Darwin
Sastrawan Raudal Tanjung Banua dalam diskusi yang ditaja Komunitas Gubuk Indonesia (KGI) Yogyakarta, hari Senin malam (9/1) lalu, di Yogyakarta, membagi dua kecenderungan sastra di Indonesia saat ini. Pertama, adalah sastra mainstream yang mengedepankan publikasi dan jaringan, yang diakomodir media massa (khususnya koran) nasional. Sastra jenis ini menurut Raudal, terkadang abai dengan kualitas estetik. Kedua, adalah sastra “bawah tanah”. Sastra jenis ini kental nuansa lokalitasnya (berlawanan dengan pusat), “anti-publikasi”, dan peduli realitas (sastra bertendens). Sastra jenis ini terejawantahkan dalam komunitas-komunitas sastra yang bertebaran di berbagai daerah di Tanah Air, salah satu yang dicontohkan Raudal adalah di Riau sendiri. Di mana Taufik Ikram Jamil dkk. dengan “kefanatikan”-nya dengan Riau selalu mencoba melawan “pusat” dengan bahasa yang khas Riau.
Seolah membangkitkan kembali wacana dalam dunia sastra kita , di mana dulu sastra lokal (pinggiran) versus pusat pernah menjadi perdebatan sengit di kalangan sastrawan, penikmat sastra, dan kritikus sastra, yang sebenarnya sudah selesai, Raudal menelaaahnya kembali, dan itulah yang terjadi hari ini. Penulis mencoba meneroka sedikit fenomena yang terungkap dalam diskusi di Komunitas Gubuk Indonesia Yogyakarta ini dan mengaitkannya dengan perkembangan sastra di Riau yang cukup membanggakan sekaligus memprihatinkan dewasa ini.
Membanggakan, karena sekarang kita bisa melihat bermunculannya sastrawan-sastrawan muda berbakat pasca-generasi Hasan Junus danTaufik Ikram Jamil. Mereka adalah Marhalim Zaini, Hary B. Kori’un, Hang Kafrawi, Budy Utamy, atau Olyrinson yang baru meluncurkan cerpen Sebutir Peluru Dalam Buku-nya pada tahun 2011 lalu. Tentu saja mereka-mereka ini terpusat di Pekanbaru, sebagai barometer sastra di Riau. Bagaimana dengan daerah non-Pekanbaru. Kita bisa melihat sendiri sulitnya muncul sastrawan-sastrawan dari daerah kabupaten ataupun agak ke pinggiran lagi, lingkup kecamatan, hingga desa pada saat ini. Memang ada seorang guru sekaligus sastrawan, yakni Musa Ismail yang tinggal di Bengkalis, tetapi tetap saja basic kepengarangannya dibangun di “pusat” (Pekanbaru).
Jadi, “lokal” versus “pusat” dalam dunia sastra seperti yang dikatakan Raudal di atas, tidak hanya terjadi dalam lingkup nasional. Tetapi Riau sendiri juga merasakan, dan akibatnya jadi meresahkan berkat adanya kategori ini. Di sini, penulis tidak membandingkan dari sisi publikasi karya, tetapi dari sisi media ekspresi tempat menelurkan bahasa (kata-kata) estetis ini. Karena, tidak adil rasanya jika membandingkan dari sisi publikasi, alih-alih publikasi, fasilitas yang menunjang bangkitnya sastra di tingkat kabupaten saja tidak ada.
Fasilitas, inilah yang menjadi penyebab kesenjangan antara Pekanbaru dan non-Pekanbaru. Di mulai dari sekolah-sekolah di daerah (kabupaten) yang tidak mengakomodir bibit-bibit sastrawan yang akan tumbuh di sini. Penulis merasakan sendiri ketika bersekolah di salah satu SMA di Kabupaten Pelalawan. Pembelajaran sastra yang jauh dari memadai penulis jumpai di sekolah ini. Ketika itu, ada pelajaran meresensi novel Supernova karya Dewi Lestari yang booming beberapa tahun sebelumnya. Aneh bin ajaib, kami tidak pernah melihat bentuk novel ini, bahkan mendengar dari media massa saja tidak. Kami hanya bisa membayangkan isi novel ini dari resensi yang dijelaskan di dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia tersebut.
Ini baru dari sisi pembelajaran di sekolah, sisi lain, yang menunjang seseorang dalam proses menjadi sastrawan, seperti media massa, komunitas, dan buku-buku sastra, belumlah tersua di tingkat kabupaten dan sekitarnya ini. Media massa (koran) yang memuat puisi, cerpen, esai budaya, dan segala yang terkait dengan dunia sastra lainnya tentu saja belum memasuki pedesaan-pedesaan yang jauh dari ibukota kecamatan. Begitu juga buku-buku sastra semacam novel, kritik sastra, buku cerpen, dan puisi belum juga menemui pembacanya di berbagai sudut kampung di kabupaten-kabupaten. Komunitas sastra? Apalagi “makhluk” yang satu ini jauh panggang dari api. Perbincangan sastra hanya penulis jumpai pada tetua adat di kampung-kampung, itu pun sudah mulai langka. Para anak muda sudah tidak peduli lagi dengan yang namanya “permainan kata-kata” yang dulu menjadi primadona dalam khazanah Melayu Riau ini.
Pembentuk seseorang untuk mengapresiasi sastra saja tidak ditemui di daerah-daerah tingkat kabupaten, apalagi jika ada keinginan seseorang untuk menjadi sastrawan sekelas Marhalim Zaini, misalnya. Hal ini sungguh membuat kita miris di tengah wacana menjadikan Riau sebagai pusat Melayu di Asia Tenggara di masa depan.
Dalam hal ini, Pemerintah Provinsi Riau dan Pemerintah Kabupaten se-Riau harus bertanggung jawab atas timpangnya daya akses masyarakat yang sangat tajam ini. Pembenahan fisik seperti perkantoran atau pusat perbelanjaan modern, yang itu politis memang penting dilakukan, tetapi jauh lebih penting membangun pusat-pusat ilmu pengetahuan yang berdimensi sastra di daerah-daerah seputaran kabupaten, seperti kampus sastra, atau gedung tempat berhimpunnya para sastrawan dan penikmat sastra. Selain itu, perlu adanya distribusi buku-buku sastra ke sekolah-sekolah secara masif. Kalau perlu pemerintah juga mengirimkan majalah semacam Horison, majalah budaya Sagang ke sekolah-sekolah tersebut setiap bulannya. Kepada para pemerhati, pegiat, dan penikmat sastra juga sangat diharapkan sumbangsihnya dalam bentuk pelatihan kepenulisan sastra hingga ke pelosok-pelosok kampung sekalipun. Jika semua ini dilakukan, kategorisasi antara pusat dan lokal (pinggiran) dalam konteks Riau di atas tidak akan terjadi. Perlu diperhatikan, bakat-bakat menjanjikan sastrawan Riau tidak hanya ada di Pekanbaru, tetapi juga menyebar di daerah-daerah, bukan! Bangkitlah “Sastra Kabupaten”! (Jogja, 13 1 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar