Jum’at, 29 Juli 2011, buku antologi puisi kami kembali dibedah di Mini Theater Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Ini adalah yang kedua kalinya dibedah, setelah tanggal 10 Juli lalu dibedah di markas Komunitas Belajar Menulis (KBM). Pada waktu itu hadir sebagai pembedah adalah Eko Prasetyo dan Raudal Tanjung Banua, sastrawan. Diskusi bedah buku ini merupakan bentuk apresiasi kampus, terutama pihak perpustakaan UMY, karena dari sepuluh kontributor buku ini, sembilan di antaranya adalah mahasiswa dan alumni UMY. Tentu dengan harapan bahwa virus-virus ini tertularkan kepada mahasiswa-mahasiswa yang lain di tingkatan UMY. Saya kira ini awal yang baik yang dilakukan oleh pihak kampus.
Dalam acara bedah buku puisi ini, hadir sebagai pembedah adalah Adde Ma’ruf Wirasenjaya, dosen Ilmu Hubungan Internasional UMY, dan Evi Idawati, seorang penyair. Dari diskusi bedah buku puisi ini, saya merasa bahwa ada beberapa hal yang perlu untuk saya catat dan abadikan. Pertama, kehadiran Mba Evi Idawati. Perempuan penyair ini sudah pernah saya lihat tampil membacakan puisi beberapa tahun silam, dan sekitar sebulan yang lalu saya bertemu dan duduk berdampingan dengannya di Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta. Dari kedua pertemuan itu, Mba Evi yang saya lihat langsung tidak memakai jilbab. Tapi kali ini, dalam pertemuan saya kemarin di UMY, Mba Evi Idawati hadir dengan memakai jilbab, sehingga beberapa teman panitia, yang melihatnya dulu di RRI, sempat tidak mengenalnya. Saya juga pada awalnya membayangkn bahwa Mba Evi akan hadir di forum itu dengan kepala tanpa dibalut kain yang orang-orang mengenalnya jilbab.
Kehadiran Mba Evi dengan memakai jilbab itulah yang langsung menghadirkan makna tersendiri dalam benak saya secara pribadi. Makna yang hadir dalam alam pikiranku itu adalah bahwa Mba Evi Idawati adalah seorang penyair yang bisa memposisikan diri di mana dia berada. Ia memakai jilbab bukan karena kebiasaan, tetapi ia memakai jilbab sebagai wujud dari menghargai kultur UMY sebagai salah satu kampus yang bernafaskan Islam. Memang, terkadang kita harus melakukan sesuatu bukan karena pertimbangan halal dan haram, tetapi sebagai bagian dari penghormatan terhadap budaya. Mba Evi dalam hal ini, menurut hemat saya, memakai jilbab bukan karena pertimbangan hala dan haram, tetapi ia menghargai budaya yang terbangun di UMY. Ini satu pelajaran penting yang saya tangkap dari Mba Evi dalam diskusi bedah buku yang berlangsung kemarin.
Catatan lain dari Mba Evi adalah di sela-sela diskusi buku kemarin, dia membacakan puisi. Dan kebetulan puisi itu adalah puisi karangan saya, yang berjudul “Kehampaan”. Tentu ini penilaian yang sangat subjektif, tapi saya kira tidak ada salahnya. Menurut saya puisi saya itu biasa-biasa saja, tetapi ketika Mba Evi membacakan di depan forum, ia terkesan menjadi pusi yang luar biasa. Tentu salah satu faktornya adalah karena cara Mba Evi membacakannya. Tentu sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dia adalah pembaca puisi yang hebat. Karya-karyanya sudah sering saya baca di Kompas, Horison, dan di media-media lainnya.
Kedua, catatan kedua dari diskusi bedah buku puisi kemarin adalah ketika Adde Ma’ruf W. memulai pembicaraannya dengan membacakan puisi yang katanya puisi yang paling ia senangi dari buku, “Kusimpan Kau Dalam Puisi”, yang dibedah kemarin itu. Judul puisi itu adalah “Hitamku”, karya almarhum Arkie Aninditya. Ini menjadi catatan tersendiri bagi saya karena dari sekian banyak respon pembaca yang sampai ke telinga saya, puisi yang berjudul ‘Hitamku” di atas adalah puisi yang paling banyak disukai oleh pembaca. Banyak yang mengatakan bahwa puisi itu maknanya sangat dalam. Dan Adde Ma’ruf W. juga rupanya menganggap bahwa “Hitamku” adalah puisi yang paling ia senangi. Paling tidak ia menambah dan memperkuat legitimasi bahwa puisi itu adalah puisi yang terbaik dari 96 puisi yang ada di dalamnya. Terbaik dari kandungan maknanya. Inilah secuil catatan singkat dari diskusi bedah buku puisi kemarin.
Ahmad Sahide
Yogyakarta, 30 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar