Arus
Balik Politik
Ahmad
Sahide
Ketika Megawati Soekarno Putri resmi
memberikan mandat kepada Joko Widodo (Jokowi), untuk menjadi calon presiden,
pada tanggal 14 Maret 2014, yang ditulis tangan langsung olehnya, Ketua Umum
PDI P itu pun mendapatkan sambutan hangat dari publik dan para pemerhati
politik.
Surat
mandat yang membuka jalan bagi Jokowi untuk memimpin negeri ini kian terbuka
lebar dan itu juga, di mata publik, menunjukkan kebesaran jiwa dan kematangan
berpolitik Megawati Soekarno Putri. Megawati pun disanjung luas sebagai negarawati
sejati. Hasilnya, Jokowi-Jusuf Kalla
(JK), yang diusung PDI P dan koalisinya, memenangi pemilihan presiden dan wakil
presiden 9 Juli 2014 lalu, mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa,
yang diusung oleh Koalisi Merah Putih (KMP).
Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden yang hanya diikuti oleh dua pasang calon itu
membuat atmosfer politik, menjelang dan sesudah 9 Juli 2014, sangat panas dan
keras. Black campaigne (kampanye
negatif) oleh kedua pasang calon untuk merebut suara publik tidak terhindarkan.
Dan pasangan Jokowi-JK lebih banyak mendapatkan serangan politik (negatif)
daripada pasangan Prabowo-Hatta. Serangan politik yang tidak dapat diterima
oleh nalar sehat, dengan penguasaan media, oleh pasangan Prabowo-Hatta itulah
yang membuat pasangan ini mempunyai citra negatif di masyarakat. Jokowi dituduh
dengan berbagai macam isu yang justru itu menghadirkan simpati publik meluas
padanya, seperti dengan tuduhan bahwa Jokowi adalah keturunan Tionghoa dan lain
sebagainya.
Setelah 9 Juli 2014
Setelah pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden 9 Juli 2014, masing-masing kedua pasang calon mendeklarasikan
kemenangannya, berdasarkan hasil Quick
Count (hitung cepat) dari lembaga survei yang berbeda. Hari itu juga,
Prabowo memberikan pidato kemenangan yang disiarkan beberapa stasiun televisi,
seperti MNC TV Group, TVONE, dan lain-lain. Di tempat yang terpisah, Megawati
Soekarno Putri, sebagai Ketua Umum PDI P yang mengusung Jokowi-JK, juga
memberikan pidato kemenangan. Juga disiarkan langsung oleh beberapa stasiun
televisi yang secara tidak langsung berada di belakangnya.
Pertarungan politik yang keras
itulah yang membuat rakyat terbelah menjelang dan sesudah 9 Juli. Namun
sebagian besar rakyat Indonesia memercayai bahwa pasangan Jokowi-JK yang
memenangi daur ulang demokrasi 2014, kemenangan yang tidak diakui oleh pasangan
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Sikap politik Prabowo-Hatta dan KMP itulah yang
membuat citranya di mata publik semakin negatif. Sebaliknya, Jokowi-JK dan
partai pengusungnya, Koalisi Indonesia Hebat (KIH), semakin kuat mendapatkan
pembelaan dari rakyat.
Citra politik Prabowo-Hatta beserta
KMP semakin buruk ketika tidak menerima hasil resmi pemilihan presiden dan
wakil presiden yang disampaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal
22 Juli 2014 di mana pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa memeroleh suara
46,85%, sedangkan pasangan Jokowi-JK memeroleh 53,15%. Pasangan Prabowo-Hatta
kemudian menggugat hasil pemilihan umum melalui Mahkamah Konstitusi (MK) tetapi
akhirnya tetap kalah. Langkah politik ini dibaca oleh publik bahwa ini semata
ketidakrelaan Prabowo-Hatta menerima hasil pemilihan umum yang menjadikannya
sebagai pasangan yang kalah. Prabowo, terutama, dianggap tidak berbesar hati
menerima hasil dari daur ulang demokrasi lima tahunan itu.
Prabowo-Hatta
berserta KMP pun kemudian membalas kekalahannya pada 9 Juli 2014 dengan
menguasai Parlemen. PDI P, sebagai pemenang pemilihan legislatif beserta partai
koalisinya (KIH) disingkirkan di Parlemen. Pimpinan MPR dan DPR serta alat
kelengkapannya dikuasai sepenuhnya oleh
KMP. Hal inilah yang kemudian memunculkan DPR tandingan dari KIH sebelum
akhirnya tercapai kompromi politik oleh kedua kubu di Senayan. Namun demikian,
kisruh politik ini semakin memperburuk citra Prabowo-Hatta dan KMP di mata
publik. Sebaliknya, Jokowi-JK dan partai pengusungnya semakin menikmati
sanjungan publik terhadapnya.
Politik Arus Balik
Menjelang pelantikan Jokowi-JK 20
Oktober 2014, sempat diberitakan secara luas bahwa Prabowo Subianto tidak akan
menghadiri pelantikan pemimpin baru tersebut. Hal ini pula yang semakin
menambah rentetan kekecewaan publik, termasuk pendukungnya pada 9 Juli,
terhadap sosok Prabowo. Apalagi sempat santer diberitakan bahwa MPR dan DPR,
yang dikuasai KMP, akan memboikot pelantikan Jokowi-JK. Tentu saja isu ini
membuat publik resah dan cemas.
Prabowo sepertinya membaca aspirasi publik
tersebut sehingga akhirnya memutuskan menghadiri pelantikan Jokowi-JK, terlebih
sebelum 20 Oktober, Jokowi menyambangi Prabowo di kediamannya. Kehadrian
Prabowo dalam pelantikan Jokowi-JK mendapatkan perhatian khusus dari berbagai
media. Tidak berhenti sampai di situ, Prabowo mendapatkan pujian dari berbagai
pihak di mana sebelumnya dinilai negatif. Prabowo menunjukkan nasionalismenya
dengan menghadiri pelantikan pasangan yang mengalahkannya. Hal ini pula yang
dikaitkan dengan sosok Megawati Soekarno Putri yang tidak menghadiri pelantikan
Susilo Bambang Yudoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK), 20 Oktober 2004 silam. Dalam
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden waktu itu, SBY-JK mengalahkan
Megawati-Hasyim Muzadi.
Beberapa hari setelah pelantikan
Jokowi-JK, Megawati dan PDI P kembali menjadi sorotan publik. Sosok Megawati,
terlepas benar atau tidak, ditengarai terlalu jauh ikut campur dalam penyusunan
kabinet yang akan dibentuk Jokowi-JK. Megawati, yang sebelumnya disanjung,
mulai menuai kritikan dari publik. Megawati sedikit memberikan data penguat
akan tesis yang berkembang menjelang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
bahwa Jokowi akan menjadi bonekanya.
Kini, setelah memasuki bulan keempat
kepemimpinan Jokowi-JK, muncul prahara politik yang belum juga selesai, yakni
konflik KPK-Polri. Publik dan banyak pengamat menengarai bahwa ada sosok
Megawati di belakang munculnya prahara politik ini. Budi Gunawan (BG), calon
Kapolri yang ditersangkakan oleh KPK, adalah ‘pesanan’ dan terkesan dipaksakan
untuk memimpin kepolisian Republik Indonesia. Banyak yang mengatakan bahwa
Megawati dan Budi Gunawan mempunyai hubungan yang cukup dekat mengingat BG
adalah ajudan Megawati saat menjadi Presiden ke-4.
Dalam konflik KPK-Polri, PDI P
terkesan membela BG, dan hal itu menekan Presiden Jokowi yang tidak ingin
melantik BG. Jokowi pun sepertinya kini berhadapan dengan partai tempatnya
bernaung, dan itu berarti berhadapan dengan Megawati Soekarno Putri. Akhirnya
tercium oleh publik akan keretakan hubungan antara Jokowi-Megawati dan PDI P.
Pernyataan dari Puan Maharani, putri kesayangan Megawati, yang memersilahkan
Jokowi untuk membuat partai sendiri memperkuat dugaan keretakan tersebut.
Meskipun pada sisi yang lain, ada bahasa yang tidak terucapkan dari PDI P bahwa
Jokowi berhutang budi terhadap PDI P yang mengantarkannya ke istana.
Sebaliknya,
Jokowi justru mendapatkan dukungan dari Prabowo dan KMP, hal itu diungkapkan
oleh Prabowo saat diundang ke Istana Bogor oleh Presiden Jokowi. Dinamika
politik ini yang menggeser persepsi publik, Megawati dan PDI P disoroti negatif
oleh publik sedangkan Prabowo dan KMP mendapatkan apresiasi positif dengan
berada di belakang Presiden Jokowi untuk mengambil keputusan terkait konflik
KPK-Polri. Inilah drama arus balik politik yang sedang ditonton oleh pemirsa di
seluruh Tanah Air.
Terakhir,
sebagai anak bangsa, saya ingin menyampaikan pesan terbuka kepada Megawatai
Soekarno Putri, Presiden ke-4 kita yang tercinta, dan PDI P bahwa betul Jokowi
berhutang kepada PDI P yang mengantarkannya menjadi orang nomor satu di negeri
ini, tetapi Jokowi juga mempunyai andil besar atas kemenangan yang diraih oleh
PDI P, baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden. Oleh karena itu,
akan lebih baik, dan itu harapan rakyat, jika Megawati dan PDI P tidak terlalu
jauh ikut campur dalam pengambilan kebijakan oleh Presiden Jokowi. Berikanlah
ruang yang luas bagi Presiden Jokowi untuk menafsirkan dengan kebijakan politik
dari ideologi partai yang mengusungnya. Tugas Megawati adalah menjaga
perkaderan dan ideologi partainya. Tugas Jokowi adalah memimpin negeri ini
dengan semangat ideologi partai. Hanya dengan demikianlah Megawati akan selalu
mendapatkan tempat di hati rakyat Indonesia sepanjang sejarah, bukan hanya saat
PDI P berkuasa!
Ahmad Sahide
Pegiat Komunitas Belajar Menulis (KBM) Yogyakarta