“Hindari diri melangkah menuju titik kedalaman yang dangkal”
Himpunan Mahasiswa Islam-Majelis Penyelamat Organsasi (HMI-MPO) merupakan organisasi yang dapat dikenali dengan empat komponen yang melekat padanya. Keempat komponen tersebut adalah bahwa seorang anggota HMI sebagai mahasiwa, anggota HMI sebagai pemuda, anggota HMI sebagai warga negara, dan seorang anggota HMI sebagai muslim (Moerdiono, 1990: 24). Singkatnya HMI merupakan organisasi sosial kemasyarakatan, bukan organisasi sosial politik (partai politik).
Politik bukanlah orientasi dari berdirinya HMI, terutama HMI-MPO. Lahirnya HMI-MPO, sebagai pecahan dari HMI Dipo, memiliki tiga tujuan yaitu; membentuk insan ulul albab, mempertahankan akidah dan identitas Islam, dan ikut mewujudkan masyarakat Islam baldah tayyibah (Karim, 1997: 134). Namun demikian, sekalipun HMI-MPO tidak berorientasi pada kekuasaan (politik), bukan berarti HMI tidak bersinggungan dengan kekuasaan. Dalam sejarahnya, persinggungan HMI, baik itu sebelum dan sesudah pecahnya, dengan kekuasaan selalu mewarnai dinamika politik Indonesia. Kita tentu dapat membaca bagaimana peranan HMI dalam peralihan rezim tahun 60-an, dari Orde Lama ke Orde Baru. Begitu pun juga hubungan HMI ketika pemerintah menetapkan asas tunggal Pancasila, yang berakibat pada pecahnya HMI menjadi dua, yaitu HMI-MPO dan HMI Dipo. Ini cukup kiranya menjadi bukti bahwa HMI selalu bersentuhan dengan kekuasaan.
Tulisan sederhana ini akan melihat karakteristik serta memetakan gerakan HMI-MPO yang bersinggungan dengan kekuasaan sebelum reformasi dan sesudah reformasi.
HMI-MPO Sebelum Reformasi
Rusli Karim di dalam bukunya, “HMI-MPO Dalam Kemelut Organisasi Politik Indonesia”, melihat bahwa masa tiga tahun lahirnya HMI-MPO (pasca pecah), ia betul-betul merupakan organisasi gerakan radikal bawah tanah. Kader-kader HMI-MPO sangat teguh memegang prinsip ajaran Islam dan tidak mau berkompromi dengan siapa pun. Hal ini membuat gerakan HMI-MPO sangat tertutup dan ekslusif. Bahkan Usman Tampubolon melihat HMI-MPO sebagai organisasi fundamentalis (Karim, 1997: 139-141).
Sikap politik HMI-MPO yang radikal tersebut tentu karena ia lahir dan berhadapan dengan rezim yang terus menekannya. Bahkan HMI-MPO dilihat sebagai salah satu ancaman dari rezim Orde Baru pada saat itu, hanya karena ia menolak asas tunggal Pancasila. Rusli Karim juga menjelaskan di dalam bukunya bahwa HMI MPO pada saat itu berani memutus hubungan dengan alumni-alumninya yang dilihat memiliki hubungan kedekatan dengan pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa HMO-MPO sebelum reformasi sangat anti dengan pemerintah. Gerakannya sangat radikal. Radikalisme gerakan HMI-MPO ini berlangsung lebih dari sepuluh tahun lamanya, sampai rezim Orde Baru runtuh dari puncak kejayaannya, yang menjadi pembuka pintu masuknya Indonesia ke era yang baru, era reformasi.
HMI-MPO di Era Reformasi
Setelah Indonesia memasuki era reformasi, karakteristik gerakan HMI-MPO juga berlahan-lahan berubah. HMI-MPO tidak lagi menjadi organisasi bawah tanah yang selalu diincar oleh pemerintah. Situasi ini membuat gerakan HMI mulai akomodatif. Kader-kader HMI-MPO, misalnya, sudah mulai banyak yang masuk menjadi bagian dari pemerintahan, ada yang menjadi anggota partai politik kemudian menjadi anggota Dewan. Ada yang masuk dalam jajaran pemerintahan, baik itu daerah maupun pusat. Situasi ini tentu ‘mengikat’ HMI-MPO untuk bersikap akomodatif dengan pemerintah. Juga ia sudah tidak punya alasan untuk menjauh dan membenci pemerintah, sebab pemerintah tidak lagi membenci dan menjadikan HMI sebagai organisasi bawah tanah.
Pergeseran arah dan karakteristik gerakan HMI ini semakin nampak dalam Kongres HMI-MPO, di Yogyakarta, tahun 2009 lalu yang dibuka oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, dan ditutup oleh Jusuf Kalla, yang masih menjadi Wakil Presiden pada waktu itu. Dan dalam kepengurusan Pengurus Besar (PB) HMI-MPO periode 2009-2011 terdengar ke banyak kader-kader HMI-MPO adanya bantuan dana dari Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Alfian Mallarangeng, dalam jumlah yang cukup besar, mencapai angka satu milyar (1 M). Ini menunjukkan bahwa HMI-MPO sedang membangun kemesraan hubungan dengan pemerintah. Tentu saja itu tidak salah, tetapi sepertinya HMI-MPO harus lebih hati-hati dalam membangun hubungan dengan pemerintah. Perlu dicatat baik-baik apa yang dikatakan oleh Goenawan Muhammad bahwa perlawanan melawan kekuasaan adalah perlawanan melawan lupa.
Sebagai kader HMI-MPO, penulis memiliki kekhawatiran jika HMI-MPO terlalu mesra dengan kekuasaan dan gagal melawan lupa, maka HMI akan kehilangan karakter gerakan. Dari gerakan yang radikal, yang kemudian menjadi akomodatif, dan pada akhirnya pergeseran tersebut berujung pada gerakan tanpa karakter. Akhirnya kita kehilangan identitas gerakan, dan yang membedakan kita dengan organisasi gerakan yang lain hanyalah pada warna bendera semata.
Sebagai penutup, dalam kongres HMI-MPO kali ini, seharusnya menjadi momentum untuk melahirkan gagasan besar kebangsaan dan keislaman. Bukan sebagai ajang perebutan kursi kekuasaan dan saling menjatuhkan semata yang itu akan membuat HMI tidak punya waktu untuk melahirkan gagasan-gagsan besar. sehingga, pada akhirnya pengurus PB HMI ke depan hanya akan terjebak dan sibuk menyelesaikan masalah, membahas program kerja, dan agenda-agenda lainnya. Di mana dalam hemat penulis, kesibukan mengurus program kerja, membahas agenda-agenda harian adalah sebuah agenda kecil, yang terkadang menguras waktu, membuat HMI tidak lagi punya waktu dalam merumuskan dan membahas agenda besar tadi. Pada titik ini, jika itu benar adanya, HMI telah gagal sebagai gerakan intelektual. Oleh karena itu, sebagai kader HMI, mari kita mencegah HMI untuk tidak melangkah menuju titik kedalaman yang dangkal.
Ahmad Sahide
Kader HMI Fisipol
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Yogyakarta, 9 Juni 2011
Kepustakaan
Karim, M. Rusli. HMI-MPO Dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia. Bandung: Mizan, 1997.
Moerdiono, dkk. HMI Menjawab Tantangan Zaman. Jakarta: Penerbit P.T. Gunung Kelabu, 1990.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar