Minggu, 20 November 2011

Inkonsistensi Obama

Inkonsistensi Obama
Ahmad Sahide

Barack Obama, presiden ke-44 Amerika Serikat (AS), adalah sosok yang sangat fenomenal sejak kemunculannya sebagai kandidat presiden di negeri Paman Syam tersebut. Fenomena kemunculan Obama sebagai pemimpin dunia abad kedua puluh satu ini karena beberapa faktor. Pertama, Obama adalah sosok yang mematahkan mitos politik AS selama ini bahwa presiden AS harus dengan kulit putih. Obamalah presiden AS pertama dari kulit hitam. Kedua, Obama adalah presiden AS yang termuda, usianya masih kepala empat. Ketiga, dalam diri Obama diduga mengalir darah Islam. Nama lengkapnya adalah Barack Husein Obama. Husein, yang jarang ia munculkan, adalah nama dengan bahasa dan identitas yang sangat dekat dengan Islam. Itulah sebabnya, dalam masa kampanye menuju Gedung Putih pada tahun 2008, Obama beberapa kali diserang dengan namanya tersebut. Keempat, slogan politik Obama adalah “Change. Yes we can!” 


Slogan politik Obama ini membuat sebagian besar penduduk bumi ‘mengamini’ bahwa Obama akan menjadi presiden AS yang berbeda dari presiden-presiden sebelumnya. Obama diyakini akan membawa AS ke depan dengan citra yang lebih bersahabat, tidak lagi dipandang, terutama dari dunia Islam, sebagai negara kolonialis-agresif. Do’a sebagian besar penduduk bumi akhirnya terkabulkan, Obama menang dalam pemilihan presiden tahun 2008 lalu. Kemenangannya pun disambut hangat, terutama dari negara-negara dunia Islam di Timur Tengah. Ia dianggap akan membawa angin segar dalam mengubah perpolitikan dunia. Politik yang membawa pada perdamaian dunia. Itulah harapan besar dunia bagi Obama kala itu. Obama, terutama diharapkan dapat menciptakan perdamaian di Timur Tengah, terutama perang Israel-Palestina (Arab) yang sudah berlangsung lebih dari enam dekade, dan sudah menjadi perhatian bersama bagi dunia Islam saat ini.

Satu hal yang dinanti oleh negara-negara dari dunia Islam dari Obama untuk membawa slogannya menjadi kenyataan adalah ketika ia mampu menyelesaikan perang berkepanjangan Israel-Palestina, yang tidak mampu diselesaikan oleh presiden-presiden AS sebelumnya karena keberpihakannya terhadap Israel. Perjanjian demi perjanjian ditandatangani, tetapi perdamaian tak kunjung menjadi kenyataan karena AS, yang selalu bertindak sebagai penengah, tidak pernah bersikap netral. AS, di bawah kepemimpinan Obama, diharapkan mampu menjadi penengah yang netral dalam negosiasi untuk mencapai kesepakatan damai. 

Harapan itu seolah mendekati kenyataan ketika Obama, pada bulan Juni 2009, berkunjung ke Kairo, Mesir, dan memberikan pidato yang dianggap sebagai pidato yang sangat bersejarah. Obama adalah presiden AS yang pertama kali dengan rendah hati mengakui bahwa kolonialisme telah mengabaikan hak dan kesempatan kaum muslimin. Obama mengakui bahwa negara-negara mayoritas Muslim terlalu sering diperlakukan sebagai bawahan dan tidak dipedulikan aspirasinya. Obama juga mengatakan bahwa ia tidak bisa memungkiri, bangsa Palestina telah menderita cukup lama untuk mendapatkan tanah air. Obama lalu menyatakan ingin memulai era baru hubungan AS-Dunia Islam yang berlandaskan pada persamaan interest (Dina Y. Sulaeman dalam bukunya Obama Revealed, 2010). 

Berangkat dari pidato Obama di atas, dunia seolah dibuatnya semakin yakin bahwa ia benar-benar akan membawa perubahan bagi AS dan politik dunia. Ia tidak akan mewariskan politik George Walker Bush yang mengkotak-kotakkan dunia, lalu membuatnya berperang satu sama lain. Obama pun dianugrahi nobel Perdamaian Dunia setelah satu tahun memimpin AS. Dunia banyak yang mengkritik pemberian tersebut karena dianggap terlalu dini, tetapi salah satu alasan kuat dari pemberian itu adalah bahwa Obama mempunyai tekad yang kuat dalam menciptakan perdamaian dunia. Perdamaian Israel-Palestina pun seolah hanya menunggu tanggal mainnya saja.

Sikap Pragmatis Obama
Seiring berjalannya waktu, perubahan yang dijanjikan Obama tak kunjung datang, baik itu untuk masyarakat Amerika sendiri maupun perubahan untuk dunia. Masyarakat AS dan dunia berlahan-lahan mulai meragukan kepemimpinan Obama dalam menciptakan iklim baru dalam politik dunia dan Amerika. Data terakhir menunjukkan tingkat kepuasan publik AS terhadap kepemimpinan Obama kurang dari lima puluh persen. Lalu bagaimana dengan dunia? 

Pada akhir Mei 2010, peristiwa Mavi Marmara menjadi perhatian dunia ketika Angkatan Laut Israel menyerang para relawan pembawa bantuan kemanusiaan untuk Gaza yang tergabung dalam armada kebebasan tersebut. Karena peristiwa tersebut, Obama yang dijadwalkan bertemu dengan Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel, membatalkan pertemuan yang sudah terjadwal tersebut (Kompas, 2/06/2011). Diduga bahwa batalnya pertemuan kedua pemimpin tersebut karena kekecewaan Obama kepada Israel. Hubungan AS-Israel pasca peristiwa tersebut pun mulai memanas. Di sini menunjukkan bahwa Obama masih mempunyai keinginan kuat dengan niatnya untuk menciptakan perdamaian dunia. Obama lalu disebut-sebut sebagai presiden AS yang pertama kali melahirkan ketegangan hubungan kedua negara tersebut. 

Tanda-tanda inkonsistensi Obama mulai terlihat ketika ia kembali bertemu dengan Netanyahu pada awal Juli 2010. Diberitakan bahwa Netanyahu tampak berseri-seri begitu keluar dari Gedung Putih. Wajah yang tampak berseri-seri adalah bahasa isyarat bahwa Obama tidak lagi menekan PM Israel tersebut. Perubahan sikap Obama ini, di mana sebelumnya terkesan menolak Netanyahu, karena ia membutuhkan lobi Yahudi AS dalam menyambut pemilu sela Kongres yang berlangsung pada bulan November 2010 lalu (Kompas, 8-07/2011).

Dalam pemilu sela Kongres (midterm ilection) Amerika Serikat yang berlangsung pada tanggal 2 November 2010 lalu, partai Republik keluar sebagai pemenang yang berhasil menguasai kongres dengan 239 kursi (54,9 persen) dari total 435 kursi di House of Representatives (DPR), mengalahkan partai Demokrat (Kompas, 4/11/10). Hasil dari pemilu sela tersebut merubah konstalasi politik AS dan Obama harus rela berbagi kekuasaan dengan Republik. Partai Republik pun tercatat berkali-kali mengganggu atau berusaha menggagalkan agenda politik Obama. 

Hasil dari pemilu sela di atas ini tentu menjadi catatan politik tersendiri bagi Obama dalam menghadapi 2012. Karena Obama terkesan keras dengan PM Israel dalam peristiwa Mavi Marmara, maka kekalahan politik Partai Demokrat pun menjadi taruhannya. Obama sudah pasti memahami bahwa kekuatan lobi Yahudi AS tidak bisa diabaikan begitu saja. Lobi Yahudi terorganisasi dengan baik dalam Israel Public Affairs Committe (AIPAC), Komite Urusan Publik Israel Amerika. Paul Findley dalam bukunya, Mereka Berani Bicara, mengatakan bahwa mereka yang mengkritik Israel berarti berada dalam bahaya politik, dan bahkan presiden AS menoleh kepada AIPAC kalau ia mempunyai problem politik yang pelik menyangkut konflik Arab-Israel (Paul Findley, 1990). Sepertinya Obama dalam ‘bahaya’ karena berani menolak Benjamin Netanyahu dalam peristiwa akhir Mei tahun 2010 lalu. Kini popularitas Obama terus merosot, penulis melihat adanya kekuatan lobi Yahudi AS di balik semua ini.

Mahmoud Abbas dan keanggotaan Palestina di PBB
Dalam sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Jum’at 23 September, Presiden Otoritas Palestina, Mohmoud Abbas menyerahkan usulan agar Palestina diakui sebagai negara merdeka dan berdaulat serta menjadi anggota PBB (Kompas, 26/09/2011). Rencana Abbas ini didukung oleh 122 negara, tetapi diyakini dengan kuat bahwa rencana tersebut tidak bakal terwujud karena AS tidak mendukung dan berkali-kali mengatakan akan menggunakan hak veto-nya di PBB untuk menggagalkan rencana tersebut. Obama menghendaki agar penyelesaian konflik kedua negara dicapai melalui perundingan (Kompas, 21/09/2011). Abbas rupanya tetap ngotot dan terus melangkah meskipun mendapatkan banyak tekanan. Abbas sepertinya sadar bahwa saran dari AS tersebut adalah wujud nyata bahwa AS dan Obama tidak mendukung langkahnya untuk mencapai perdamaian bagi kedua negara. 

Obama rupanya tidak jauh berbeda dengan presiden-presiden AS sebelumnya yang sangat kuat keberpihakannya pada Israel. Inkonsistensi Obama, jika dilihat dari pidatonya di Mesir Juni 2009 dan responnya dalam peristiwa Mavi Marmara Mei 2010 lalu, sepertinya karena ia dihantui ketakutan dan banyak belajar dari kekalahan Partai Demokrat pada November tahun lalu. Karena Obama keras dan mempermalukan Benjamin Netanyahu dalam peristiwa Mavi Marmara, maka partainya pun kalah. Obama tentu tidak ingin sidang Majelis Umum PBB tahun ini menjadi momentum awal untuk menoropong kekalahannya dalam pemilihan umum 2012 nanti. Obama takut bahaya politik menimpa dirinya hanya karena ‘bermain-main’ dengan Israel. Bagaimanapun juga, Obama juga adalah manusia biasa. Ia bukanlah malaikat, maka janganlah mendewa-dewakan dirinya berlebihan! Terbukti ia tidak konsisten dengan misi perdamaiannya!
Ahmad Sahide
Yogyakarta, 28 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar