Sabtu, 06 September 2014

Wafatnya Penulis Besar



Wafatnya Penulis Besar
Darwin
Saya menjadikan Gabo—Gabriel Garcia Marquez—
sebagai salah satu penulis terbaik yang saya kagumi
dan saya putus asa karena ia terlalu bagus
(AS Laksana, Jawa Pos 20/4/2014).
Ketika kita membincangkan nama Marquez, pikiran kita pasti tertuju kepada pebalap MotoGP, Marc Marquez yang tahun lalu menjuarai balap motor paling bergengsi itu. Ditambah lagi di 2014, Marquez membalap dengan daya pikat yang aduhai. Pebalap Spanyol ini menjuarai 2 seri berturut-turut, yakni di Qatar dan Amerika Serikat. Padahal, tentu saja ada nama besar lain yang ujung namanya juga menggunakan Marquez, ia tak lain adalah Gabriel Marquez. Siapakah orang ini?
            Gabriel Garcia Marquez—selanjutnya Marquez saja—, demikian nama lengkapnya. Mungkin Marquez yang satu ini tidak familiar di telinga kita. Ia  adalah seorang sastrawan besar yang menghuni planet ini. Nobel sastra pada tahun 1982 menjadi bukti kegigihannya dalam menulis. Menulis bagi Marquez adalah panggilan hidup, maka dari jari-jarinya lahirlah novel-novel yang menghentak jagat sastra dunia, seperti One Hundred Years of Solitude (1971), Chronicle of a Death Foretold (1983), Autum of the Patriarch (1976), Innocent Erendira and Other Stories (1968), dan lainnya.
            Mengapa novelis asal Kolombia ini perlu diingat, didiskusikan, atau paling tidak sedikit ditelisik perjalanan hidupnya? Jawabannya adalah sebagai upaya mengabadikan tokoh besar, apalagi Marquez ini adalah seorang penulis. Ditambah lagi predikat yang melekat padanya, penulis besar dengan karya besar pula.
            Selain hal di atas, tulisan ini mengangkat sosok Marquez tak lain karena penulis kelahiran Kolombia, 6 Maret 1927 silam ini, baru saja menghadap Sang Pemilik Semesta pada Jumat, 18 April lalu di Meksiko City, Meksiko, akibat komplikasi penyakit yang diidapnya, salah satunya kanker, dan di masa tuanya kepikunan ikut menderanya.
Dunia sastra tentu saja berduka atas perginya sang penulis yang identik dengan genre “realisme magis” ini. Para kepala negara seperti Obama dari AS, Hollande (Perancis), Roussef (Brasil), Santos (Kolombia), Pena Nieto (Meksiko), dan pemberontak Kolombia juga tak ketinggalan mengirimkan belasungkawanya (Kompas, 19/4/2014).
            Selain politisi, para aktor Hollywood, penulis, dan surat kabar dunia juga bersedih atas kepergian penulis terbesar Amerika Latin ini. Surat kabar tenar semacam Liberation/Perancis, El Pais/Kolombia, dan El Territorio/Argentina menjadikan Marquez sebagai headline (Pitono, Jawa Pos/20/4/2014). Amerika Latin secara emosional tentunya sangatlah dekat dengan sosok Marquez. Ia lahir di Kolombia, tapi terusir dari negara itu. Mirip novelis besar lain, Franz Kafka yang lahir di Ceko, namun harus mengungsi ke Perancis karena pemerintahnya tidak menyukainya. Di Indonesia, dengan nasib agak mirip, ada Pramoedya Ananta Toer yang menderita karena perlakuan Pemerintah Orde Baru, meskipun ia tidak diasingkan ke luar negeri, namun di sebuah tempat di mana manusia tidak ada artinya di sana, yakni Pulau Buru, selama puluhan tahun.  
Marquez terusir dari Kolombia dan mendapatkan suaka di Meksiko karena kritik-kritik pedasnya terhadap pemerintah Kolombia. Tidak hanya pemerintah Kolombia yang merah telinga, pemerintah AS juga mendapatkan terapi kejut dari penulis yang sering dipanggil Gabo ini. Akibatnya bertahun-tahun Marquez dilarang menghampiri Negara AS.
Di sinilah dedikasinya terhadap kemanusiaan tersua. Kita tahu Amerika Latin dari dulu selalu dihantui oleh kemiskinan, kriminalitas, dan ditambah lagi pemerintahan yang otoriter. Jadilah tanah Amerika Latin menjadi bahan tulisan seorang Marquez, maka jenis tulisannya adalah realisme magis. Berangkat dari penderitaan dan ketertindasan masyarakat kecil.
Karyanya yang sangat populer adalah Cien anos de Soledad/One Hundred Years of Solitude. Di Indonesia novel ini diterbitkan Bentang Pustaka dengan judul Seratus Tahun Kesunyian (2007). Karya ini sangat memikat karena menceritakan tentang sebuah kota bernama Macondo yang terasing dari peradaban. Hanya para pengembara yang menghampiri kota ini. Di akhir cerita kota ini mengalami kehancuran. Melalui novel inilah ia mengritik status quo, sekaligus membela kaum subaltern (kelompok marjinal).
Novel ini sangat memikat mungkin karena proses terciptanya sungguh tidak mudah. Dalam catatan, novel ini ditulis selama 18 bulan yang melelahkan pada tahun 1965 hingga 1966. Ia terpaksa hidup dari pinjaman uang teman-temannya, dan lebih tragis lagi perabot milik istrinya juga terpaksa digadaikan (Kompas/19/4/2014). Namun, kepedihan hidup Marquez tertebus oleh meledaknya penjualan novel ini. Puluhan juta kopi karya yang menginspirasi dunia ini laku di pasaran, dan pada 1982 nama Marquez dipuja-puja dunia karena kehadirannya di Forum Nobel Swedia.
Satu lagi yang mengagumkan dari seorang Marquez. Ia menolak duduk di kursi empuk kekuasaan. Jabatan penting seperti presiden dan duta besar ditolaknya. Bandingkan dengan Indonesia kontemporer, di mana orang-orang berebutan berburu jabatan. Semua orang ingin menjadi pemimpin rakyat, tanpa memedulikan yang namanya etika. Maka dijumpailah orang-orang yang saling sikut satu sama lain, mengambil yang bukan haknya, dan perilaku buruk khas politisi lainnya. Agaknya Marquez bisa menjadi teladan kita semua, terutama para politisi kita yang haus kuasa itu.
Selamat jalan, Gabo! Tulisanmu akan selalu dikenang sepanjang Bumi terentang! Wallahu a’lam bi al-shawab.
April 2014
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar