Kamis, 14 Juli 2011

TKI DILINDUNGI ATAU PEMERINTAH BERLINDUNG ?

Kata-kata berbisa
Mulut-mulut berbisa
Janji-janji bertebaran
Seperti biasa dari atas panggung atas nama bangsa
Yang mendengar terpesona
Bahkan ada yang terkesima
Akupun tergoda untuk mengikuti apa yang terjadi
Apakah memang janji hanya janji
Buktikan…buktikan…itu yang dinanti-nanti
Buktikan…buktikan…kalau hanya omongan burung beo pun bisa..

Syair lagu yang didendangkan oleh sang legenda Iwan Fals mampu memberikan kritik  keras atas pidato Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tanggal 14 Juni 2011 dihadapan para peserta Konfrensi International Labour Organization (ILO), Jenewa, Swiss. ILO memberikan kesempatan kepada Presiden Republik Indonesia SBY karena Indonesia merupakan salah satu negara yang berhasil meratifikasi Undang-Undang Buruh Migran, pada saat itu juga pidato Presiden Republik Indonesia disambut standing applause karena Presiden SBY mengatakan bahwa di Indonesia memiliki mekanisme perlindungan terhadap Pembantu Rumah Tangga (PRT) migrant Indonesia sudah berjalan, tersedia institusi dan regulasinya.

Tentu saja pidato Presiden itu menyejukkan hati dan menjanjikan sehingga disambut dengan tepuk tangan gegap gempita. Akan tetapi apa yang terjadi, buaian pidato tersebut tiba-tiba lenyap seketika ditelan bumi ketika tersebar kabar keseluruh penjuru nusantara dan dunia bahwa ada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Ruyati binti Satubi (54) asal kampung Ceger, Sukatani, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat yang bekerja sebagai PRT di Arab Saudi dihukum mati dengan cara dipancung oleh Pengadilan Arab Saudi dan pemerintah Indonesia tidak mengetahui hal itu. Tragedi Ruyati semakin mempertegas fakta bahwa perlindungan buruh migrant/TKI hanya manis dalam pidato dan hanya pemanis di tengah-tengah upaya membangun politik pencitraan SBY di mata dunia.
 
Tragedi TKI kembali terulang dan setiap kali terjadi pemerintah terlihat  kurang tanggap terhadap masalah yang terjadi, jika harus memutar kembali jejak rekam tragedi TKI di luar negeri, pemerintah Indonesia selalu terlihat gagap atau bahkan tidak mampu belajar dari pengalaman yang ada, paling tragis adalah, ketika TKI sudah mengalami cedara atau kepalanya sudah terluka, bibirnya sudah dijahit dan punggungnya sudah disterika atau sudah menjadi jenazah baru pemerintah bergerak, ada yang mengunjunginya di luar negeri atau bahkan mengirim ucapan keprihatinan atau bela sungkawa melalui staff yang dipercaya untuk menyampaikannya kepada keluarga atau kepada masyarakat umum lewat konfrensi pers, hal ini merupakan wujud tanggung jawab moril dari pemerintah. Apakah itu yang diinginkan oleh para TKI di luar negeri? Tentu saja tidak, mencari dan mengenali akar permasalahan yang terjadi harus disegerakan oleh pemerintah guna mencari problem solving-nya, namun jika hal tersebut tidak dilakukan juga, maka wajar jika masyarakat akan terus bertanya-tanya, sebenarnya apa yang terjadi dan bagaimana upaya apa pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada TKI di luar negeri ?


TKI dilindungi ?

Memang ada benarnya isi pidato yang disampaikan oleh Presiden SBY, bahwa di Indonesia mekanisme perlindungan terhadap Pembantu Rumah Tangga (PRT) Indonesia sudah berjalan, tersedia institusi dan regulasinya. Tentunya hal tesebut dibuktikan oleh pemerintah  dengan adanya Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (UU PPRKILN), serta telah membentuk Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang merupakan amanah dari UUPPTKILN.

Khusus TKI di sektor PRT, memang memiliki tingkat eksploitasi, penyiksaan dan pelecehan seksual yang tinggi, hal ini dikarenakan kondisi tempat bekerja TKI berada di dalam rumah tangga yang tertutup dan terbatas akses informasinya. Kondisi demikian ini memungkinkan terciptanya berbagai kondisi kerja yang kurang baik, bagaimana tidak, jika sedikit saja TKI melakukan kesalahan, sudah barang tentu akan mendapat hukuman dari paling ringan hingga mendapat perlakuan penyiksaaan yang berakibat luka ataupun terbunuhnya TKI. Kemudian TKI tidak mampu berbuat banyak, dikarenakan tidak memiliki kemampuan untuk  mengakses informasi keluar, upaya yang dapat dilakukan oleh TKI adalah melompat dari lantai atas gedung atau berusaha kabur, namun jika hal tersebut diketahui oleh sang majikan, bukannya diajak berunding oleh sang majikan, namun siksaan yang lebih menyedihkan akan dihadiahkan sang majikan kepada TKI.

Permasalahan yang dialami Ruyati binti Satubi (54) seharusnya mampu diantisipasi dengan baik, pemerintah yang dalam hal ini diwakilkan oleh Kedutaan Besarnya (Kedubes) di Arab Saudi melaksanakan Tugas, Tanggung Jawab, dan Kewajiban Pemerintah : menjamin terpenuhinya hak-hak calon TKI/TKI, baik yang berangkat melalui pelaksana penempatan TKI, maupun yang berangkat secara mandiri; mengawasi pelaksanaan penempatan TKI di Luar Negeri; melaksanakan upaya diplomatik untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan TKI secara optimal di negara tujuan; dan, memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan. Tugas-tugas ini telah diamanahkan oleh pasal 7 UUPPTKILN.
Upaya monitoring dan upaya diplomatik sebenarnya memegang peranan penting dalam proses perlindungan TKI di Luar Negeri, mengingat bahwa semua prosedur penempatan TKI di luar negeri membutuhkan proses diplomasi yang sistematis dan terstruktur, bagaimana tidak, jika diplomasi dijalankan dengan baik maka akan segera didapatkan titik temu proses penempatan TKI yang berbasis pada rasa saling menghormati antar pemerintah, kemudian hal ini akan mendorong terciptanya proses pengawasan yang berbasis pada tradisi menjaga martabat bangsa. Tradisi itu adalah bagian intelektualitas para diplomat dalam menyampaikan bahwa masing-masing negara memiliki kesamaan persepsi mengenai konsep integritas bangsa.

Khusus untuk masalah yang dihadapi oleh Ruyati binti Satubi (54), pemerintah tidak menjalankan proses monitoring terhadap keberadaan TKI, memonitoring keberdaan TKI dengan melakukan pendataan, semisal : TKI bekerja di keluarga siapa, dimana lokasi TKI bekerja, memberitahukan nomor yang dapat diakses, dan alamat yang dapat dituju jika TKI mengalami atau mendapat permasalahan, jika monitoring mampu dilakukan dengan baik maka akan memudahkan proses pengawasannya.

Selanjutnya, apabila fungsi monitoring berjalan dengan baik, maka proses advokasi-pun atau pemberian bantuan hukum akan berjalan dengan baik, seperti yang diamanahkan pasal 80 UUPPTKILN, hasil Konfrensi Dunia Kedua Pemberantasan Rasisme dan Diskriminasi Rasial 1983, dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, namun hal ini berbanding terbalik, ketika Ruyati binti Satubi (54) dihukum pancung yang berawal dari dituduh membunuh majikan perempuan bernama Khairiya Hamid binti Mijlid dengan pisau dapur, pemerintah tidak tampil sebagai penyelamat.

Ruyati binti Satubi (54) diadili pertama kali pada bulan Mei 2010 di pengadilan dengan hukuman qisas atau setimpal dengan perbuatannya. Misal, membunuh dijatuhi hukuman dibunuh, kemudian ketika bulan Mei 2011 Ruyati binti Satubi (54) diadili lagi dan dijatuhi hukuman qisas, tidak ada satu-pun pihak dari pemerintah yang membantu atau mengadvokasi kasus tersebut, yang paling memalukan adalah keterlambatan pemerintah mengetahui permasalahan ini, dengan begitu tragedi ini adalah cerminan bahwa TKI tidak dilindungi oleh pemerintah.

Nasi sudah menjadi bubur, Ruyati binti Satubi (54) sudah tinggal nama dan menjadi pahlawan tanpa tanda jasa bagi kemajuan pembangunan Negara Indonesia, tidak ada monitoring, tidak ada advokasi dan tidak ada kepastian kapan jenazahnya akan dikebumikan dengan nisan, bunga-bunga dan doa-doa dari yang mencintainya. Harapan keluarga dan masyarakat Indonesia atas tragedi yang menimpa Ruyati binti Satubi (54), pemerintah harus menjalankan amanah pasal 7 UUPPTKILN, 80 UUPPTKILN, hasil Konfrensi Dunia Kedua Pemberantasan Rasisme dan Diskriminasi Rasial 1983, dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.

Pemerintah berlindung ?
 
Tragedi TKI kembali terulang dipertengahan tahun 2011, kali ini tragedi itu semakin menambah catatan merah bagi pemerintah, konsep perlindungan TKI yang telah diamanahkan oleh undang-undang ataupun hasil konfrensi dunia serta dirumuskan oleh para ahli ternyata dibuat tak berdaya ketika diaplikasikan. Khusus untuk tragedi yang menimpa Ruyati binti Satubi (54) dan tragedi-tragedi TKI lainnya pada umumnya, pemerintah bak pemadam kebakaran yang datang setelah api membakar dan menghasukan sebuah rumah, seharusnya langkah preventif diupayakan dengan masksimal melalui langkah-langkah strategis dalam menjalankan konsep perlindungan terhadap TKI, belum lagi perbuatan pemerintah yang kerap saling melempar tanggung jawab, lain hal jika berbicara mengenai siapa yang paling berwenang, maka yang terjadi adalah berebut wewenang dan mengklaim bahwa institusinya yang paling berwenang.
 
Perilaku-perilaku saling lempar tanggung jawab tidak pernah hilang dan bahkan terkesan sudah menjadi tradisi yang dibudayakan oleh pemerintah dalam merespon setiap permasalahan-permasalahan. Selain itu juga, masyarakat Indonesia selalu disajikan hidangan khas pemerintah, seperti : ungkapan keperihatinan atau ucapan bela sungkawa melalui konfrensi pers, mengunjungi korban, mengunjungi keluarga korban, mengirim karangan bunga, dan keterbatasan perajurit di lapangan-pun tak ketinggalan menjadi alasan pemerintah.
 
Khusus perilaku pemerintah yang senantiasa menyampaikan ucapan keperihatinan dan ucapan bela sungkawa, memang benar itu adalah tradisi dari budaya timur yang tumbuh dan berkembang di negara Indonesia, namun jika hal tersebut tetap dilestarikan akan menimbulkan pandangan negatif dari masyarakat, yakni pandangan bahwa pemerintah selalu gagah dan tidak malu menggunakannya jika sedang menghadapi permasalahan yang terjadi, khususnya tragedi TKI, pemerintah selalu  berlindung pada topeng rasa keperihatinan dan bela sungkawa dibalik ketidakmampuan dalam mengantisipasi permasalahan yang terjadi.
    
Akankah budaya itu tetap dipertahankan? Pertanyaan kritis yang sungguh menohok bila langsung ditanyakan kepada pemerintah, jika tetap dipertahankan dan pemerintah selalu tidak memiliki konsep teknis perlindungan TKI yang matang, sudah barang tentu keinginan masyarakat untuk meminta mundur pemangku jabatan akan terjadi, masyarakat melihat bahwa insitusi pemerintah yang paling bertanggung jawab adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Luar Negeri dan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindinguna Tenga Kerja Indonesia (BNP2TKI).
    
Keinginan masyarakat tersebut tidak serta merta muncul dengan sendirinya, namun didasarkan pada, pertama, masyarakat melihat ketidakmampuan pemerintah dalam mengantisipasi tragedi TKI yang terjadi, tiga institusi pemerintah tidak mampu mengambil langkah preventif guna menanggulanginya, kedua masyarakat akan menilai dari terulangnya tragedi yang menimpa TKI, ketiga khusus untuk tragedi Ruyati binti Satubi (54), lagi-lagi ucapan keperihatinan dan ucapan bela sungkawa yang dihadirkan di tengah-tengah keluarga korban menangisi kepergian orang yang dicintai.
    
Memang bukan tradisi di Indonesia ada seorang menteri yang mundur dari jabatan dengan alasan bijaksana, bahwa menteri yang bersangkutan tidak mampu menjalankan tugas dengan baik, namun alangkah bijak jika budaya tersebut dimulai dari sekarang dan membudayakan rasa malu jika hanya mampu berucap keperihatinan dan bela sungkawa, sehingga kedepannya tidak akan menanggung malu bilamana masalah terulang kembali.

Terkahir, ada benarnya syair lagu yang dinyanyikan oleh Iwan Fals guna mengkritisi kinerja pemerintah dalam melindungi TKI, oleh sebab itu jika pemerintah tidak menginginkan masyarakat menyamakan dengan syair lagu tersebut, pemerintah khususnya para menteri dan kepala badan yang bertanggung jawab penuh atas program penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, harus berani mengambil langkah progresif dan responsif atas permasalaha-permasalahan yang dihadapi TKI, kemudian mulai dari detik ini juga mengikrarkan dalam hati akan menjalankan amanah jabatan dengan baik dan apabila dikemudian hari muncul permasalahan yang  sama, siap untuk mengundurkan diri dari jabatan, serta menjaga integritas bangsa, dan tidak selalu berlindung dengan topeng keprihatinan dan bela sungkawa.
 
Marhendra Handoko, SHI
KBM
         Yogyakarta, 24 Juni 2011   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar