Minggu, 01 November 2015

Satu Tahun Jokowi-JK; Merawat Janji dan Harapan Publik



Satu Tahun Jokowi-JK; Merawat Janji dan Harapan Publik
                                                                  Ahmad Sahide
                                                                             
            20 Oktober bulan ini, Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) telah resmi memimpin bangsa dan negara Indonesia selama setahun. Selama kurun waktu itulah pasangan pemimpin itu berusaha keras menepati janji-janjinya dalam kampanye dulu. Jokowi-JK dikawal masuk istana dengan harapan publik yang memuncak. Semua itu terlihat dari banyaknya pesta rakyat di daerah-daerah pada hari pelantikan Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
            Sambutan publik dalam pelantikan Jokowi-JK seolah mengingatkan kita pada pelantikan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, pada bulan Januari 2009, juga jatuh pada tanggal 20. Obama disambut oleh dunia seolah sebagai ‘nabi yang lahir pada abad ini’ untuk menciptakan perdamaian dunia. Di Indonesia, ada sosok Jokowi yang dilihat sebagai ‘Obama’ milik orang Indonesia. ‘Nabi’ yang lahir dan diutus untuk menciptakan tatanan politik yang sehat dan punya nurani. Pertanyaannya, dapatkah Jokowi-JK merawat janji dan harapan publik yang mengantarkannya ke istana setelah setahun kepemimpinannya?

Antara Obama dan Jokowi
            Menarik untuk memotret satu tahun kepemimpinan Jokowi dengan membandingkannya dengan sosok Obama. Meskipun dengan catatan bahwa Obama, Presiden ke-44 Amerika Serikat, mempunyai gaung yang luas dan besar di dunia internasional sebab Obama menjadi orang nomor satu di negara Adi Daya. Yang pasti, Obama dan Jokowi adalah pemimpin dengan beberapa kesamaan. Pertama, kedua pemimpin berasal dari kaum pinggiran. Di Amerika, sejak dulu, telah tertanam di benak publik bahwa untuk menjadi Presiden Negeri Paman Sam tersebut haruslah dari kulit putih. Ini sudah menjadi ‘undang-undang’ yang tidak tertulis dalam kultur politik Amerika Serikat. Dan Obama adalah Presiden Amerika pertama yang berasal dari kulit hitam yang tidak memiliki trah politik garis kepemimpinan di negara berpengaruh tersebut.  Obama berhasil menyingkirkan tokoh-tokoh politik senior yang mengakar kuat dalam partai dan masyarakat Amerika. Di tubuh partai Demokrat, Obama mengalahkan Hillary Clinton, mantan Ibu Negara, dalam konvensi partai tersebut. Selanjutnya Obama mengalahkan John McCain, politisi kawakan dari Partai Republik, dalam pemilihan presiden pada 2008 silam.
            Fenomena yang hampir sama dialami oleh Jokowi. Jokowi dilihat sebagai orang pinggiran. Tokoh yang lahir pascareformasi serta tidak mempunyai garis kepemimpinan di negeri ini. Berbeda halnya dengan Soekarno, Soeharto, BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, dan Susilo Bambang Yudoyono. Selain itu, dalam kultur politik kita, sebelum kemunculan Jokowi, untuk menjadi seorang presiden harus memegang kendali partai politik (Ketua Umum atau Ketua Dewan Pembina). Oleh karena itu, kemenangan Jokowi pada 9 Juli tahun lalu (2014) mendobrak tatanan politik kita yang masih berbau feudal tersebut.
            Jika di Amerika (dulu) untuk menjadi seorang presiden, haruslah dari kulit putih sementara di Indonesia, untuk menjadi presiden harus dari kalangan elite dan pemimpin partai politik. Obama dan Jokowi muncul untuk mendobrak tatanan politik tersebut. Tetapi keduanya juga diperhadapkan dengan tantangan.
            Kedua, Obama dan Jokowi sama-sama disambut hangat oleh masyarakatnya. Obama bahkan oleh dunia, terutama untuk menyelesaikan konflik Arab-Israel. Keduanya dipandang sebagai sosok ‘pahlawan dan nabi’ untuk menata kehidupan yang lebih baik. Di pundak kedua pemimpin itu, ada ekspektasi publik yang sangat besar dalam mengawali kepemimpinannya. Hal itu terlihat dari pawai dan arak-arakan masyarakat pada hari pelantikan mereka masing-masing yang tidak pernah kita jumpai dari pelantikan pemimpin-pemimpin dunia lainnya. Bahkan Obama dianugerahi Nobel Perdamaian setelah setahun kepemimpinannya. Dalam hal prestasi individu ini tentu kita tidak dapat membandingkan antara Obama dengan Jokowi. Tetapi keduanya disambut dengan hangat dan ekspektasi besar dalam mengawali kepemimpiannya.
            Ketiga, keduanya diperhadapkan dengan arus politik yang sudah lama mengakar kuat. Di Amerika, Obama harus menghadapi kekuatan politik kelompok Zionis Israel. Hal itu yang membuat Obama harus melakukan kompromi politik untuk tidak terjungkal dari kekuasaannya. Sebagaimana kita ketahui bersama di mana Obama berkali-kali menegaskan bahwa Amerika di bawah kepemimpinannya akan lebih bersahabat dengan dunia Islam, dan terutama Timur Tengah yang sedang membara. Sebaliknya, Obama, pada awal-awal kepemimpinannya, dianggap kurang bersahabat dengan kelompok Yahudi dan Israel. Hal itu terlihat ketika Obama menolak bertemu dengan Perdana Menteri Israel benjamin Netanyahu awal bulan Juni 2010 karena Insiden penyerbuan pasukan komando Israel atas konvoi kapal pengangkut bantuan kemanusiaan ke jalur Gaza (Kompas, 2/6/10).
            Penolakan itu tentu menjadi pukulan memalukan bagi PM Netanyahu dan Israel. dan kemenangan Partai Republik          dalam pemilu sela 2010 dikaitkan dengan sikap Obama yang kurang bersahabat dengan kelompok Zionis Israel. Obama terpaksa harus mengambil langkah kompromi untuk mengamankan kekuasaannya. Kini, periode kedua kepemimpinan Obama di negeri Paman Sam tersebut akan segera berakhir. Namun Obama juga belum mampu mengabadikan dirinya dengan menciptakan perdamaian dunia, terutama menyelesaikan konflik Arab-Israel. Penghargan tertingi dan prestisius yang diberikan padanya tidaklah dapat menolongnya untuk menciptakan perdamaian. Bahkan konflik di Timur Tengah semakin akut.
            Lalu bagaimana dengan Presiden Jokowi? Akankah ia mengikuti jejak Obama? Gagal memenuhi ekspektasi publik yang diamanahkan padanya. Jika, di Amerika, Obama diperhadapkan dengan kekuatan lobi politik Yahudi, di Indonesia berbeda. Jokowi diperhadapkan dengan kekuatan arus politik yang mengakar kuat pada patronase partai politik. Bahkan Jokowi harus berhadapan dengan partai pengsusungnya sendiri, PDI P, pada awal-awal kekuasaannya. Hal itu terlihat dari kasus Budi Gunawan yang gagal dilantik menjadi Kapolri. Dalam kasus ini, Jokowi seolah berhadapan dengan PDI P itu sendiri yang mengusulkan Budi Gunawan sebagai pemimpin tertinggi institusi kepolisian tersebut. Hal ini menimbulkan kegaduhan politik.
            Jokowi, dinilai oleh banyak pengamat, tidak memiliki kekuatan politik untuk menghadapi arus kekuatan politik parpol. Dalam bahasa Yasraf Amir Piliang diistilahkannya dengan Kekuasaan Tanpa Kuasa (Kompas, 7/09/2015).Jokowi lalu melakukan kompromi politik. Budi Gunawan memang gagal dilantik menjadi Kapolri, tetapi ia dijadikan sebagai orang nomor dua di institusi tersebut. Apapun hasilnya, sempat tercium oleh publik keretakan hubungan antara Presiden Jokowi dengan Megawati Soekarno Putri, Ketua Umum PDI P.  
            Puncaknya terlihat ketika Jokowi dan JK diundang dalam Kongres PDI P di Bali pada bulan April 2015. Dalam hajatan politik internal partai pemenang pemilu tersebut, Jokowi, sebagai kader partai yang juga adalah Kepala Negara, tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pidato politik. Hal ini kembali menimbulkan kehebohan politik sebab Megawati Soekarno Putri dianggap ‘tidak menghormati’ Jokowi sebagai orang nomor satu (symbol negara) di republik ini. Berbeda halnya ketika Jokowi menghadiri hajatan Partai Demokrat dan juga PAN. Jokowi dalam menghadiri undangan partai-partai yang tidak mengusungnya tersebut dalam pemilu 2014 lalu justru diperlakukan sangat terhormat.

Merawat Hubungan Jokowi-Megawati
            Tidak dapat dimungkiri bahwa hubungan Jokowi-Megawati, sebagai Ketua Umum PDI P, sangat menentukan suskses tidaknya Jokowi-JK memimpin negeri ini. Oleh karena itu, preseden buruk terjadinya perbedaan paham antara Jokowi dengan Megawati tidak boleh terulang lagi karena terbukti hal tersebut mengganggu jalannya pemerintahan Jokowi-JK dan juga menurunnya popularitas Jokowi tidak terlepas dari keretakan hubungan tersebut. Oleh karena itu, hubungan Jokowi-Megawati harus dirawat dengan baik demi kepentinganbangsa dan negara.            Megawati bertugas menjaga ideologi partai dan Jokowi bertugas mengeksekusi gagasan-gagasan ideologis partai dengan posisinya sebagai kepala negara.
            Para ‘pembisik’ Jokowi dan Megawati harus mewaspadai adanya pihak-pihak tertentu, tidak terkecuali di internal Partai Banteng tersebut, yang menghendaki retaknya hubungan Jokowi-Megawati dalam menghadapi pemilihan presiden dan wakil presiden 2019 nantinya. Inilah yang harus menjadi catatan bagi PDI P dan Jokowi dalam satu tahun pemerintahan Jokowi-JK.
            Masih ada sisa waktu empat tahun bagi Jokowi-JK untuk memimpin negeri ini. Tentu belumlah terlambat untuk meraih kesuksesan dan juga mewujudkan janji-janjinya. Oleh karena itu, dalam satu tahun kepemimpinan Jokowi-JK ini, haruslah dijadikan sebagai momentum untuk berbenah bagi semua pihak, terutama bagi PDI P dan juga Jokowi-JK. Kesuksesan Jokowi-JK adalah kesuksesan PDI P perjuangan dalam posisinya sebagai partai pemenang pemilu yang juga partai pengusung utama duet Jokowi-JK. Sebaliknya, jika Jokowi-JK gagal dalam lima tahun kepemimpinannya, boleh jadi publik mengkambing-hitamkan PDI P sehingga dapat berdampak dengan kegagalan partai titisan Soekarno itu memertahankan kesusksesannya pada pemilihan umum 2014 lalu.
            Semoga Jokowi tidak mengikuti jejak Obama yang gagal mewujudkan ekspektasi besar publik hanya karena diperhadapkan dengan arus besar!
Ahmad Sahide
Kandidat Doktor Sekolah Pascasarjana, UGM
                        Dan Pegiat Komunitas Belajar Menulis (KBM) Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar