Gagasan Kebenaran
Dalam wacana politik Barat, Iran adalah negara yang harus ‘diluruskan’, bahkan Iran pernah dikategorikan oleh Presiden AS sebelumnya, George Walker Bush, sebagai negara yang masuk dalam poros setan, “the Exist of Evil”. Sebaliknya, Iran dan sekutunya juga selalu melihat Barat, terutama AS sebagai negara yang sedang mempertontonkan ketidakadilan dan penjajahan. Ketidakadilan AS, di mata Iran, terletak ketika AS mengecam dan mengisolasi Iran yang dituduhnya sedang memperkaya uranium untuk pengembangan senjata nuklir, sementara Israel, dan beberapa negara lainnya, yang juga jelas-jelas memiliki senjata nuklir diperlakukan berbeda. Nuklir Israel tidak dilihat sebagai ancaman, bahkan sebagai kebutuhan. 

Kebenaran dalam versi Iran itulah sehingga Iran merespon akan menutup Selat Hormuz dalam merespon sanksi ekonomi dan embargo oleh negara-negara Barat terhadap Iran. Dalam krisis nuklir Iran yang merambat kepada krisis Selat Hormuz, kita sebenarnya sedang melihat pertunjukan politik pertarungan gagasan kebenaran. Sebagaimana yang dikatakan oleh Martin Wight bahwa yang membedakan sejarah modern dari sejarah Abad Pertengahan adalah unggulnya idea kekuasaan atas ide kebenaran. 

Terkait kasus nuklir Iran dan Selat Hormuz. Ide kebenaran ‘dikuburkan’, yang bermain adalah idea kekuasaan. Nuklir Iran tidak berada dalam perdebatan salah dan benarnya, melainkan ia adalah masalah perebutan kekuasaan. Sekalipun dalam perdebatan itu didefiniskan untuk tujuan yang lebih relijius, filosofis, ekonomis atau sosial, seperti pandangan realis Morghentau di atas. 

Dalam versi non-Barat, Iran mungkin tidak salah. Apa yang dilakukannya dengan wacana penutupan Selat Hormuz hanyalah reaksi dari sanksi politik dan ekonomi yang akan dijatuhkan oleh Barat terhadap negara Mullah tersebut, yang dipandang oleh Iran sebagai salah satu pertunjukan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Maka, dalam idea kebenaran, krisis Selat Hormuz akan selesai jika sanksi itu dicabut. Tetapi ditegaskan sekali lagi bahwa dalam kasus ini, yang unggul adalah idea kekuasaan. Jika sanksi itu dicabut, maka Iran, dalam perspektif Barat, akan berjalan melanggeng mengembangkan senjata nuklir yang akan membuatnya semakin sulit untuk dikontrol. 

Karena yang bermain adalah idea kekuasaan, Iran dalam merespons sanksi Barat membangun kekuatan politik dengan melakukan kunjungan kenegaraan, dimulai sejak tanggal 8 Januari 2012, ke beberapa negara sekutunya di Amerika Latin, seperti Venezuela, Ekuador, Nikaragua, dan Kuba (Kompas, 10/01/2012). 

Ahmad Sahide
Pemerhati Politik Timur Tengah
Tinggal di Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar