Selasa, 17 Januari 2012

Dua Pemimpin dalam Sorotan Media

Darwin
Seakan menahbiskan syair lagu Franky Sahilatua “yang salah dipertahankan, yang benar disingkirkan”, harian Kompas edisi Selasa (20/12) lalu menurunkan berita ironi kematian dua pemimpin dunia, yakni mantan Presiden Ceko Vaclav Havel, dan “dewa” masyarakat Korea Utara, Kim Jong Il. Ironi, karena harian ini lebih banyak menyorot Kim Jong Il yang meninggal pada 17 Desember 2011 lalu, daripada Vaclav Havel yang meninggal sehari setelahnya, yakni 18 Desember. Kompas menampilkan Kim Jong Il berlembar-lembar, sementara Vaclav Havel (selanjutnya Havel) tidak sampai separuh halaman, cuma satu kolom saja (lihat Kompas edisi Selasa, 20 Desember 2011). Berita tentang kematian Kim Jong Il (selanjutnya Kim) setidaknya ada di halamn pertama, 8, 10, dan 11. Kebalikannya, Havel hanya “ditempatkan” di halaman 8, itu pun kolom yang jauh lebih kecil daripada Kim. Judul berita tentang Kim lebih ditonjolkan dan ditaruh di tengah, sementara Havel hanya dengan judul lebih kecil dan ditaruh di pinggir halaman.

Penulis memang tidak melihat surat kabar lain pada hari itu, tetapi setidaknya dari media semacam Kompas ini bisa kita tarik kesimpulan bahwa dunia sekarang adalah dunia yang penuh dengan paradoks. Dari berbagai literatur, kita paham bahwa Vaclav Havel jauh mengungguli Kim dari sisi kepemimpinan. Kalau kita tambahkan bahwa pemimpin adalah orang yang peduli dengan realitas, lagi-lagi Havel memiliki hal itu, karena perjuangannya membebaskan rakyat Ceko dari penindasan rezim Komunis, Uni Soviet. Bagaimana dengan seorang Kim? Jawabannya ada pada rakyat Korea Utara. Rakyat Korea Utara mengalami penderitaan yang luar biasa, mulai dari kelaparan hingga pembungkaman berekspresi.

Penulis Puisi
Vaclav Havel adalah Presiden Ceko periode 1993-2003. Ia lahir pada 5 Oktober 1936 di Praha, Ceko (lihat artikel Mochtar Buchori, Kompas, 28/12/10). Ia adalah tokoh di balik Revolusi Beludru pada tahun 1989. Ia berhasil menggerakkan rakyat untuk mengakhiri dominasi rezim Komunis Uni Soviet di Ceko (dulu Cekoslowakia). Pembebasan rakyat Ceko dari penderitaan ini adalah prestasi luar biasa dari seorang Havel. Perjuangan tidak kenal lelah itu juga mengantarkannya ke kursi presiden pada tahun 1993. Rakyat Ceko ketika itu percaya dengan Havel karena mereka melihat pribadi Havel adalah pribadi yang tulus, karena jauh sebelum Revolusi Beludru, Havel sudah memulai perlawanan terhadap kekuasaan yang menyengsarakan kehidupan rakyat Ceko. Havel mengkritik rezim dengan menulis puisi, membuat naskah drama, dan menulis berbagai artikel. Oleh karena itu, Havel dikenal sebgai seorang politisi sekaligus sastrawan. Semua ini dilakukannya hanya untuk mengingatkan penguasa Uni Soviet yang kejam, yang melumpuhkan harapan rakyat Ceko ketika itu.

Penindas Rakyat
Bagaimana dengan seorang Kim? Ia kelahiran 16 Februari 1942 dengan tempat kelahirannya yang dirahasiakan hingga kini. Ia menjadi pemimpin Korea Utara (Korut) menggantikan ayahnya Kim Il Sung yang juga seorang pendiri Korut. Ia memimpin negara “aneh” itu sejak tahun 1994 setelah ayahnya wafat. Dan, hingga kini ia dianggap sebagai pemimpin penindas rakyat, karena faktor kepemimpinannya yang diskriminatif dan merendahkan derajat kemanusiaan, ditambah lagi sistem di negara itu yang mendewakan seorang pemimpin tanpa ada sedikitpun kontrol dari rakyat. Rakyat Korut menderita secara lahir-batin. Dari segi ekonomi, jutaan rakyat Korut meninggal karena bencana kelaparan pada 1990-an. Dari aspek lain, kebebasan berekspresi, misalnya, rakyat Korut dibungkam habis oleh rezim. Media disensor, tidak adanya jaringan internet, ditambah lagi pelarangan aktivitas-aktivitas “anti-Negara” lainnya. Dengan kata lain, pemimpin Korut adalah pemimpin yang bebas melakukan apa saja (meskipun itu menindas rakyatnya sendiri), karena pemimpin di Korut mirip dengan pemimpin-pemimpin pada masa lalu, seperti Fir’aun di Mesir, Nero di Romawi, dan pemimpin kontemporer abad modern Hitler, dan lain sebagainya.

Kembali ke surat kabar Kompas yang mengupas habis tentang kematian Kim Jong Il dan “menenggelamkan” kebesaran seorang Vaclav Havel. Media Kompas sejak edisi Selasa (20/12) hingga edisi Sabtu (24/12) selalu menurunkan berita tentang Kim Jong Il setiap harinya. Sementara Vaclav Havel baru disorot di edisi Sabtu (24/12), setelah memuat “secuil” berita kematiannya di edisi Selasa (20/12) lalu. Mengapa ini terjadi?
Dalam jurnalistik kita sudah tidak asing lagi dengan apa yang disebut nilai berita. Nah, berita kematian dua pemimpin ini terkait dengan salah satu nilai berita, yakni prominence. Ketenaran Kim Jong Il ditambah lagi keunikan Negara Korut yang selalu membuat kejutan bagi dunia, membuat media berlomba-lomba mengupasnya. Sementara Vaclav Havel tenar ketika revolusi 1989 saja, karena berhasil mengubah tatanan dunia di Eropa Timur. Setelah itu, Negara Ceko tidaklah begitu “menarik” bagi publik dunia, apalagi pasca-turunnya Havel dari singgasana kepresidenan pada tahun 2003 lalu.

Kita hanya bisa meratap, membiarkan para redaksi media memutar sejarah. Baik sejarah yang diputar demi kepentingan media itu sendiri, maupun sejarah yang diputar sebagai alat legitimasi kekuasaan (politik/ekonomi). Biarkan media membesar-besarkan kepemimpinan seorang Kim Jong Il dari pada Vaclav Havel. Konstruk yang menipu publik itu sesungguhnya hanya berlaku sementara dalam sebuah permainan media saja. Realitas yang sebenarnya tetap akan mengungguli realitas semu yang diramu oleh media. Kita tetap yakin bahwa pemimpin besar itu adalah pemimpin yang peduli dengan realitas sekitarnya, dan tergerak untuk merubah realitas itu supaya terbentuk tatanan masyarakat yang tetap berada pada relnya. Hal itu ada pada Vaclav Havel, bukan Kim Jong Il!! Wallahu a’lam bi al-shawab.

Pantun
Siti Nurhaliza makan nangka
Vina Panduwinata makan apel
Kenapa bangsa kita selalu dirundung duka
Karena tidak mempunyai pemimpin seperti Vaclav Havel

1 komentar: