Minggu, 17 Januari 2016

Bukan Karena Lelah


Bukan Karena Lelah
Oleh:  Nurwahidah A.Md
     Lelah salah satu  penyakit yang telah menganggu  jiwa pribadi. Banyak  manusia yang memiliki keinginan yang kuat melakukan sesuatu hal dan harus terwujud, apapun caranya. Walaupun kadang kala harapan tak sesuai kenyataan.  Beberapa orang sering mengalaminya  itulah kehidupan. Seperti yang dialami mahasiswa Ama Yogyakarta. Dika, lelaki lajang dari Sulawesi Tenggara. Ia dikenal pekerja keras, ringan tangan,  cerdas dan naif. Hidungnya agak  mancung, kulitnya sawo matang, bola matanya sayu, alis coklat dan tipis. Banyak perempuan yang tergila-gila dengannya, pernah juga ditaksir  sama dosen. Walaupun begitu ia tetap apatis.  Tidak mau mengenal apa itu pacaran.
            Sosoknya dikenal baik, ia ditawari berdiam di rumah pak Samir. Beliau kesehariannya berjualan kue basah di pasar kota gede Yogyakarta. Tak mikir panjang, Dika pun mengiyakan. Sebuah rumah warna coklat, banyak sampah berhamburan. Bakteri yang nempel di dinding, lebih banyak tikus berkeliaran dibanding nyamuk.  Kamar berukuran 2x4 cm itu terlihat kumuh, pengap tak ada jendela.  Itulah Dika selalu mencoba hal yang baru.  “Namanya juga gratis siapa sih yang mau nolak? aku harus pandai bersyukur, meskipun kenyataannya siap bertempur dengan kotoran.”Ujarnya.
            Hari ini adalah hari minggu. Sangat panas, kulit Dika terkelupas. Tak ada cara lain dilakukan kecuali berlari ke  mesjid Al-Wahid samping rumah. Di sanalah kadang tidur pulas di bawah naungan kipas angin. Dika tinggal dengan sahabat karibnya.  Harisan, namanya sungguh menawan  seperti orangnya lembut,  perhatian, tidak berlebihan dalam berpakaian. Setia mengekor di manapun Dika  melangkah. Hobby-nya tertawa. Sosoknya  luar biasa di mata Dika.
            Sebagai kompensasi mereka membantu  jualan aneka kue. Membersihkan rumah, mengantar aneka kue dari kampus ke angkringan, memasak lalu cuci wadah. Pernah sekali  Dika kesal saat pak Samir menampakkan wajah serigala. Ya, pak Samir akan  mengamuk dan mengomel jika penjualan kue tak laris. Tak ada cara lain  yang dilakukan hanya tunduk dan pasrah. Itulah salah  satu adat yang ditekuni anak kos-kosan, harus kuat mental.


            Kata lelah tidak hilang dalam jiwa mereka. Terkadang  mandi di Mesjid, beruntung jika penjaga mesjidnya  baik, eh serigala juga. Pernah sekali Dika ke Mesjid bersiram, tiba-tiba  bertemu bapak tuyuk  tak  tahu persis namanya. Tubuhnya kurus kerempeng,  kulitnya hitam, bibirnya tebal   dan kumis yang serampangan menutupi bibir   atasnya. Saat itu ia memegan sapu. Dika pun masuk sambil tersenyum. Biar dibilang ramah.
            “Pak. Aku mau mandi boleh tidak?” Ujar Dika.
            “Apa,  Mandi? emang di tempatmu  tidak ada air?” wajah bapak tuyuk itu  merah merekah, bola matanya berputar-putar. ”Dasar anak kosan  sukanya numpang.”Rasa takut  yang dialami  Dika sungguh amat  takut. Ya, tidak ada cara lain kecuali lari menuju kamar  mandi.
                                                                         &&&
                        “Buuuurrrrrrrrmmmm”        
            Suara alarm berdering,  pukul 04.00. Dika  dan Harisan bangun, menuju ke Mesjid, tak lupa mengangkat tangan dan wajah menghadap sang Ilahi, biar dimudahkan segala urusan. Usai shalat mereka menuju rumah pak Samir. Dika tugasnya mengambil beberapa wadah dan kue, lalu diantar  ke  jalan raya.  Aneka kue  arem-arem, bakpia, donat, pastel dsb. Harisan mengantar kue kampus UAD, UPN dan angkringan.
                 Keseharian mereka  menuju ke kampus dengan menggayuh sepeda ontel. Perjalanan 15 menit menuju Ama Yogyakarta.  Sesampai di sana bercucuranlah keringat yang terlihat diseragam biru. Mereka  harus melewati ratusan mahasiswa yang berkeliaran di area kampus. Dika melangkah terlihat  apatis menuju  Let.C. Tempat interaksi jual beli makanan dan minuman. Meskipun Harisan mengekor dibelakangnya. Ia menyembunyikan sebuah senyum. Senyum yang menyimpan  duri. Tunduk menenteng wadah beberapa kue basah di dalamnya.  Jika  Jam kuliah  mulai tiba,  maka mereka tetap mengikuti perkuliahan, usai itu  lanjut lagi  berjualan.
            Jam tiga lewat dua puluh menit. Mereka menutup  Let, C dan segera pulang.  Lelah, letih, lesuh dan jenuh. Wajah Dika  terlihat  pucat tapi, tetap memaksa diri menggayuh sepeda. Air bening menetes bersamaan dengan keringat “Tuhan, seperti inikah perjuangan hidup? Aku harus kuat karena masih banyak orang yang belum sempurna tidak punya tangan dan kaki, tapi  tetap kuat bekerja keras, jika mereka bisa melakukan hal itu, kenapa aku tidak?”lirihnya.
            Tiba di kosan  terkumuh  tidak lupa mereka memberikan,  hasil penjualan kue  pada pak Samir yang akhir-akhir ini tambah  sangar. Harisan yang membuang badan ke lantai lalu tidur. Bagi Dika pulang kuliah tak boleh langsung lelap. Ia pun tetap  ke mesjid bersiram meskipun  sudah ada peringatan keras kalau tidak boleh mandi di sana.  Berlari ke kamar mandi, shalat lalu siap-siap ke tempat kerja.  Pekerjaan  Dika  jika pulang kuliah adalah jadi waiter di Resto Bombay. Masih lelah tapi ia harus menampakkan wajah yang berbinar di mata para tamu. Berangkat jam Lima sore dan pulang jam sebelas malam, kadang lewat waktu sampai jam dua. Baginya  pekerjaan akan berjalan dengan lancar  jika di jalani dengan enjoy.
             Jika hari libur tiba, Dika tetap semangat mengikuti sebuah komunitas belajar menulis pada malam Senin, di Jl. Golo Yogyakarta. Di sana ia tumpahkan isi hatinya melalui tulisan. Berawal  dari sinilah  Dika mulai mengenal para penulis mayor. Kanda Ahmad, bang Darwin, pak Sukma, Sabil dan masih banyak lagi. Dika pun mau mengikuti jejak mereka biar bisa dikenang dalam sebuah karya.
             Kuliah, berjualan kue , bekerja di restoran dan selipkan waktu menulis. Dika  mengalami  drop lalu tipes. Ia pun dirujuk  ke Rumah Sakit Hidayatullah. Ia terbaring lemas dan tak berdaya. Harisan tetap setia disampingnya. Setia menemani bahkan ia pun  absen  kuliah dan tak berjualan kue. Beberapa mahasiswa dan dosen terpukul mendegar kabar duka bahwa mahasiswa yang hebat itu tak nongol di kampus. Mereka mengangah dan tak percaya melihat raut Dika yang tinggal menunggu ajal. Namun, Dika  tetap mengupas senyum. Dipikirannya hanya satu, bagaimana  soal pembayaran Rumah Sakit  Rp8.000. Dan ternyata Tuhan masih dipihaknya. Berapa bantuan dari dosen dan sekelasnya melakukan baksos. Duapekan  kemudian. Uang tersebut berhasil dipengan Dika. Namun, ia mulai berbohong menyembunyikan sesuatu malah  ketahuan juga.
       “Dasar ya, Dika dikasih uang buat bayar biaya Rumah Sakit. Malah duitnya  disumbangkan di panti asuhan.” Ujar beberapa sekelasnya. Mereka kesal dangan tingkah Dika yang  sangat konyol.
            Itulah Dika, lebih memetingkan orang lain dibanding dengan nasibnya. Baginya masih banyak orang yang lebih butuh bantuan. Selagi masih bisa membantu maka ia akan membantu.  Meskipun pembayaran Rumah Sakit, ia minta dengan orang tua. Dika berharap ada kata maaf dari mulut para kerabat yang rela mengadakan baksos demi melunasi biaya Rumah Sakit. Dua pekan  off-name, Dika mulai sembuh. Ia pun tetap kembali beraktivitas seperti biasanya. Meskipun disuruh istirahat tapi, tetap saja nekad dan tetap bekerja keras. Katanya tak boleh memanjakan diri selagi masih dirantau, memang harus siap menderita dan tetap semangat.
                                                                                    Yogyakarta, 09 Juni 2015

                                                     
                                                                               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar