Kamis, 26 November 2015

AKU TAK MENGENAL LAGI DEFENISI RASA TAKUT

 AKU TAK MENGENAL LAGI
DEFENISI RASA TAKUT
OLEH NURWAHIDAH A.Md

            Pagi yang mendung, seperti biasanya aku terbangundengan badan yang kaku, memerah. Sebuah karpet hijau, ada princes  dan kerabatnya  tersenyum mekar memegan paku. Masih dirantau berharap di sini bisa diterimakerja, di sebuah Rumah Sakit. Semangat  yang tak pernah pupus, mengharuskan tetap bertahan. Mondar-mandir masukin berkas, dari Sangatta ke Balikpapan, dan sekarang di Samarinda. Sebenarnya aku sudah lelah, jenuh, bosan, pesimis, dan emosi.Andai saja seperti mereka. Mereka yang beruntung tamat wisuda langsung kerja. Tak  seperti diriku langsung nganggur. Tapi aku nggak malu, karena masih banyak sarjana lebih lama dariku. Lama menunggu keajaiban.

Samarinda. Sebuah kota besar yang penduduk tidak terlalu padat.Samping mesjid Islamic Center ada gang kecil nomor 10.  Dekat pohon mangga, rumah panggung yang terbuat dari kayu berwarna hijau.Catnya terkelupasdi sana-sini dimakan ketuaan. Sudah tak jelas warnanya. Jika menaiki tangga harus  pelan. Lebih pelan dari keong. Takut roboh. Rumah kosan yang hanya tiga kamar.
Kamar depan seorang lelaki lajang yang kutak tahu persis namanya. Ia kerja di kantor Bupati. Makhluk apa yang nempel di tubuhnya? Hampir setiap pagi mengantarkan sarapan. Kamar tengah masih kosong. Dan kamar ketiga adalah kamarku. Di sinilah aku masih setia. Setia memegan Handphon, hampir setiap saat ada digenggamanku. Berharap ada panggilan atau s-m-syang masuk.Eghhbukan panggilan ikut interviu melainkan pesan dari indosat. Aku kesal jadinya. Hampir setiap hari begitu. Tak ada pilihan selain sabar.
            Jika ada tawaran kerja sampingan pasti aku mau. Walaupun kerja di bengkel.Tak pernah malu selagi itu masih halal.Sering sekali Mamak memanggilku agar pulang. Beliau sangat khawatir. Apalagi aku masih perawan. Mamak takut jika terjadi hal diluar kendali. Beliau sering nonton berita yang terkait  pelecehan seksual di bawah umur.Sebenarnya aku juga takut, tapi semoga tak menjadi bagian dari mereka. Yang lebih kutakutkan jika aku mati di sini. Ya, mati kelaparan. Uang didompet tinggal limapuluh ribu.Di ATM masih ada, tapi tidak bisa ditarik. Hampir setiap hari  nggak absen beli donat. Donat coklat yang kutelan agar abdomen bisa bertahan sampai keesokan harinya.

            Berbagai alasan yang sudah kulontarkan, dan berusaha meyankinkan  kalau bulan Desember ada panggilan. Lidahku  mulai berbohong. Mungkin karena itu Allah tidak ridho  kepadaku. Sebuah hadits yang masih kusimpan dimemori kecilku. Ridho Allah tergantung dari ridho orang tua. Tapi semoga hal itu tidak tertuju padaku.
            Namaku Nidar. Perempuan yang berumur 21 tahun.Dilahirkan di desa Kindang. Meskipun anak desa tapi tidak betah tinggal di sana. Sehabis kuliah di Yogyakarta masih nekad berkelana. Sering sekali dapat siraman rohani dari kerabat. Agar bisa ubah sifatku yang nekad dan egois. Aku berusaha agar mengubah. Tapikemauan lebih kuat daripada keinginan.
            Hari ini adalah hari jumat.  Aku meringkik kepanasan, akhirnya kuputuskan ke mesjid Islamic Center. Sebuah mesjid terbesar yang pernah kujumpai. Kupajang sepatu kets warna coklat. Pemberian dari kak Chalis. Lelaki lajang yang kutemukan di Sangatta. Dia terlalu baik dan selalu setia mendengar dukaku. Lima menit jalan kaki. Keringat meleleh dibaju kaos merah. Bagian ketetnya basah kuyup. Kutaruh buritku di kramik mesjid. Mengatur napas yang tak beraturan. Badanku semakin loyo, perut pun bertasbih.  Menahan adalah hal yang sering kulakukan. Aku selalu berharap pada Tuhan, agar tetap kuat dan bertahan hidup.
            Matahari, sudah meredupkan cahayanya. Badanku sudah dingin dan damai. Aku terbaring terlentang. Kutatap keramik Mesjid, indah sekali. Seakan-akan sudah di surga Firdaus. Kupejam bola mata. Terdengar vokal, yang tak asing lagi dikupingku. Vokal yang sering kujumpai di Yogyakarta.
                        Nidar!” nada yang tak tahu persis darimana asalnya.
            Aku mulai bingung. Dan pura-pura tak menghiraukan. Nada itu masih terulang. Semakin nyaring.“Sial orang tidur di ganggu.” Dalam benakku. Ah sudahlah sebaiknya aku bangun, sepertinya dia butuh bantuan.
            Sosok yang mamasan baju kokoh putih. Duduk bersila dekat bilik. Tak nampak rautnya. Detak jangtungku tak berdenyut lagi. Mengingatkan pahlawan yang pernah hadir. “Bapak?” Ucapku. Namun, ia tetap bungkam. Mataku mulai berkaca-kaca, ingus bisa kurasakan asingya. Tak sempat melap. Tapi aku memilih bersandar dipilar.
            Bapak sudah tutup usia, tujuh tahun yang lalu. Lah kok bisa nongol di sini?” Ucapku.
                   “Aku membawakanmu makanan.” Ujarnya, pelan. Memutar badannya ke arahku.

            Kutelan air ludah berulang kali. Apakah Tuhan menghidupkan orang yang sudah mati?. Apapun yang terjadi di dunia ini kalau dihendaki pasti terjadi. Kujawab pertanyaan yang seharusnya kutahu jawabannya. Sedikit takut dan heran.Tapi aku bahagia bisa melihatnya. Setidaknya Bapak datang menambal lukaku.
                   “Kamu naik apa kemari Nak?” Tanya Bapak.                       
                   “Jalan kaki.” Jawabku, sambari membuka kotak yang ia bawa.
                   “Kamu terlalu berani.”
                   Apa ini buatan Bapak?” Aku mendesak.
           Bapak hanya mengangguk kecil. Menatap busana yang kupake. Saat aku mengunyah makananku begitu lahap. Bapak berkata.” Bapak, mengkhawatirkanmu.” Sontak aku menghentikan makan dan berhenti mengunyah.
                   Masih saperti kemarin. Tak ada yang berubah. Masih nekad. Bapak senang                                karena kamu berani. Semoga kamu bisa menggantikan Bapak sebagai pahlawan.            Ujar Bbapak, ia mengupas senyum. Aku pun semakin semangat, mendengar kata                           pahlawan.
                   “Tapi, aku masih takut. Takut dengan kesepian. Tak ada kerabat di sini.” Ucapku                          melemah.
            Kotak nasi, dipenuhi air bening. Sudah nggak mood mengunyah. Aku pengen bersandar dipundaknya. Membagi cerita.
                   Sudahlah. Bapak paham dengan kondisimu sekarang Nak. Bapak tak mau melihat                      selalu ada duka diranting jiwamu. Berjuanglah di sini. Jangan pulang kalo belum                          sukses. Takut adalah awal dari kata gagal.” Ucap Bapak. Wajah simpati.
            Aku hanya tunduk, mengigit bibir atas. Keheningan terjadi satu menit. Aku masih menunggu nasehat. Namun, hanya suara adzan yang kudengar. “Allahuakbar Allahu Akbar.”
Aku tersentak bangun dari lantai mesjid. Badanku semakin dingin. Aku mencari Bapak, kuputar lehar ke kanan. Ada mahasiswi baca buku. Kuputar lagi ke kiri. Rombongan anak yatim menuju tempat wudhu. Bola mata tetap mencari Bapak yang tiba-tiba menghilang.Tanganku berkeringat, akupun mencari kotak nasi.  Benar tidak ada. Ternyata hanya mimpi. Mungkin Bapak datang hanya simpati kepadaku. Biar aku tidak takut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar