Minggu, 22 Mei 2011

Dari Tongkat-Tongkat

Berawal ketika tongkat itu rapuh dimakan rayap barulah sadar bahwa sang Sulaiman telah meninggal ”dan ketika pak jendral mengacungkan tongkat komando” serta merta bumi pun hangus tanpa sebab siapa yang salah”. Pernahkah kita berpikir sebuah perbedaan yang sangat signifikan antar tongkat komando pak jendral dan tongkat nabi sulaiman as di masa kehidupannya. Tongkat sebagai arti kewibawaan ”arti perintah dan perlambang seseorang di masa kehidupannya ketika ia menjabat suatu jabatan penting. Seperti Panglima Laskar, Jendral, Nabi/da’i yang bedakwah. Sungguh membuat ku  haru, sangat haru atau sebalik nya memuakan untuk di lihat dan dibahas kenpa pantas ia yang membawa. Itu pertanyaan ku, kita kembali ke sejarah beberapa abad silam, dimana Nabi Sulaiman as membawa tongkat rahmatanlilalamin-Nya. 

Ketika suatu hari menjelang tua sang sulaiman membangun tempat untuk bersemayamnya dia, maka dia perintah jin untuk membangun sebuah bangunan, dan sulaiman as mengawasinya supaya pekerjaannya jin selesai pada waktunya.
Sadar akan dirinya yang telah tua maka ia duduk dengan tongkat kayu untuk menjaga badannya yang tua. Dan ketika bangunan itu selesai sang jin pun bertanya pada suliaman bahwa bangunan ini telah selesai. Sulaiman as hanya diam sang jin duduk depannya menunggu jawaban. Tiba-tiba tongkat pun patah karena rapuh telah dimakan rayap, Sulaiman pun jatuh.

Barulah sadar bahwa pemimpin yang menguasai segala bahasa baik hewan maupun jin telah tiada dipanggil Allah swt. Raja yang memiliki kekayaan yang luar biasa. Hingga dunia pun mengakuinya bahkan Allah menyayanginya karena sifatnya yang rendah hati. Sulaiman sang raja yang bijaksana yang memikirkan rakyatnya dengan dualisme yang berbeda antara manusia dan hewan.
Dia gunakan tongkat kayunya untuk melambangkan kehidupannya yang berat meminggul tanggung jawab sebagai raja meski ia telah tiada. Sebagai suatu yang menjaganya agar tetap bisa memimpin prajuritnya supaya konsisten pada tugas yang ia titahkan.
Tanpa memedulikan kesehatanya, bahkan kematiannya. Tidak seperti raja-raja dunia lainnya. Kesimpulan dari cerita di atas adalah tongkat sebagai lambang ketaatan dan penyangga pilar kerakyakyatan.
Berbeda dengan tongkat panglima perang sekarang ini sebagai simbolik kemewahan sang jendral serta kediktatoran sang jendral. Atau berbeda dengkat tongkat sang dai yang seharusnya di gunakan sebagai penyangga tiang-tiang agama ketika berdakwah. Dialih fungsikan sebagai lambang topeng Islam fanatik yang mengelu-elukan sebuah pujian. Sudahkah saya mirip dengan amirull mukminin wahai santriku.
Ingatkah kalian dengan tragedi trisakti beberapa tahun silam betapa kejinya jendral-jendral kita menghabisi rakyat dan mahasiswa yang memperjuangkan keadilan. Dan ingatkah kita tentang dai/kya”i yang beristri lebih dari satu dan bagaimana kelakuannya. Dan parahnya panglima-panglima ormas yang mengatas namakan Islam.  Yang mengajarkan membuat bom, dan menghalal Islam radikal untuk mereka yang tidak radikal terhadap Islam itu sendiri.
Indonesia dengan idiologi pancasila terutama sila terwahid, yaitu sila pertama ketuhanan yang maha esa.tuhan itu satu dan tuhan manapun mengajarkan umatnya untuk berbuat baik, berlaku adil bersikap saling mengasihi antar satu sama lain, dan bertindak tegas pada dzalim bukan pada yang didzalimi.
Tapi kita dihadapakan pada suatu pemerintahan yang menjujung tinggi imoralitas dan masyrakat yang menganut kebudayaan jahiliyah era globalisasi. Maka dari itu kita membutuhkan suatu pendidikan yang lebih mengajarkan moral beragama/moral didalam agama guna membatasi tindakan yang sesungguhnya irasional. Yang beralatarkan kebebasan emosi guna menyembah dewa-dewa nafsu yang kita didik tanpa tersadar.dan perlu didukung sistem keilmuan yang maju supaya sistem perekonomian, tekhnologi, hukum, budaya,serta sosial tepat bidikan ketika diaplikasikan didalam kehidupan bermasyarakat dan berguna secara global.
Dengan sebuah sistem pemerintah yang bersih adil menurut tuhan. Bukan menurut pada apa yang manusia anggap baik.karena kebaikan manusia belum tentu baik dimata manusia lainya dan tuhan khususnya.
Ketika sistem pemerintahan kita masih mengakui sistem kolinialisme, serta perundingan mencapai mufakat yang tidak transparansi, dan demokarasi uang tempimpin maka kecil harapannya untuk menjadikan indonesia menjadi madani.
Maka harapan-harapan ruh-ruh yang masih tuhan genggam dan belum di jadikan embrio betumpu pada kalifah,jendral,paglima laskar, mahasiswa, ayah, ibu, yang mepunyai tongkat kepemimpinan yang ia pimpin. Karena kita butuh pemimpin yang bisa mengacungkan tongkat untuk kepentingan tuhan’seperti ketika tuhan menanamkan tongkat dibumi indonesia. Yang membuat indonesia menjadi makmur dan kaya akan segalanya,bukan pemimpin yang menanamkan tongkat kebatilan.
Dan kita butuh pemimpin yang memiliki tongkat untuk menyangga dirinya ketika melihat rakyatnya melana,bukan pemimpin yang menyangga beratnya kemewahan dunia.


Arki Aninditya
Pegiat forum “Komunitas Belajar Menulis”
Yogyakarta, 25 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar