Marzuki Alie, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sekaligus Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, kembali mengeluarkan pernyataan kontroversial yang membuat partai pemenang pemilu ini kembali menjadi bulan-bulanan media. Pernyataan Marzuki Alie yang disorot media adalah ketika melontarkan pernyataan untuk membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan memaafkan para koruptor. Logika Alie sangat sederhana, Tuhan saja maha pemberi maaf, mengapa kita manusia, terutama rakyat Indonesia, tidak memaafkan para koruptor. Saya tidak bisa membayangkan akan seperti apa Indonesia kita, apabila logika Ketua DPR ini digunakan dalam mengurus bangsa. Jika ada tindak pisana korupsi, kriminalitas, dan lain sebagainya, penyelesaiannya sederhana, saling memaafkan. Selesailah segala perkara Lalu hukum positif kita apa artinya?
Adanya pemberitaan bahwa pernyataan kontroversial Alie di atas tidak sejalan dengan etika politik Partai Demokrat tentang berpolitik secara cerdas (Kompas, 2/08/11) sebenarnya sindiran halus yang mengatakan bahwa Marzuki Alie adalah anggota Partai Demokrat, yang diangkat menjadi ketua DPR, yang tidak cerdas. Pernyataan Marzuki Alie tersebut dapat dilihat dengan beberapa kecurigaan-kecurigaan. Pertama, Partai Demokrat melakukan penyerangan balik terhadap KPK yang kini sedang mengusut kasus korupsi yang melibatkan mantan Bendahara Umumnya, M. Nazaruddin, yang juga menyeret Ketua Umumnya, Anas urbaningrum. Artinya bahwa ada ‘grand design’ di balik pernyataan kontroversial tersebut. Sebagaimana dikatakan oleh Baharuddin Tonti, bahwa dirinya tidak yakin Marzuki Alie bicara tanpa pengetahuan ketua (Kompas, 1/01/11).
Kedua, Demokrat yang diwakili oleh Alie sadar bahwa banyak kadernya yang terlibat dalam kasus korupsi. Saya kira rakyat Indonesia belum lupa kasus Bank Century yang diduga kuat melibatkan Ketua Dewan Pembinanya, Susilo Bambang Yudoyono. Kini Andi Nurpati juga sedang bermasalah terkait dengan kasus pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi (MK), tentu dalam kasus ini juga ada permainan uang. Maka, semua kasus-kasus yang menimpa Demokrat hanya bisa diselesaikan dengan memaafkan. Artinya bahwa Marzuki Alie meminta rakyat Indonesia memaafkan perilaku korupsi yang dilakukan beramai-ramai oleh partainya. Berharap ada ‘pemutihan’.
Kultur Politik
Selain dari kecurigaan-kecurigaan di atas, ada hal yang menarik dicermati dari pernyataan Marzuki Alie yang berniat untuk cuti dari dunia politik, lalu pulang kampung, kemudian menjadi guru setelah dirinya selesai menjabat sebagai Ketua DPR, karena menyadari dirinya tidak cocok menjadi politisi (Kompas, 2/08/11). Sebagai pemerhati dunia politik, Alie sepertinya mendapatkan tekanan dari internal partainya dengan pernyataan kontroversialnya di atas. Dan ia sebenarnya sudah beberapa kali mengeluarkan pernyataan yang kontroversial. Ada kemungkinan Alie dianggap telah merugikan partai, lalu ia menyatakan niatnya tersebut.
Niat untuk cuti dari dunia politik bagi Alie tersirat kepasrahan dari dirinya dan memperlihatkan kepada publik kultur politik dari Partai Demokrat. Marzuki Alie dikecam publik karena statemennya, dan sepertinya Demokrat menyalahkan dirinya sebab statemen yang kontroversial itu merugikan partai. Partai Demokrat tidak berani tampil membela kadernya, termasuk Marzuki Alie, sekalipun salah, karena takut akan kehilangan pemilihnya pada pemilu mendatang. Alie lalu dikorbankan karena kesalahannya, dan itu lebih baik (bagi Demokrat) dari pada membelanya. Kira-kira seperti ini logika politik yang dibangun oleh Demokrat.
Dari kasus M. Nazaruddi, Marzuki Alie, terlihat dengan jelas bahwa kultur politik Demokrat adalah ‘habis manis sepah dibuang’. Jasa-jasa yang pernah diperbuat oleh mereka harus dilupakan demi menjaga citra partai. Dan bukan hal yang tidak mungkin bahwa Andi Nurpati juga akan ‘dibuang’ nantinya oleh Demokrat jika setelah melakukan kalkulasi politik akan merugikan partai, sekalipun mungkin Andi Nurpati punya jasa besar mengantarkan Demokrat sebagai pemenang pemilu 2009 lalu ketika waktu itu Andi Nurpati sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Partai Demokrat harusnya, mulai saat ini, merefleksi diri bahwa kultur politik ‘habis manis sepah dibuang’ yang dibangunnya hanya akan merugikan masa depan partai. Kultur politik seperti ini akan membuat ‘gurita kebusukan’ itu akan menyerang balik yang sulit untuk diantisipasi. M. Nazaruddin sepertinya melakukan itu, dan Marzuki Ali dan Andi Nurpati tidak menutup kemungkinan melakukannya jika Demokrat takut mengambil resiko untuk membela kadernya, meskipun salah. Kita tunggu tanggal mainnya!
Ahmad Sahide
Yogyakarta, 5 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar