Bukan Karena Lelah
Oleh: Nurwahidah A.Md
Lelah
salah satu penyakit yang telah menganggu
jiwa pribadi. Banyak manusia yang memiliki keinginan yang kuat melakukan
sesuatu hal dan harus terwujud, apapun caranya. Walaupun kadang kala harapan
tak sesuai kenyataan. Beberapa orang sering
mengalaminya itulah kehidupan. Seperti
yang dialami mahasiswa Ama Yogyakarta. Dika, lelaki lajang dari Sulawesi
Tenggara. Ia dikenal pekerja keras, ringan tangan, cerdas dan naif. Hidungnya agak mancung, kulitnya sawo matang, bola matanya
sayu, alis coklat dan tipis. Banyak perempuan yang tergila-gila dengannya, pernah
juga ditaksir sama dosen. Walaupun
begitu ia tetap apatis. Tidak mau
mengenal apa itu pacaran.
Sosoknya dikenal baik, ia ditawari
berdiam di rumah pak Samir. Beliau kesehariannya berjualan kue basah di pasar
kota gede Yogyakarta. Tak mikir panjang, Dika pun mengiyakan. Sebuah rumah
warna coklat, banyak sampah berhamburan. Bakteri yang nempel di dinding, lebih banyak
tikus berkeliaran dibanding nyamuk. Kamar
berukuran 2x4 cm itu terlihat kumuh, pengap tak ada jendela. Itulah Dika selalu mencoba hal yang baru. “Namanya juga gratis siapa sih yang mau nolak?
aku harus pandai bersyukur, meskipun kenyataannya siap bertempur dengan kotoran.”Ujarnya.
Hari ini adalah hari minggu. Sangat
panas, kulit Dika terkelupas. Tak ada cara lain dilakukan kecuali berlari ke mesjid Al-Wahid samping rumah. Di sanalah
kadang tidur pulas di bawah naungan kipas angin. Dika tinggal dengan sahabat
karibnya. Harisan, namanya sungguh
menawan seperti orangnya lembut, perhatian, tidak berlebihan dalam berpakaian.
Setia mengekor di manapun Dika melangkah.
Hobby-nya tertawa. Sosoknya luar biasa di mata Dika.
Sebagai kompensasi mereka membantu jualan aneka kue. Membersihkan rumah, mengantar
aneka kue dari kampus ke angkringan, memasak lalu cuci wadah. Pernah sekali Dika kesal saat pak Samir menampakkan wajah serigala.
Ya, pak Samir akan mengamuk dan mengomel
jika penjualan kue tak laris. Tak ada cara lain yang dilakukan hanya tunduk dan pasrah. Itulah
salah satu adat yang ditekuni anak
kos-kosan, harus kuat mental.
Kata lelah tidak hilang dalam jiwa
mereka. Terkadang mandi di Mesjid,
beruntung jika penjaga mesjidnya baik, eh serigala juga. Pernah sekali Dika ke
Mesjid bersiram, tiba-tiba bertemu bapak
tuyuk tak tahu persis namanya. Tubuhnya kurus kerempeng,
kulitnya hitam, bibirnya tebal dan
kumis yang serampangan menutupi bibir atasnya. Saat itu ia memegan sapu. Dika pun
masuk sambil tersenyum. Biar dibilang ramah.
“Pak. Aku mau mandi boleh tidak?”
Ujar Dika.
“Apa,
Mandi? emang di tempatmu tidak
ada air?” wajah bapak tuyuk itu merah merekah, bola matanya berputar-putar. ”Dasar
anak kosan sukanya numpang.”Rasa
takut yang dialami Dika sungguh amat takut. Ya, tidak ada cara lain kecuali lari menuju
kamar mandi.
&&&
“Buuuurrrrrrrrmmmm”
Suara
alarm berdering, pukul 04.00. Dika dan Harisan bangun, menuju ke Mesjid, tak lupa
mengangkat tangan dan wajah menghadap sang Ilahi, biar dimudahkan segala
urusan. Usai shalat mereka menuju rumah pak Samir. Dika tugasnya mengambil
beberapa wadah dan kue, lalu diantar ke jalan raya. Aneka kue arem-arem, bakpia, donat, pastel dsb. Harisan mengantar
kue kampus UAD, UPN dan angkringan.
Keseharian
mereka menuju ke kampus dengan menggayuh
sepeda ontel. Perjalanan 15 menit menuju Ama Yogyakarta. Sesampai di sana bercucuranlah keringat yang
terlihat diseragam biru. Mereka harus
melewati ratusan mahasiswa yang berkeliaran di area kampus. Dika melangkah
terlihat apatis menuju Let.C.
Tempat interaksi jual beli makanan dan minuman. Meskipun Harisan mengekor
dibelakangnya. Ia menyembunyikan sebuah senyum. Senyum yang menyimpan duri. Tunduk menenteng wadah beberapa kue
basah di dalamnya. Jika Jam kuliah
mulai tiba, maka mereka tetap
mengikuti perkuliahan, usai itu lanjut lagi
berjualan.
Jam
tiga lewat dua puluh menit. Mereka menutup
Let, C dan segera pulang. Lelah, letih, lesuh dan jenuh. Wajah Dika terlihat
pucat tapi, tetap memaksa diri menggayuh sepeda. Air bening menetes
bersamaan dengan keringat “Tuhan, seperti inikah perjuangan hidup? Aku harus kuat
karena masih banyak orang yang belum sempurna tidak punya tangan dan kaki, tapi
tetap kuat bekerja keras, jika mereka
bisa melakukan hal itu, kenapa aku tidak?”lirihnya.
Tiba di kosan terkumuh tidak lupa mereka memberikan, hasil penjualan kue pada pak Samir yang akhir-akhir ini tambah sangar. Harisan yang membuang badan ke lantai
lalu tidur. Bagi Dika pulang kuliah tak boleh langsung lelap. Ia pun tetap ke mesjid bersiram meskipun sudah ada peringatan keras kalau tidak boleh
mandi di sana. Berlari ke kamar mandi,
shalat lalu siap-siap ke tempat kerja. Pekerjaan Dika
jika pulang kuliah adalah jadi waiter di Resto Bombay. Masih lelah tapi
ia harus menampakkan wajah yang berbinar di mata para tamu. Berangkat jam Lima
sore dan pulang jam sebelas malam, kadang lewat waktu sampai jam dua. Baginya pekerjaan akan berjalan dengan lancar jika di jalani dengan enjoy.
Jika hari libur tiba, Dika tetap semangat
mengikuti sebuah komunitas belajar menulis pada malam Senin, di Jl. Golo
Yogyakarta. Di sana ia tumpahkan isi hatinya melalui tulisan. Berawal dari sinilah
Dika mulai mengenal para penulis mayor. Kanda Ahmad, bang Darwin, pak Sukma,
Sabil dan masih banyak lagi. Dika pun mau mengikuti jejak mereka biar bisa
dikenang dalam sebuah karya.
Kuliah, berjualan kue , bekerja di restoran
dan selipkan waktu menulis. Dika
mengalami drop lalu tipes. Ia pun dirujuk ke Rumah Sakit Hidayatullah. Ia terbaring
lemas dan tak berdaya. Harisan tetap setia disampingnya. Setia menemani bahkan
ia pun absen kuliah dan tak berjualan kue. Beberapa mahasiswa
dan dosen terpukul mendegar kabar duka bahwa mahasiswa yang hebat itu tak
nongol di kampus. Mereka mengangah dan tak percaya melihat raut Dika yang
tinggal menunggu ajal. Namun, Dika tetap
mengupas senyum. Dipikirannya hanya satu, bagaimana soal pembayaran Rumah Sakit Rp8.000. Dan ternyata Tuhan masih dipihaknya.
Berapa bantuan dari dosen dan sekelasnya melakukan baksos. Duapekan kemudian. Uang tersebut berhasil dipengan
Dika. Namun, ia mulai berbohong menyembunyikan sesuatu malah ketahuan juga.
“Dasar ya, Dika dikasih uang buat bayar
biaya Rumah Sakit. Malah duitnya
disumbangkan di panti asuhan.” Ujar
beberapa sekelasnya. Mereka kesal dangan
tingkah Dika yang sangat konyol.
Itulah Dika, lebih memetingkan orang
lain dibanding dengan nasibnya. Baginya masih banyak orang yang lebih butuh
bantuan. Selagi masih bisa membantu maka ia akan membantu. Meskipun pembayaran Rumah Sakit, ia minta
dengan orang tua. Dika berharap ada kata maaf dari mulut para kerabat yang rela
mengadakan baksos demi melunasi biaya Rumah Sakit. Dua pekan off-name,
Dika mulai sembuh. Ia pun tetap kembali beraktivitas seperti biasanya. Meskipun
disuruh istirahat tapi, tetap saja nekad dan tetap bekerja keras. Katanya tak
boleh memanjakan diri selagi masih dirantau, memang harus siap menderita dan
tetap semangat.
Yogyakarta,
09 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar