Kamis, 26 Januari 2012

Kegaduhan Renovasi Ruang Banggar

Ahmad Sahide
Rakyat Indonesia, sebagai pemirsa dari pertunjukan panggung politik Tanah Air, kembali disuguhi berita heboh terkait dengan anggaran renovasi ruang rapat anggota Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Alokasi anggaran 20,3 M dari ruangan yang berukuran kurang lebih sepuluh kali sepuluh meter itu dinilai telah melukai nurani rakyat Indonesia yang masih banyak hidup di bawah garis kemiskinan. Saling lempar tanggung jawab pun, dari anggota dan pimpinan Dewan, menjadi sajian menarik bagi media. 

Heboh alokasi dana anggaran Banggar ini direspons oleh Soegeng Sarjadi melalui artikelnya “Indonesia Tanah Airku” di harian Kompas, edisi 20 Januari 2012. Yang penulis tangkap dari artikel Soegeng Sarjadi tersebut adalah bahwa kita, terutama para elite, janganlah terperangkap menghabiskan waktu memperdebatkan hal-hal sepele, seperti relokasi anggaran Banggar DPR. Hal penting yang dilakukan menurut Soegeng Sarjadi adalah visi ke depan untuk membawa Indonesia menjadi salah satu negara adidaya di dunia. Indonesia memiliki potensi itu, hemat Sarjadi, jika pemimpin kita memiliki visi untuk itu serta sibuk berdebat dengan visi berbangsa ke depan tersebut. visi berbangsa inilah yang tidak hadir dari para pemimpin kita menurutnya.

Respons untuk Soegeng Sarjadi
Tulisan ini dalam rangka merespons artikel Soegeng Sarjadi di harian Kompas tersebut, tanpa mengurangi rasa hormat penulis padanya. Penulis cukup sering membaca dan mengikuti gagasan-gagasan dari Soegeng Sarjadi yang ia tuangkan di beberapa media nasional. Penulis sepakat dengan Sarjadi bahwa yang harus diperkuat saat ini adalah visi membawa Indonesia menjadi negara adidaya ke depan. Namun, penulis kurang sepaham dengan beliau jika berpandangan bahwa kita tidak perlu menghabiskan waktu dengan kegaduhan kasus seperti relokasi anggaran Banggar dan kasus Bank Century. 

Baginya, Indonesia tidak akan bubar hanya dengan alokasi anggaran 20,3 M untuk renovasi ruang rapat Banggar tersebut. Hal ini benar adanya, tetapi penulis melihat kasus ini bukan hanya dengan besaran anggarannya yang dinilai berlebihan dan ada indikasi korupsinya. Lebih jauh untuk dilihat dari kasus ini, dan kasus serupa lainnya, adalah mindset yang terbangun dari para elite dan pemimpin kita. Tahun lalu, kita juga dihebohkan dengan rencana pembangunan gedung fantastis baru DPR yang disorot dan dkiritik oleh banyak kalangan, sehingga anggota Dewan akhirnya mengurungkan niatnya tersebut. Dan pada awal tahun ini Senayan kembali heboh dengan alokasi anggaran Banggar tersebut. Menyusul anggaran renovasi istana negara yang mencapai 80 M.

Dari kasus ke kasus tersebut, tampak dengan jelas bahwa mindset yang terbangun dari para elite kita adalah bahwa mereka memaknai kekuasaan itu untuk memperkaya diri, status sosial, dan seterusnya. Seolah menjadi anggota dewan itu haruslah kaya, memiliki mobil mewah, dan hidup serba berkecukupan dan nikmat. Itulah yang mereka cari di Senayan sana. Berlomba-lomba masuk untuk mencari kesenangan dan kemewahan hidup. Bisa dibayangkan, anggota dewan kita minta difasilitasi oleh senilai 24 juta hanya untuk tempat duduk. Sementara jutaan rakyat yang rumah tempat tinggalnya tidak senilai itu. Inikah wakil rakyat kita yang dalam setiap kampanye politiknya keras bersuara akan memperjuangkan rakyat banyak? Ingin menjadi penyambung lidah rakyat di Senayan? 

Membaca perjalanan hidup dari para pejuang kemerdekaan bangsa, kita akan memahami bahwa para pejuang-pejuang kemerdekaan kita rela berjalan pada rimba-rimba kehidupan. Bung Karno dan Bung Hatta hidup dari pengasingan ke pengasingan, dari penjara ke penjara. Itulah pemimpin dan begitulah mereka memperjuangkan rakyat. Mereka tidak meminta fasilitas negara yang serba mewah dan nikmat. Jauh berbeda tentunya dari pemimpin-pemimpin kita dewasa ini. Katanya, mereka ingin memperjuangkan nasib rakyat yang melarat, tapi duduk di tempat yang nyaman.

Oleh karena itu, perbedaan pandangan penulis dari Soegeng Sarjadi adalah ketika melihat bahwa kasus anggaran novasi Banggar dan kasus seperti Bank Century tidak terlalu penting untuk diperdebatkan dengan menghabiskan waktu. Hemat penulis, ia tetap penting, terutama untuk digugat. Bukan dengan nominal uangnya, tetapi dengan mentalitas para wakil kita di Senayan sana. Bagaimana mungkin kita bisa membawa Indonesia menjadi negara adidaya ke depan jika para pemimpin kita tidak berpikir untuk rakyatnya? Mereka hanya berpikir untuk menikmati kekuasaan dengan berbagai macam fasilitas yang ada. Pada aspek inilah kasus renovasi Banggar, dan kasus serupa lainnya penting untuk dibahas. Agar supaya para pemimpin dan wakil kita merubah pola pikirnya. Berkuasa bukan untuk menikmati fasilitas negara, bukan juga sebagai jalan untuk bisa kaya mendadak. Tapi berkuasa untuk memperjuangkan nasib rakyat. Dan perlu diingat, seorang pejuang tidak perlu melihat apakah tempat atau alatnya itu mewah atau tidak. Yang terpenting mereka bisa memperjuangkan rakyatnya. Dulu banyak pejuang kita berjuang dengan bambu runcing. Hidup dari hutan ke hutan. Saya kira rakyat tidak akan melihat rendah wakilnya di Senayan sana bila ia duduk dan rapat di ruang yang sederhana. Karena tinggi-rendahnya nilai seorang pejuang bukan karena ruangan dan tempat duduknya, tetapi semangat dan apa yang dilakukannya. 


Mengembalikan semangat juang itulah yang penting dari mindset para pemimpin dan wakil kita sehingga kasus sepele, dalam pandangan Soegeng Sarjadi, penting untuk disorot. Saya kira tidak akan lahir visi untuk bangsa ke depan jika mentalitas para wakil kita tidak berubah. Semoga tulisan ini dapat mengetuk hati para pemimpin kita untuk jernih melihat fungsinya hadir di Senayan sana!

Ahmad Sahide
Pemerhati Sosial Politik
Direktur Komunitas Belajar Menulis Yogyakarta
Yogyakarta, 22 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar