Selasa, 27 September 2011

Something Like That

Dan malam ini mendung berbenturan dengan gelapnya bulan. Dingin merambat ke karpet merah, di atas lantai tempat aku duduk dengan sebuah komputer butut. Kemudian aku segera mengubah sejarah hidupku malam ini. Dari seorang Sheila yang biasa, menjadi seorang Sheila yang sedikit peragu. Ragu dengan segala yang berada di depan mata dan mengganggu pemikiran-pemikiranku. Pemikiran yang selalu menemani aku ketika aku membaca, ketika aku bernyanyi, ketika aku menangis, dan ketika aku bercinta dengan kekasihku.
Sebuah retorika yang menggangguku, “Wahai kawanku yang terkasih, hendakkah kau berikan kehormatanmu kepada orang yang belum pasti menjadi pasanganmu?”, sebuah pertanyaan yang meledakkan kagetku dari seorang pembina rekoleksi.

Sumpah, gue kaget Vi”, ceritaku dengan heboh pada Grace.
Kaget? Why?”, tanyanya sambil memegang bahuku.
You know me so well, girl”, jelasku singkat.
About………..”, kalimat yang terpotong.
Yeah, tentang gue yang dah nyerahin semua”, singkat, padat, jelas.
Hmmmh…halah…udah, lupain aja sayang. Lo tau kan, kalo program ini tuh buat cewek-cewek yang bertobat ajah? Hehe”, ia membelai rambutku.
Lo stress? Gimana gue mau ngelupain? Kalo itu bener-bener nancep banget di ati?”, aku sewot.
“Sheila sayang, mau diapain lagi coba? Lo dah terlanjur ML sama dia, lo dah nyerahin semua ke dia. Sekarang lo punya apa? Lo jadi salah satu dari cewek-cewek yang bertobat itu sekarang. Ya gak?”, suara Grace agak meninggi.
“Ya”
“Yang lo butuhin sekarang adalah nenangin diri lo disini, jangan sampe cewek-cewek itu tahu kalo lo sama aja kayak dia orang. Diam dan jalanin aja kegiatan rutin jurusan kita ini dengan sabar. Okay?”, kata-kata yang cukup membuatku tersedak ludah sendiri. Kawanku menyamakanku dengan perempuan lain yang murahan, yang dengan mudah menjual keperawanan demi segenggam cinta. Tapi aku? Ya….memang Grace bener juga sih, gue salah satu dari cewek-cewek murahan itu.

*********

Kemudian pagi lalu lalang dengan suara burung pipit yang memenuhi halaman bangunan bercat biru muda itu. Sebuah tugu bertempelkan salib tak membuat Grace menunda menyalakan hio untuk sembahyang paginya. Kelebat merah batang hio yang dibelinya kemarin siang di pasar mengusik mataku. Amboi….pagi ini nampak warna-warni sekali.
Menghirup udara yang paling segar yang pernah kuhirup, “Bunga matahari kuning, hio merah, langit jingga fajar, daun hijau, dan angin yang masih membawa dingin”, terima kasih Tuhan. Kemudian kuelus perut bawahku dengan perlahan. “Sayang, apa kabar kamu disana?”, sapaku untuk janin dua minggu yang terbaring nyenyak.
Gelagat suster berseragam abu-abu belum menunjukkan kesibukkan di ruang aula utama. Mereka masih berdoa pagi di depan patung Bunda Maria. Seorang perempuan datang dari belakang barisan. Dari arah paviliun dia berjalan, membawa satu buket bunga crysant putih dan kuning di tangan kanannya. Tangan kirinya menggendong satu buket mawar pink. Kemudian dia meraih vas bunga di atas altar yang berisi bunga berwarna coklat, bunga layu. Yah, layu. Seperti aku. Ah! Sudahlah, bodoh menyesali semuanya. Sudah terjadi, sekarang bertobat. Berubah! Harus jadi lebih baik. Amin. Tanda salib itu kubuat perlahan. “Selamat pagi, Tuhan”, senyuman Sr.Felice membuka mataku dari nikmat keheningan puji syukur. Dan perempuan itu mengganti bunga coklat dari vas itu dengan rangkaian dua buket bunga di tangannya.
“Sheila…….”, Suara Nisa membuat aku dan Sr. Felice menengok ke arah pintu kamar berbarengan.
“Hayo Nisa…kamu kesiangan gak tadi sholatnya? Bisa sendiri kan menentukan kiblatnya?”, Sr. Felice membelai rambut panjang Nisa yang selalu dikucir kuda rapi.
“Alhamdulillah sudah suster. Oh iya, untuk nanti, Nisa mungkin akan sering meninggalkan ruangan kelas”, Nisa tersenyum tertahan.
Sr. Felice tersenyum begitu manis, “Tidak apa-apa, tapi tunggu suara adzan ya. Emmm…suara adzan dari sini tidak begitu jelas, sayup-sayup, Nisa yang perhatian ya. Suster gak bisa kasih tahu loh. Hehehe”.
“Okay suster. Oh iya, Grace mana Sheil?”
“Tadi sih lagi sembahyang di depan kamarnya. Tahu ah kalo sekarang. Paling-paling juga di halaman”, jawabku sekenanya. Nisa hanya mengangguk, sambil melongok ke luar jendela.
Materi dimulai, pukul delapan. Aku muntah-muntah di kamar mandi. Perut mual tak tertahankan. Kata tivi-tivi, aku mungkin mengalami yang namanya morning sick-nya ibu hamil. Arrrggh…kenapa harus sekarang? Sr.Brigitta menyuruhku untuk istirahat di kamar. Entah kemudian apa yang aku lakukan di kamar, aku rasa hanya bengong dan memikirkan masa depan anakku saja. Ayahnya si jabang bayi ini sudah kuliah di New South Wales, ibunya masih kuliah. Belom punya duit semua. Kakek neneknya gak mau ngurusin bayi di luar nikah. “Nasibmu, nak…entah”, keluhku pada kamar berdinding putih. 
Nisa keluar masuk kamar. Sholat. Melihatnya menempelkan dahi dan mencium sajadah membuatku tenang. Aneh, tak logis. Tapi..entah, begitu melihat sujud sholatnya aku merasakan suatu perasaan yang aneh. Begitu menenangkan. Terkadang ingin juga ikut sholat. Hahaha, apa kata bayiku nanti? “Ibunya gak konsisten sama agama sendiri, gimana nanti ngurus gue?”, mungkin begitu dia akan menertawakan ibunya ini nanti. Aku tersenyum geli. Nisa yang sudah selesai sholat mengangkat alis kirinya melihatku asyik sendiri dalam lamunan.

“Heh Sheila, ngapain lo? Senyam senyum sendiri pula. Jangan bilang lo stress abis kajian putri kemaren deh”, canda Nisa menepuk pipiku.
“Haha. Stress kenapa pula?”, tanyaku balik sambil mencubit pipi Nisa yang teramat tembem dengan lesung pipinya yang tidak terlalu dalam.
Kali aja lo yang super metal girl ini berniat tobat gitu? Gara-gara ceramah hari pertama rekoleksi putri ini”
Ngaco! Lo kagak materi?”
Ni mau balik kelas. Bye…”, Nisa berlalu.

*********

Dan kemudian malam ternyata datang lagi dengan sedikit gairah bulan. Bulan purnama. Malam penutupan rekoleksi ini dihiasi dengan pesta doa. Ya..pesta doa. Kami berdoa apa saja. Dan tugu balok andesit di depan bangunan dua lantai itu tegak menjadi saksi kami menyanyikan lagu perdamaian bersama. Gandengan tangan yang begitu hangat, menyatu dengan kulit. Suara angin perbukitan tidak terdengar, sejuk teramat hening pula. Malam penutupan, malam terakhir, malam perenungan.

“Malam terakhir ya, Grace”, ujarku menatap mata Grace sedalam yang aku bisa.
“Hehehe, iya sayang. Lo dah siap ngadepin hari berikutnya di dunia liar Sheil?”
Iya, gue yakin”
“Percaya gue ma elo”, Grace semakin erat memelukku. Senyumnya berbalur tangis.
Bisikan kata-kata mozaik pembangkit semangat memenuhi gendang telinga. Sr.Irine yang dengan lembut membiusnya.

Dua bulan pertama semenjak berakhirnya rekoleksi. Mico rajin menghubungi aku. Via telepon, sms, bahkan dia rajin mengajak video call dan web cam. Mico sering meminta aku memperlihatkan perutku padanya. Katanya, ia akan segera pulang tiga bulan kemudian, terhitung sejak hari ini. Dia bilang, mau menemani aku hamil besar hingga aku pulih dari nifas. Mata ini jadi berkaca-kaca.

Dua bulan pertama semenjak berakhirnya rekoleksi. Grace masih rajin sembahyang. Hio yang ia beli tak pernah sampai habis di tempat persediaan. Selalu saja ada banyak. Hampir habis, beli. Siap sedia selalu. Sembahnya selalu menampakkan bahwa ia menaruh harapan besar pada sang esa. Aku ikutan menjadi tim marketing usaha butik sepatu dan tasnya. Grace punya clothingline buat sepatu dan tasnya. Istimewa kan? Namanya Graceias. 

Dua bulan pertama semenjak berakhirnya rekoleksi. Nisa kini berjilbab. Aduh..modis sekali muslimah satu itu, sering ke mall bareng Grace membuatnya sadar mode. Tapi pintar sekali sarjana fashion designer ini. Kalau diperhatikan, pakaian yang ia gunakan sebenarnya itu-itu saja. Tapi kreativitas tiada henti membuatnya bisa dengan mudah mix and match pakaian. Atau yang sering terlihat, dia modifikasi terus pakaiannya. Hingga clothing line Saffa, menjadi merk pakaian muslimah paling dicari perempuan usia 20-35 tahun di kota ini.

“Sheilaaaaa……..how are you beiiiib?”, serentak Grace dan Nisa menyapaku, yang sedang antri di kasir foodcourt Citragarden Mall.







(you may also love this on ulifebriarni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar