Minggu, 09 November 2014

Benturan Dua Kekuatan



Benturan Dua Kekuatan
Darwin

Nilai Pancasila terkikis dalam praktik politik:
Garudanya saja habis dicat merah! (sindiran Mang Usil dalam Kompas, 3/10/2014)
Adu kekuatan dua kubu di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) membuat hiruk ruang rapat gedung wakil rakyat, Senayan, Kamis-Jumat, 25-26 September lalu. Diputuskanlah Undang-Undang yang penuh kontroversi, yakni pemilihan kepala daerah (pilkada) diserahkan sepenuhnya ke tangan DPRD. Dalam hal ini, kubu Merah Putih leluasa memenangkan voting mengalahkan kubu Indonesia Hebat, 226 berbanding 135 suara. Ruang rapat Senayan bertambah dramatis berkat ulah para politisi Demokrat yang meninggalkan tempat.
            Inilah kisah yang menjadi perbincangan seluruh masyarakat, dari kota hingga pelosok desa, dari kalangan elite maupun rakyat biasa hingga  hari ini. Namun, hemat penulis, masyarakat Indonesia terlalu memusatkan perhatian pada persoalan pilkada langsung atau tidak. Padahal ada peristiwa unik lain di balik drama di gedung DPR itu. Apakah gerangan?
            Dari 226 suara anggota DPR yang memilih pilkada tak langsung (melaui DPRD), 73 di antaranya adalah suara Partai Golkar—yang lain PKS 55, PAN 44, PPP 32, dan Gerindra 22 suara—(Kompas, 27/9/2014). Suara Golkar tentu saja tidak bulat mendukung pilkada tidak langsung. Ada 11 suara yang berseberangan dengan kelompok koalisi yang diindikasikan sebagai belas dendam ini. Sebelas suara inilah yang menarik bagi penulis. Siapa sajakah mereka? Ada nama-nama semcam Nusron Wahid, Poempida Hidayatullah, Agus Gumiwang Kartasasmita, Emil Abeng, Gusti Iskandar, Nudirman Munir, Taufik Hidayat, Chairuman Harahap, Neil Iskandar, Oheo Sinapoy, dan ketua DPD Golkar Jawa Timur, Zainudin Amali.
            Mekipun penulis tidaklah menyoal apakah pilkada dilakukan secara langsung atau tidak, yang paling penting ada politisi yang masih mempunyai hati nurani di tengah kerumunan politisi egois di lingkaran elite negara kita. Nusron Wahid dan kawan-kawan di atas berani berbeda dengan apa yang digariskan oleh partai mereka. Sangatlah langka di zaman digital ini ada politisi yang berani berpikiran di luar arus utama. Umumnya yang kita jumpai adalah politisi penurut yang tingkah pola mereka tidak jauh-jauh dari ksabda pimpinan partai. Misalnya, apa yang terjadi di Partai Demokrat saat Rapar Paripurna DPR itu. Ratusan anggota Fraksi Demokrat walk out (WO). Pimpinan fraksi Nurhayati Ali Assegaf memerintahkan aksi WO berkat izin bos besar Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Salah satu politisi Demokrat, Ruhut Sitompul mengatakan aksi WO ini mendapat persetujuan SBY yang tengah berada di Washington, Amerika Serikat (Kompas, 27/9/2014).
            Tentu saja ada wacana berbeda di internal Demokrat. Sebagian kader Demokrat di DPR juga meniru sebelas kader Golkar yang menyetujui pilkada langsung. Dalam catatan ada enam kader yang memilih opsi ini. Namun, nama mereka belum bisa penulis lacak.
            Sebagai pelengkap cerita, ada peristiwa lain yang juga menarik didedahkan di sini, tentunya masih seputar ulah para legislator yang ada di Senayan. Ceritanya ada pada kaum “sakit hati”, yakni koalisi Merah Putih. Semua pimpinan lembaga DPR diambil alih oleh (lagi-lagi) kelompok Merah Putih. Ketua DPR terpilih adalah Setya Novanto (Fraksi Golkar), dengan pendamping Fadli Zon (Gerindra), Fahri Hamzah (PKS), Taufik Kurniawan (PAN), Agus Hermanto (Demokrat). Koalisi Indonesia Hebat tentu saja hanya bisa pasrah sambil geleng-geleng kepala karena dikalahkan berturut-turut oleh koalisi Merah Putih.
            Dengan demikian, ada dua hal yang bertolak belakang dalam fenomena para wakil rakyat di atas.  Di satu sisi ada para politisi yang masih peduli dengan apa yang dimaui rakyat, di sisi lain ada pula politisi yang mementingkan kuasa walaupun itu menafikan hak-hak rakyat yang mereka wakili. Dua fenomena yang patut disorot dalam lanskap politik terkini!

Masyarakat Sipil dan Politisi Peduli
Betapa pun kuatnya negara (kelompok elite) menghegemoni percaturan politik Tanah Air, hemat penulis tetap saja kekuatan civil society menjadi nomor satu. Banyak contoh sebagai penguat tesis ini. Ada tragedi Cicak versus Buaya, kasus Prita, dan yang mutakhir adalah berkumpulnya kekuatan civil society yang termanifestasikan dalama relawan pendukung Jokowi-JK. Yang paling hangat lagi adalah heboh permainan cantik yang dilakukan oleh SBY. Yakni kasus berkelitnya para politisi Demokrat di DPR dengan melakukan WO yang tentu saja atas izin pimpinan, siapa lagi kalau bukan SBY.
            Tentu saja masyarakat sipil tidak terima dengan permainan ala SBY ini. Sontak saja gerakan dunia maya mem-bully Sang Presiden. Tagar #ShameOnYouSBY pun menjadi trending topic. Protes disertai kritik tanpa ampun tertuju kepada presiden yang gemar bermain citra ini. Ada yang mengkritisi secara santun, tapi tidak sedikit yang menghujat apa yang dilakukan SBY atas sikap plin-plan yang dilakukannya terkait UU Pilkada ini.
            Nah, di tengah kekuatan masyarakat sipil inilah dibutuhkan politisi yang juga menuruti kemauan rakyat banyak, bukan politisi yang menjauh dari rakyat. Sebenanya beberapa tahun belakangan muncul para politisi penopang kekuatan sipil ini. Beberapa partai “menetaskan telurnya”. Muncullah para pemimpin idaman di berbagai daerah seperti sering disebut. Ada Ibu Risma di Surabaya, Jokowi di Solo, Ahok di Belitung. Yang lain bertebaran di Jembrana, Bantaeng, Banyuwangi, Bandung, Bogor, Kebumen, dan negeri lain di Tanah Air. Di Pusat, muncul para keder partai  semacam Lili Wahid, Effendy Choirie (PKB), Budiman Sujatmiko, Ganjar Pranowo (PDI-P), Yuddy Chrisnandy (Golkar, sekarang hijrah ke Hanura), atau almarhum Suhardi yang santun di Gerindra. Sekarang, ada sebelas kader yang patut kita apresiasi dari partai Golkar di atas, meskipun itu tidaklah merepresentasikan apakah mereka betul-betul peduli bangsa atau tidak. Tapi, yang paling penting ada ihtikad baik dari mereka.
            Sekali lagi, inilah era kekuatan masyarakat sipil. Era politisi peduli, santun, dan bekerja demi kepentingan orang banyak. Bukan zamannya lagi politisi sekarang sibuk dengan kepentingan sendiri, kelompok, atau golongan. Fenomena koalisi Merah Putih yang keterlaluan di DPR hemat penulis akan tergerus dengan sendirinya oleh penolakan rakyat terhadap mereka. Lihat saja seorang Amin Rais,misalnya,  yang tidak mempunyai wibawa lagi di mata rakyat banyak, padahal dulu beliau katanya adalah tokoh perubahan (Reformasi). Jadi, jika mau selamat dari bully yang itu dikomandoi kekuatan rakyat, segeralah bertobat wahai para politisi kelompok pembjak negara! Jangan malah mengincar semua posisi di lembaga legislatif. Pimpinan MPR memang empuk. Tapi amanah rakyat jangan diabaikan!
            Kembali ke kutub yang berseberangan tadi.  Ke depan, benturan dua kekuatan antara politisi yang didukung masyarakat sipil dan politisi pembajak negara ini akan terus terjadi. Kekuasaan itu sungguh menggoda. Ia akan selalu menyertai perjalanan negara menuju cita-citanya. Bagi kita, tinggal mengamankan kekuatan sipil ini agar tidak diringsek oleh kekuatan negara yang tecermin dalam koalisi Merah Putih itu. Demikian! Wallahu a’lam bi al-shawab. *** Okt 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar