Media massa kita hari ini tidak bisa berkutik oleh sepak terjang Muhammad Nazaruddin. Media massa kita seolah-olah ikut larut dan terbius oleh aksi-aksi mantan politisi Partai Demokrat tersebut. Nazaruddin memang tampil mempesona dan melenakan jutaan rakyat Indonesia berkat “pemberian” ruang oleh media media massa kita. Aksi-aksi jitunya mengelabui pihak keamanan Indonesia dengan melintasi berbagai negara membuat masyarakat seakan tidak mau sedikit pun melewatkan setiap episode dari pelariannya. Ibarat sinetron di televisi kita, kelewatan satu episode saja, bisa membuat episode berikutnya tidak menarik lagi. Nazaruddin belakangan ini bisa juga dikatakan bak selebritas, di mana ia (di) tampil (kan) oleh pihak media massa kita tanpa jeda setiap jamnya dalam sehari semalam.
Media massa kita seakan menguak perdebatan klasik dalam ilmu Komunikasi selama ini, yakni: realitas sosialkah yang mempengaruhi realitas media, atau sebaliknya? Dalam kasus Nazaruddin, penulis melihat besarnya realitas sosial mempengaruhi pemberitaan media massa kita, terutama televisi. Televisi kita tidak mau melewatkan sedikit pun aksi-aksi pengelabuan yang dilakukan Nazaruddin, mulai dari kasus korupsi yang menimpanya mencuat ke permukaan, aksi penangkapannya di Cartagena, Kolombia, dan proses pemulangannya ke Tanah Air hari-hari ini. Dari jam ke jam, Nazaruddin selalu muncul di televisi, seakan ia adalah pesohor yang menjadi idola para penonton. “Serbuan” wajah Nazaruddin ini ke dalam kehidupan pemirsa televisi setiap harinya, disetting oleh pihak televisi dengan berbagai cara. Melalui pemberitaan, yang terkadang didramatisir, Nazaruddin menjadi wacana dominan yang tanpa henti diperbincangkan.
Di tataran masyarakat pun, sang “idola” ini selalu menjadi buah bibir. Ia menjadi topik hangat yang “menghantui” benak masyarakat. Ia diperdebatkan di forum seminar, forum diskusi di kalangan mahasiswa, kultum di masjid menjelang berbuka, warung kopi, hingga tempat nongkrong semacam angkringan sekalipun. Yang memperdebatkannya mulai dari masyarakat yang terdidik, seperti mahasiswa, akademisi, hingga masyarakat awam yang tidak tahu menahu tentang politik pun ikut mengupas habis semua seluk-beluk yang berkaitan dengan Nazaruddin ini.
Inilah pengaruh dari media massa. Media massa hadir dalam masyarakat kontemporer (modern), tiada lain adalah sebuah konsekuensi dari perkembangan teknologi. Teknologi modern memunculkan yang namanya televisi, surat kabar, film, ataupun radio, dan belakangan muncul jenis media massa yang lain dalam bentuk media sosial semacam Facebook. Karena daya jangkaunya yang tidak terbatas, maka media massa sangat mudah mempengaruhi audience (masyarakat). Pesan yang disampaikan oleh media massa ditangkap oleh masyarakat, dan masyarakat mau tidak mau akan terkonstruk (dikendalikan) oleh isi pesan tersebut jika tidak selektif memilahnya. Pemberitaan Nazaruddin adalah salah satu contohnya. Masyarakat pada akhirnya hanya akan terfokus dengan kasus Nazaruddin saja, dan seolah-olah dipaksa oleh media massa untuk melupakan “dosa-dosa” Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lainnya, misalnya, di antaranya, masih banyaknya orang miskin dan masyarakat yang tidak bisa mengakses pendidikan di republik ini.
Pemberitaan yang berlebihan oleh pihak televisi kita terhadap kasus Nazaruddin hanya akan membuat para elite Partai Demokrat dan orang-orang yang duduk dalam pemerintahan SBY tersenyum karena berhasil “menipu” rakyat. Alih-alih mengetahui program-program pemerintahan SBY yang jalan di tempat, malah mereka dijejali oleh terpaan kasus Nazaruddin yang belum menjamin akan tegaknya keadilan hukum tersebut. Rakyat kita tidak tahu menahu dengan kesalahan-kesalahan SBY lainnya, yang semuanya tentu saja sangat berdampak terhadap mereka tersebut. Hal ini akan membuat rakyat kita terninabobokkan, yang pada akhirnya mereka akan beranggapan kesalahan SBY hanyalah secuil, yang itu mengerucut pada Nazaruddin, dan melupakan setumpuk kesalahan SBY lainnya.
Introspeksi
Jadi, media massa kita sepertinya harus melakukan introspeksi sebelum bangsa kita ini ambruk oleh tipuan citra para elite kita yang duduk di pemerintahan. Media massa kita bisa melakukan penyadaran ulang terhadap wacana yang dominan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat kita hari ini, yakni “pengalihan isu” dengan dikedepankannya Nazaruddin sebagai “tameng”. Pihak media massa kita bisa memberitakan hal lain yang tidak selalu tentang Nazaruddin. Ada hal lain yang tidak kalah penting, untuk menyebut sedikit saja masalah yang ada di bangsa ini, misalnya apa yang terjadi pada masyarakat marjinal kita di daerah perbatasan dengan negara tetangga yang menderita lahir batin, ataupun masyarakat suku terasing kita yang bertebaran di berbagai daerah di seluruh pelosok negeri yang harus bertarung dengan korporasi besar. Kita tahu, mereka semua adalah akibat dari kecongkakan dan ketidakpedulian para elite kita yang duduk di kursi kekuasaan.
Yogyakarta, 12-13 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar