Kadang setiap orang, dan saya sendiri sering mendahulukan kata “aku”. Ketika kata “aku” lebih dikedepankan, maka kesombongan, keangkuhanlah yang akan menjadi pemenang. Dalam berinteraksi dengan berbagai segmen, mulai dari jenjang atau tingkat pendidikan, status sosial, dan jabatan seseorang. Biasanya hal itu akan berpengaruh pada beberapa hal, yakni terjadinya benturan sosial yang berawal dari persoalan sepele, kemudian dibawa ke ranah atau persoalan besar.
Contoh kasus, ada seorang pemuda kaya dan tak sengaja seorang pemuda miskin menyenggol mobilnya. Yang terjadi tiba-tiba ia marah-marah dan mengatakan “kamu tahu berapa harga mobil ini dan tahu siapa aku?”. Tak hanya di situ, pemuda kaya itu memukulnya, pemandangan ini sering kita jumpai baik sengaja atau pun tak disengaja, mungkin kita juga pernah mengalaminya. Memang tak semua orang kaya atau orang yang dianggap status sosial tinggi itu memiliki karakter jahat. Kasar dan lemah lembutnya hati seseorang, biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor : faktor pendidikan orangtua atau keluarganya, faktor lingkungan pergaulan atau temannya, dan faktor masyarakat setempat.
Bagi saya, pendidikan orang tua atau keluarga memiliki peran penting dalam pembentukan karakter seorang anak, suami, istri dan lain-lainnya. Prilaku anak kecil sering menirukan prilaku orangtuanya, baik gerak-gerik dan tutur katanya. Dan saya sering menemui beberapa teman bangga dengan ke-aku-annya, menceritakan kekayaan orangtuanya dan selalu tak mau merendah di antara teman-temannya. Yang lebih fatal lagi melakukan kebohongan untuk menutupi kekurangannya dengan alasan malu dengan kondisi sebenarnya. Sebenarnya tak masalah menceritakan tentang keluarganya, dengan tujuan supaya terjalinnya silaturahmi yang baik antara kita.
Biasanya orang yang kata “aku” diabadikan di hati, lambat-laun akan menyiksa dirinya sendiri dan menghancurkan kehidupan orang lain atau orang sekitar kita. Artinya terkadang kita tak mampu menyeimbangkan hidup antara akal-hati, karena orang yang mampu menyeimbangkan hidup akan mendapatkan kesejatian hidup (CN). Ia pun harus mencari strategi atau cara apa lagi untuk menonjolkan aku atau kebohongan apa lagi yang akan dilancarkan.
Ketika terjadi musibah atau ujian dari Tuhan menimpa hidupnya, ia memberontak dan mengatakan “aku sudah berbuat baik”, apalagi yang harus aku lakukan? Bukannya sebuah kesadaran diri yang muncul, namun sebuah pembangkangan dan kekeh (kokoh) apa maunya sang kegelapan. Siapa pun berhak untuk berbagi dan minta nasihat atau saran baik pada teman atau orang yang kita percayai, tapi kalau tak memiliki kesadaran diri akan kesulitan menemukan cahaya Tuhan. Tapi tempat curhat yang sejati dan pendengar yang setia atau tak bosan-bosannya adalah sang pemilik hati (Allah SWT).
Ada beberapa tawaran untuk membuat hati yang beku dan tak tersentuh kesadaran diri, coba kita ajak menjelajah ke orang-orang yang ditimpa ujian atau musibah yang sangat berat, tapi ia mensyukuri sebagai kenikmatan dan ikhlas dalam menghadapinya. Atau ke panti-panti asuhan, panti jompo, penjara dan rumah sakit serta kuburan, siapa tahu akan sedikit terbuka hatinya dan kekosongan ruhani akan terisi kejernihan hati dan kepekaan sosial.
Mb SRI
(Selasa, 02 Agustus 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar