Selasa, 27 September 2011

Obama dan Komitmen Yahudinya


Presiden Amerika Serikat (AS) ke-44, Barack Obama, sangat dielu-elukan menjelang dan sesudah pemilihan presiden di negara Paman Sam tersebut tahun 2008 lalu. Slogan kampanye Obama yang mengantarkannya ke Gedung Putih adalah Change, Yes We Can. Makna dari slogan ini adalah Obama akan membawa angin segar dari politik Amerika Serikat sebagai negara pemimpin dunia. Rakyat Amerika dan dunia internasional mempercayai bahwa Obama bisa melakukan perubahan tersebut (Yes We Can). Harapan besar dunia Internasional terhadap sosok Obama adalah untuk menyelesaikan konflik di Timur Tengah, konflik Arab-Israel. Konflik yang tidak mampu diselesaikan oleh pemimpin-pemimpin AS sebelumnya karena keberpihakannya terhadap Israel. Kekuatan loby kelompok Yahudi (AIPAC) di AS sudah menjadi rahasia umum, yang terkadang ‘menyandera’ kebijakan politik luar negeri AS. 
Setelah Obama mendiami Gedung Putih kurang lebih satu tahun lamanya, dunia mulai meragukan komitmen Obama dalam menyelesaikan konflik Arab-Israel. Obama dilihat kurang lebih sama dengan pemimpin-pemimpin AS sebelumnya. Dina Y. Sulaeman, mahasiswa magister Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran Bandung, menulis buku dengan judul, “Obama Revealed, Realitas di Balik Pencitraan” (2010). Dina Y. Sulaeman, di dalam bukunya, memberikan gambaran ‘ketersanderaan’ Obama dari kaum Zionis Israel. Sulaeman juga banyak mengutip potongan-potongan pidato Obama akan komitmennya terhadap kelompok Yahudi dan Israel. Salah satu potongan pidato Obama yang di dalamnya adalah “Amerika berkomitmen pada keamanan Israel. Dan kita akan selalu mendukung hak Israel untuk membela dirinya di hadapan ancaman yang nyata”. 
Ruslani, bersama Toto Suparto, juga menulis buku “Obama di Balik Aksi Yahudi”. Mereka juga menggambarkan hubungan Obama dengan kelompok Yahudi di AS. Hubungan keluarganya, tim suksesnya, dan lain-lain mereka gambarkan di dalam bukunya. Singkatnya, komitmen Obama terhadap perdamaian di Timur Tengah dan membawa era baru politik global semu belaka. Oleh karena itu, mereka skeptis akan perdamaian di Timur Tengah di bawah kepemimpinan Obama. 
Namun demikian, berita menegangnya hubungan Gedung Putih dengan Israel baru-baru ini perlu kita berikan catatan tersendiri akan sosok Obama. Panasnya hubungan dua negara tersebut dimulai dari pidato Obama di depan Komite Hubungan Publik Amerika-Israel (AIPAC). Dalam pidatonya, Obama mendesak dan meminta Israel mengakui batas wilayah Palestina sebelum 1997 (Kompas, 24/05/11). Desakan dan permintaan Obama ini direspon oleh PM Israel, Benjamin Netanyahu, dengan bersumpah tidak akan mundur dari wilayah perbatasan, yang menurut istilahnya “tidak dapat dipertahankan. Netanyahu juga ‘mengirim’ pesan kepada Obama agar tidak menekan Israel terlalu jauh (Kompas, 25/05/11).
Pidato Obama ini tidak hanya direspon oleh PM Israel, tetapi beberapa tokoh Yahudi di AS juga reaktif dan menyatakan mempertimbangkan untuk mendukung Obama pada pemilu presiden 2012 nanti. Pada pemilu 2008 lalu, 78 persen kelompok yahudi yang mendukung Obama (Kompas, 23/05/11). Dan bukan rahasia lagi bahwa kelompok Yahudi AS selalu menjadi penyandang dana terbesar bagi setiap calon presiden di Amerika. Ini menunjukkan bahwa peran Yahudi di AS begitu kuat, maka tidak heran jika setiap Presiden AS selalu ‘disandera’ oleh kelompok Yahudi untuk mempertahankan komitmennya terhadap keamanan Israel. 
Obama tentu paham betul bagaimana kekuatan Yahudi di negara yang dipimpinnya. Dan ia juga bisa memprediksi reaksi dari kelompok Yahudi terkait dengan isi pidatonya tersebut. Oleh karena itu, penulis melihat bahwa, dari pidatonya di atas, Obama memiliki komitmen yang kuat untuk mendamaikan Timur Tengah, mendamaikan konflik Arab-Israel yang sudah berlangsung lebih dari setengah abad lamanya. Maka, kesimpulan dari Dina Y. Sulaeman dan Ruslani bersama Toto Suparto sebenarnya, hemat penulis, perlu untuk direvisi. Obama bukan tidak punya komitmen dalam mendamaikan Timur Tengah, ia hanya berhadapan dengan arus besar yang sudah lama mengakar di Gedung Putih. Dan Obama sepertinya sedang melangkah untuk mengikis budaya-budaya ‘ketersanderaan’ oleh Yahudi di Gedung Putih tersebut. Untuk dapat mengubah atau menghapus ‘akar’  Yahudi di gedung yang sedang ia diami, Obama sepertinya butuh waktu. 
Apa yang dilakukan Obama dari periode pertama kepemiminannya di AS memang terlihat masih adanya kehati-hatian untuk berseberangan keras dengan kelompok Yahudi, mengingat Obama masih berkepntingan untuk tetap bisa menduduki gedung Putih 2012 nanti. Namun, paling tidak dirinya sudah membuktikan bahwa ia berbeda dari Presiden-Presiden AS sebelumnya. Itu yang harus kita acungi jempol untuk Obama. Prediksi penulis, bila tahun 2012 Obama terpilih kembali sebagai Presiden AS, maka ia akan jauh lebih keras lagi menekan Israel dalam upayanya menyelesaikan konflik. Hal itu ia lakukan karena Obama tidak punya kepentingan lagi pada 2016 nantinya. Waktulah yang akan membuktikan!
Ahmad Sahide
Yogyakarta, 3 Juni 2011        

1 komentar:

  1. kalau sekarang kanda? gimana pendapatnya? apa obama masih punya komitmen yang sama mengingat berbagai kekacauan yg AS timbulkan di negara2 timteng?

    BalasHapus