Satu
Tahun Jokowi-JK; Merawat Janji dan Harapan Publik
Ahmad
Sahide
20 Oktober bulan ini, Joko
Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) telah resmi memimpin bangsa dan negara Indonesia
selama setahun. Selama kurun waktu itulah pasangan pemimpin itu berusaha keras
menepati janji-janjinya dalam kampanye dulu. Jokowi-JK dikawal masuk istana
dengan harapan publik yang memuncak. Semua itu terlihat dari banyaknya pesta
rakyat di daerah-daerah pada hari pelantikan Jokowi-JK sebagai Presiden dan
Wakil Presiden Republik Indonesia.
Sambutan publik dalam pelantikan
Jokowi-JK seolah mengingatkan kita pada pelantikan Presiden Amerika Serikat,
Barack Obama, pada bulan Januari 2009, juga jatuh pada tanggal 20. Obama
disambut oleh dunia seolah sebagai ‘nabi yang lahir pada abad ini’ untuk
menciptakan perdamaian dunia. Di Indonesia, ada sosok Jokowi yang dilihat
sebagai ‘Obama’ milik orang Indonesia. ‘Nabi’ yang lahir dan diutus untuk
menciptakan tatanan politik yang sehat dan punya nurani. Pertanyaannya,
dapatkah Jokowi-JK merawat janji dan harapan publik yang mengantarkannya ke
istana setelah setahun kepemimpinannya?
Antara Obama dan Jokowi
Menarik untuk memotret satu tahun
kepemimpinan Jokowi dengan membandingkannya dengan sosok Obama. Meskipun dengan
catatan bahwa Obama, Presiden ke-44 Amerika Serikat, mempunyai gaung yang luas
dan besar di dunia internasional sebab Obama menjadi orang nomor satu di negara
Adi Daya. Yang pasti, Obama dan Jokowi adalah pemimpin dengan beberapa
kesamaan. Pertama, kedua pemimpin berasal dari kaum pinggiran. Di Amerika,
sejak dulu, telah tertanam di benak publik bahwa untuk menjadi Presiden Negeri
Paman Sam tersebut haruslah dari kulit putih. Ini sudah menjadi ‘undang-undang’
yang tidak tertulis dalam kultur politik Amerika Serikat. Dan Obama adalah
Presiden Amerika pertama yang berasal dari kulit hitam yang tidak memiliki trah
politik garis kepemimpinan di negara berpengaruh tersebut. Obama berhasil menyingkirkan tokoh-tokoh
politik senior yang mengakar kuat dalam partai dan masyarakat Amerika. Di tubuh
partai Demokrat, Obama mengalahkan Hillary Clinton, mantan Ibu Negara, dalam
konvensi partai tersebut. Selanjutnya Obama mengalahkan John McCain, politisi
kawakan dari Partai Republik, dalam pemilihan presiden pada 2008 silam.
Fenomena yang hampir sama dialami
oleh Jokowi. Jokowi dilihat sebagai orang pinggiran. Tokoh yang lahir
pascareformasi serta tidak mempunyai garis kepemimpinan di negeri ini. Berbeda
halnya dengan Soekarno, Soeharto, BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati
Soekarno Putri, dan Susilo Bambang Yudoyono. Selain itu, dalam kultur politik
kita, sebelum kemunculan Jokowi, untuk menjadi seorang presiden harus memegang
kendali partai politik (Ketua Umum atau Ketua Dewan Pembina). Oleh karena itu,
kemenangan Jokowi pada 9 Juli tahun lalu (2014) mendobrak tatanan politik kita
yang masih berbau feudal tersebut.
Jika di Amerika (dulu) untuk menjadi
seorang presiden, haruslah dari kulit putih sementara di Indonesia, untuk
menjadi presiden harus dari kalangan elite dan pemimpin partai politik. Obama
dan Jokowi muncul untuk mendobrak tatanan politik tersebut. Tetapi keduanya
juga diperhadapkan dengan tantangan.
Kedua, Obama dan Jokowi sama-sama
disambut hangat oleh masyarakatnya. Obama bahkan oleh dunia, terutama untuk
menyelesaikan konflik Arab-Israel. Keduanya dipandang sebagai sosok ‘pahlawan
dan nabi’ untuk menata kehidupan yang lebih baik. Di pundak kedua pemimpin itu,
ada ekspektasi publik yang sangat besar dalam mengawali kepemimpinannya. Hal itu
terlihat dari pawai dan arak-arakan masyarakat pada hari pelantikan mereka
masing-masing yang tidak pernah kita jumpai dari pelantikan pemimpin-pemimpin
dunia lainnya. Bahkan Obama dianugerahi Nobel Perdamaian setelah setahun
kepemimpinannya. Dalam hal prestasi individu ini tentu kita tidak dapat
membandingkan antara Obama dengan Jokowi. Tetapi keduanya disambut dengan
hangat dan ekspektasi besar dalam mengawali kepemimpiannya.
Ketiga, keduanya diperhadapkan
dengan arus politik yang sudah lama mengakar kuat. Di Amerika, Obama harus
menghadapi kekuatan politik kelompok Zionis Israel. Hal itu yang membuat Obama
harus melakukan kompromi politik untuk tidak terjungkal dari kekuasaannya.
Sebagaimana kita ketahui bersama di mana Obama berkali-kali menegaskan bahwa
Amerika di bawah kepemimpinannya akan lebih bersahabat dengan dunia Islam, dan
terutama Timur Tengah yang sedang membara. Sebaliknya, Obama, pada awal-awal
kepemimpinannya, dianggap kurang bersahabat dengan kelompok Yahudi dan Israel.
Hal itu terlihat ketika Obama menolak bertemu dengan Perdana Menteri Israel
benjamin Netanyahu awal bulan Juni 2010 karena Insiden penyerbuan pasukan
komando Israel atas konvoi kapal pengangkut bantuan kemanusiaan ke jalur Gaza (Kompas,
2/6/10).
Penolakan itu tentu menjadi pukulan
memalukan bagi PM Netanyahu dan Israel. dan kemenangan Partai Republik dalam pemilu sela 2010 dikaitkan dengan
sikap Obama yang kurang bersahabat dengan kelompok Zionis Israel. Obama
terpaksa harus mengambil langkah kompromi untuk mengamankan kekuasaannya. Kini,
periode kedua kepemimpinan Obama di negeri Paman Sam tersebut akan segera
berakhir. Namun Obama juga belum mampu mengabadikan dirinya dengan menciptakan
perdamaian dunia, terutama menyelesaikan konflik Arab-Israel. Penghargan
tertingi dan prestisius yang diberikan padanya tidaklah dapat menolongnya untuk
menciptakan perdamaian. Bahkan konflik di Timur Tengah semakin akut.
Lalu bagaimana dengan Presiden
Jokowi? Akankah ia mengikuti jejak Obama? Gagal memenuhi ekspektasi publik yang
diamanahkan padanya. Jika, di Amerika, Obama diperhadapkan dengan kekuatan lobi
politik Yahudi, di Indonesia berbeda. Jokowi diperhadapkan dengan kekuatan arus
politik yang mengakar kuat pada patronase partai politik. Bahkan Jokowi harus
berhadapan dengan partai pengsusungnya sendiri, PDI P, pada awal-awal
kekuasaannya. Hal itu terlihat dari kasus Budi Gunawan yang gagal dilantik
menjadi Kapolri. Dalam kasus ini, Jokowi seolah berhadapan dengan PDI P itu
sendiri yang mengusulkan Budi Gunawan sebagai pemimpin tertinggi institusi
kepolisian tersebut. Hal ini menimbulkan kegaduhan politik.
Jokowi, dinilai oleh banyak
pengamat, tidak memiliki kekuatan politik untuk menghadapi arus kekuatan
politik parpol. Dalam bahasa Yasraf Amir Piliang diistilahkannya dengan Kekuasaan Tanpa Kuasa (Kompas, 7/09/2015).Jokowi lalu melakukan
kompromi politik. Budi Gunawan memang gagal dilantik menjadi Kapolri, tetapi ia
dijadikan sebagai orang nomor dua di institusi tersebut. Apapun hasilnya,
sempat tercium oleh publik keretakan hubungan antara Presiden Jokowi dengan
Megawati Soekarno Putri, Ketua Umum PDI P.
Puncaknya terlihat ketika Jokowi dan
JK diundang dalam Kongres PDI P di Bali pada bulan April 2015. Dalam hajatan
politik internal partai pemenang pemilu tersebut, Jokowi, sebagai kader partai
yang juga adalah Kepala Negara, tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan
pidato politik. Hal ini kembali menimbulkan kehebohan politik sebab Megawati
Soekarno Putri dianggap ‘tidak menghormati’ Jokowi sebagai orang nomor satu
(symbol negara) di republik ini. Berbeda halnya ketika Jokowi menghadiri
hajatan Partai Demokrat dan juga PAN. Jokowi dalam menghadiri undangan
partai-partai yang tidak mengusungnya tersebut dalam pemilu 2014 lalu justru
diperlakukan sangat terhormat.
Merawat Hubungan Jokowi-Megawati
Tidak dapat dimungkiri bahwa
hubungan Jokowi-Megawati, sebagai Ketua Umum PDI P, sangat menentukan suskses
tidaknya Jokowi-JK memimpin negeri ini. Oleh karena itu, preseden buruk
terjadinya perbedaan paham antara Jokowi dengan Megawati tidak boleh terulang
lagi karena terbukti hal tersebut mengganggu jalannya pemerintahan Jokowi-JK
dan juga menurunnya popularitas Jokowi tidak terlepas dari keretakan hubungan
tersebut. Oleh karena itu, hubungan Jokowi-Megawati harus dirawat dengan baik
demi kepentinganbangsa dan negara. Megawati
bertugas menjaga ideologi partai dan Jokowi bertugas mengeksekusi
gagasan-gagasan ideologis partai dengan posisinya sebagai kepala negara.
Para ‘pembisik’ Jokowi dan Megawati
harus mewaspadai adanya pihak-pihak tertentu, tidak terkecuali di internal
Partai Banteng tersebut, yang menghendaki retaknya hubungan Jokowi-Megawati
dalam menghadapi pemilihan presiden dan wakil presiden 2019 nantinya. Inilah
yang harus menjadi catatan bagi PDI P dan Jokowi dalam satu tahun pemerintahan
Jokowi-JK.
Masih ada sisa waktu empat tahun
bagi Jokowi-JK untuk memimpin negeri ini. Tentu belumlah terlambat untuk meraih
kesuksesan dan juga mewujudkan janji-janjinya. Oleh karena itu, dalam satu
tahun kepemimpinan Jokowi-JK ini, haruslah dijadikan sebagai momentum untuk
berbenah bagi semua pihak, terutama bagi PDI P dan juga Jokowi-JK. Kesuksesan
Jokowi-JK adalah kesuksesan PDI P perjuangan dalam posisinya sebagai partai
pemenang pemilu yang juga partai pengusung utama duet Jokowi-JK. Sebaliknya,
jika Jokowi-JK gagal dalam lima tahun kepemimpinannya, boleh jadi publik
mengkambing-hitamkan PDI P sehingga dapat berdampak dengan kegagalan partai
titisan Soekarno itu memertahankan kesusksesannya pada pemilihan umum 2014
lalu.
Semoga Jokowi tidak mengikuti jejak
Obama yang gagal mewujudkan ekspektasi besar publik hanya karena diperhadapkan
dengan arus besar!
Ahmad Sahide
Kandidat Doktor Sekolah Pascasarjana, UGM
Dan
Pegiat Komunitas Belajar Menulis (KBM) Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar