Kamis, 14 Juli 2011

MENCURI PINTU-PINTU TUHAN

Ketika semua orang sibuk kampanye tentang pencitraan diri, kekuasaan dan kehormatan semu, popularitas, maka, timbullah problematika sosial yang akan menggerogoti sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Mungkin ada sebagian orang, yang memandang prilaku dan perbuatan di atas merupakan hal yang biasa (lumrah) dilakukan oleh para pemimpin kita. Tetapi sadar atau tidak, hal itu membuat kita terjebak pada perbuatan yang tak sepatutnya kita lakukan. Misalnya, kita menerjang rambu-rambu norma agama, adat-istiadat dan fitnah-memfitnah demi menyelamatkan diri menjadi tuntunan.

Tentu masih segar dalam ingatan kita, hampir semua media cetak dan elektronik, menyuguhkan berita tentang Siami dan Alif yang komitmen pada kejujuran dan berani melewati arus. Masalah terjadi, ketika mereka melaporkan kecurangan yang dilakukan secara berjamaah di sekolah SDN Gandel II Surabaya, baik oleh guru dan orang tua murid terkait contek massal ujian nasional. Bukannya kesadaran yang merasuk ke hati mereka, tetapi kemarahan yang diluapkan dengan berdemo dan pengusiran keluarga Siami oleh penduduk setempat. Sangat ironis melihat kondisi tersebut, namun apakah kita akan terus mengeluh, mengumpat dan terdiam tanpa berbuat sesuatu untuk mencuri pintu-pintu Tuhan kembali?


Jauh sebelum para ilmuwan dan cendekiawan, baik dari kalangan Muslim atau pun non-muslim, membicarakan tentang kejujuran sebagai pilar dan pondasi kesejahteraan, dan keberhasilan suatu negeri. Rosul SAW, sudah mencontohkan dan mengaplikasikannya terlebih dulu dalam hidup rumah tangganya, pergaulannya baik dengan para sahabat dan musuhnya. Rosul SAW, sering dititipi dagangan oleh para kabilah Arab, mereka percaya dan yakin bahwa beliau merupakan orang yang sangat dipercaya dalam memegang amanah. Hal itu, membuat Rosul SAW diberi gelar tertinggi dan tak satu pun universitas di dunia (baik dari dulu-sekarang), tak sanggup atau tidak berani memberikan gelar “Al-Amin” (jujur).
Teladan yang dicontohkan Rosul SAW tentang kejujuran, menyebar ke orang-orang yang membuka pintu hatinya untuk menuju pintu-Nya. Seandainya, pemimpin kita sadar betapa dahsyatnya kata “jujur” dan menyimpannya dalam muara hati. Akan berkuranglah prilaku amoral, budaya korupsi yang berjamaah oleh wakil rakyat, birokrat, dan rakyat sedikit demi sedikit dapat dibendung. Saya mencoba mengingatkan kembali, tentang salah satu perbuatan Umar Bin Khotob, yang menjelajahi kota, dusun, di waktu malam tanpa pengawal. Tujuannya adalah untuk menyelidiki dan mengetahui kondisi kehidupan rakyatnya. Kemudian, saat berpidato di hadapan rakyatnya berkata “saudara-saudara, bila aku menyeleweng, apa yang akan kalian lakukan? Salah satu dari mereka berdiri dan berkata “kami akan memancungmu”. Beranikah anda mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan itu padaku? Ya berani. Umar, sangat senang dan bersyukur melihat kejujuran dan integritas rakyatnya, karena jika melakukan suatu kesalahan akan ada yang memperbaiki. Sehingga, Muhammad Iqbal menulis syair untuk Umar Bin Khotob “seperti embun yang mendinginkan hati bunga lily, dan bagaikan topan yang menggelegakkan dalamnya sungai”. Pada zamannya, berbagai Negara ia taklukkan, kekayaan raja-raja Parsi dan Romawi menumpuk ditangannya, tapi ia menahan nafsunya, ia bagikan untuk rakyat dan tentaranya. Ia hidup sangat sederhana bahkan ia hanya memakai pakaian yang ditambal dari kulit hewan. Umar melakukan semua itu, karena contoh yang ia lihat dari kekasih Allah SWT dan cintanya pada Allah SWT.

Keruwetan, kekacauan dan kebohongan yang sering dipertontonkan sedang melanda negeri tercinta kita. Putus asa, acuh tak acuh dan budaya pembiaran pun berlaku dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Reformasi yang kita rebut dan harapkan akan terjadi perubahan sosial, dan peradaban humanis yang berlandaskan tauhid. Ternyata mengalami kebuntuan bahkan sedikit sekali solusi menuju Negara kesejahteraan dan kedaulatan rakyat. Sekarang “zaman edan” atau “kolo bendu”, yang penuh kegelapan sebagaimana yang digambarkan pujangga Ronggowarsito. Masjid dan gereja dibom, rel kereta dibakar, hotel dibom, teror-meneror antar politikus, kekerasan, kebohongan dilakukan oleh pemerintah dan rakyatnya. Kita memang tak segawat Libya, Yaman, Suriah, Irlandia, dan Afghanistan. Tetapi, Tanah air kita juga tetap tak stabil.

Entah apa yang sedang dipikirkan oleh para pemimpin kita, mereka sebenarnya mengerti dan tahu persoalan yang membelit rakyatnya. Tetapi, mata dan telinga mereka telah tersumpal kekuasaan dan gila hormat. Kata Cak Nun, Indonesia ibarat rakyat tanpa Negara. Oleh karena itu, agamawan harus mempelopori dan menegakkan moral supaya orang beragama secara benar. Mengandalkan pemimpin kita mustahil dan ibarat mengambil jarum di laut. Sebenarnya permasalahan mampu diatasi, kalau kejujuran tertanam dan tumbuh dir uh. Karena kejujuran merupakan bagian menumbuhkan kepercayaan pada semua kalangan. Hal itu, akan merambah pulihnya ekonomi, politik, social dan lain-lain.

Menurut WS.Rendra, budaya dan seni sebagai agen konservasi mampu menimbulkan kontemplasi yang memungkinkan seseorang memiliki kesadaran diri. Di mana ada efek pencerahan dan pengayaan yang mendalam, semacam ajang refleksi. Misalnya membuat dan membaca sajak. Seharusnya ketika kita bertindak dalam semua ranah kehidupan harus Islami. Yang beragama non-muslim juga harus berlandaskan agamanya. Sekarang, orang Islam dalam menjalankan berbagai macam kehidupan secara kafir, seperti tidak ada surat Al-Maidah berbicara masalah keadilan dan An-Nuur, At-Thaha (kejujuran).
Hiruk-pikuk yang menimpa Indonesia, memancing kita untuk memiliki kesadaran diri, rasa tanggungjawab dan kejujuran yang harus dipancarkan ke lorong-lorong gelap. Para pejuang tentu menangis, melihat kondisi Ibu pertiwi dalam ambang Negara gagal.

Sri (KBM)
Yogyakarta, 19 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar