AKU TAK MENGENAL LAGI
DEFENISI RASA TAKUT
OLEH NURWAHIDAH A.Md
Pagi yang mendung, seperti biasanya aku terbangundengan badan yang kaku, memerah. Sebuah karpet hijau, ada princes dan kerabatnya tersenyum mekar memegan paku. Masih dirantau berharap
di sini bisa diterimakerja, di sebuah Rumah Sakit. Semangat yang tak pernah pupus, mengharuskan tetap bertahan. Mondar-mandir masukin berkas, dari
Sangatta ke Balikpapan, dan sekarang
di Samarinda. Sebenarnya aku sudah lelah, jenuh, bosan, pesimis,
dan emosi.Andai saja
seperti mereka.
Mereka yang beruntung
tamat wisuda langsung kerja. Tak seperti diriku langsung nganggur. Tapi
aku nggak malu, karena masih banyak sarjana lebih lama dariku. Lama menunggu keajaiban.
Samarinda. Sebuah kota besar yang penduduk tidak terlalu padat.Samping mesjid Islamic Center ada gang kecil nomor 10. Dekat pohon mangga, rumah panggung yang terbuat dari kayu berwarna
hijau.Catnya terkelupasdi sana-sini dimakan ketuaan. Sudah tak
jelas warnanya. Jika menaiki tangga harus pelan. Lebih pelan
dari keong. Takut roboh. Rumah kosan yang hanya tiga kamar.
Kamar depan seorang lelaki lajang
yang kutak tahu persis namanya. Ia kerja di kantor Bupati. Makhluk apa yang nempel di tubuhnya? Hampir setiap pagi mengantarkan sarapan. Kamar tengah masih kosong. Dan kamar ketiga
adalah kamarku. Di
sinilah aku masih setia. Setia memegan Handphon, hampir setiap saat ada digenggamanku.
Berharap ada panggilan atau s-m-syang masuk.Eghhbukan panggilan ikut interviu melainkan pesan dari indosat. Aku kesal jadinya. Hampir
setiap hari begitu.
Tak ada pilihan selain sabar.
Jika ada tawaran kerja sampingan pasti aku mau.
Walaupun kerja di bengkel.Tak pernah malu selagi itu masih halal.Sering sekali Mamak memanggilku agar pulang. Beliau sangat khawatir. Apalagi aku masih perawan. Mamak takut jika terjadi hal diluar kendali. Beliau sering nonton berita yang
terkait pelecehan seksual di bawah umur.Sebenarnya aku juga takut, tapi semoga
tak menjadi bagian
dari mereka. Yang lebih
kutakutkan jika aku mati di sini. Ya, mati kelaparan. Uang didompet tinggal limapuluh ribu.Di ATM masih ada, tapi tidak bisa ditarik. Hampir setiap hari nggak absen beli donat. Donat coklat yang kutelan agar abdomen bisa bertahan
sampai keesokan
harinya.
Berbagai alasan yang sudah kulontarkan, dan berusaha meyankinkan kalau bulan Desember ada
panggilan.
Lidahku mulai berbohong. Mungkin karena itu Allah tidak ridho kepadaku. Sebuah hadits yang masih kusimpan
dimemori kecilku. “Ridho Allah tergantung dari
ridho orang tua.” Tapi semoga hal itu tidak tertuju padaku.
Namaku Nidar. Perempuan yang berumur 21 tahun.Dilahirkan di desa Kindang. Meskipun anak desa tapi tidak betah tinggal di sana. Sehabis kuliah di Yogyakarta masih nekad berkelana. Sering sekali dapat siraman
rohani dari kerabat. Agar bisa ubah sifatku yang
nekad dan egois. Aku
berusaha agar
mengubah. Tapikemauan
lebih kuat daripada keinginan.
Hari ini adalah hari jumat. Aku
meringkik kepanasan, akhirnya kuputuskan ke mesjid Islamic Center. Sebuah mesjid terbesar yang pernah kujumpai. Kupajang sepatu kets warna coklat. Pemberian dari kak Chalis.
Lelaki lajang yang kutemukan di Sangatta. Dia terlalu baik dan selalu setia mendengar dukaku. Lima menit jalan kaki. Keringat meleleh dibaju
kaos merah. Bagian
ketetnya basah kuyup.
Kutaruh buritku di
kramik mesjid.
Mengatur napas yang tak beraturan. Badanku semakin loyo, perut pun bertasbih. Menahan adalah hal yang sering
kulakukan. Aku selalu berharap pada Tuhan, agar tetap kuat dan bertahan hidup.
Matahari, sudah meredupkan cahayanya. Badanku sudah dingin dan damai. Aku
terbaring terlentang. Kutatap keramik Mesjid, indah sekali. Seakan-akan sudah di surga Firdaus. Kupejam bola mata. Terdengar vokal,
yang tak asing lagi
dikupingku. Vokal yang sering kujumpai di Yogyakarta.
“Nidar!” nada yang tak tahu persis darimana asalnya.
Aku mulai bingung. Dan pura-pura tak menghiraukan. Nada itu masih terulang. Semakin nyaring.“Sial orang tidur di
ganggu.” Dalam benakku. Ah sudahlah sebaiknya aku bangun, sepertinya dia butuh bantuan.
Sosok yang mamasan baju kokoh putih. Duduk bersila dekat bilik. Tak nampak rautnya. Detak jangtungku tak berdenyut lagi. Mengingatkan pahlawan yang pernah hadir. “Bapak?” Ucapku. Namun, ia tetap bungkam. Mataku mulai berkaca-kaca, ingus bisa kurasakan asingya. Tak sempat melap. Tapi aku memilih bersandar dipilar.
“Bapak sudah
tutup usia, tujuh tahun yang lalu. Lah kok bisa nongol di sini?” Ucapku.
“Aku
membawakanmu makanan.”
Ujarnya, pelan.
Memutar badannya ke
arahku.
Kutelan air ludah berulang kali. Apakah Tuhan menghidupkan orang yang sudah mati?. Apapun yang terjadi di dunia ini kalau dihendaki pasti terjadi. Kujawab pertanyaan yang seharusnya kutahu jawabannya. Sedikit takut dan heran.Tapi aku bahagia bisa melihatnya. Setidaknya Bapak datang menambal lukaku.
“Kamu naik apa kemari Nak?” Tanya Bapak.
“Jalan kaki.” Jawabku,
sambari membuka kotak yang ia bawa.
“Kamu terlalu berani.”
“Apa ini buatan Bapak?” Aku mendesak.
Bapak hanya mengangguk kecil. Menatap busana yang kupake. Saat aku mengunyah makananku begitu lahap. Bapak berkata.” Bapak, mengkhawatirkanmu.” Sontak aku menghentikan makan dan berhenti
mengunyah.
“Masih saperti kemarin. Tak ada yang berubah. Masih nekad. Bapak senang karena kamu berani. Semoga kamu bisa menggantikan Bapak
sebagai pahlawan.” Ujar Bbapak, ia mengupas senyum. Aku pun semakin semangat,
mendengar kata pahlawan.
“Tapi, aku masih takut. Takut dengan kesepian. Tak ada kerabat di sini.” Ucapku melemah.
Kotak nasi, dipenuhi air bening. Sudah nggak mood mengunyah. Aku pengen bersandar dipundaknya. Membagi cerita.
“Sudahlah. Bapak paham dengan kondisimu sekarang
Nak. Bapak tak mau
melihat selalu ada duka diranting
jiwamu. Berjuanglah
di sini. Jangan pulang kalo belum sukses. Takut adalah awal dari
kata gagal.” Ucap
Bapak. Wajah simpati.
Aku hanya tunduk, mengigit bibir atas. Keheningan terjadi satu menit. Aku masih menunggu
nasehat. Namun, hanya suara adzan yang
kudengar. “Allahuakbar Allahu
Akbar.”
Aku tersentak bangun dari
lantai mesjid. Badanku semakin dingin. Aku mencari Bapak, kuputar lehar ke kanan. Ada mahasiswi baca buku. Kuputar lagi ke kiri.
Rombongan anak yatim
menuju tempat wudhu. Bola mata tetap mencari Bapak yang tiba-tiba menghilang.Tanganku berkeringat, akupun mencari kotak nasi. Benar tidak ada. Ternyata hanya mimpi. Mungkin
Bapak datang hanya simpati kepadaku. Biar aku tidak takut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar