Wafatnya Penulis Besar
Darwin
Saya
menjadikan Gabo—Gabriel Garcia Marquez—
sebagai
salah satu penulis terbaik yang saya kagumi
dan
saya putus asa karena ia terlalu bagus
(AS Laksana, Jawa Pos 20/4/2014).
Ketika
kita membincangkan nama Marquez, pikiran kita pasti tertuju kepada pebalap
MotoGP, Marc Marquez yang tahun lalu menjuarai balap motor paling bergengsi
itu. Ditambah lagi di 2014, Marquez membalap dengan daya pikat yang aduhai.
Pebalap Spanyol ini menjuarai 2 seri berturut-turut, yakni di Qatar dan Amerika
Serikat. Padahal, tentu saja ada nama besar lain yang ujung namanya juga
menggunakan Marquez, ia tak lain adalah Gabriel Marquez. Siapakah orang ini?
Gabriel Garcia Marquez—selanjutnya
Marquez saja—, demikian nama lengkapnya. Mungkin Marquez yang satu ini tidak
familiar di telinga kita. Ia adalah
seorang sastrawan besar yang menghuni planet ini. Nobel sastra pada tahun 1982
menjadi bukti kegigihannya dalam menulis. Menulis bagi Marquez adalah panggilan
hidup, maka dari jari-jarinya lahirlah novel-novel yang menghentak jagat sastra
dunia, seperti One Hundred Years of
Solitude (1971), Chronicle of a Death
Foretold (1983), Autum of the
Patriarch (1976), Innocent Erendira
and Other Stories (1968), dan lainnya.
Mengapa novelis asal Kolombia ini
perlu diingat, didiskusikan, atau paling tidak sedikit ditelisik perjalanan
hidupnya? Jawabannya adalah sebagai upaya mengabadikan tokoh besar, apalagi
Marquez ini adalah seorang penulis. Ditambah lagi predikat yang melekat
padanya, penulis besar dengan karya besar pula.
Selain hal di atas, tulisan ini
mengangkat sosok Marquez tak lain karena penulis kelahiran Kolombia, 6 Maret
1927 silam ini, baru saja menghadap Sang Pemilik Semesta pada Jumat, 18 April
lalu di Meksiko City, Meksiko, akibat komplikasi penyakit yang diidapnya, salah
satunya kanker, dan di masa tuanya kepikunan ikut menderanya.
Dunia
sastra tentu saja berduka atas perginya sang penulis yang identik dengan genre “realisme
magis” ini. Para kepala negara seperti Obama dari AS, Hollande (Perancis),
Roussef (Brasil), Santos (Kolombia), Pena Nieto (Meksiko), dan pemberontak Kolombia
juga tak ketinggalan mengirimkan belasungkawanya (Kompas, 19/4/2014).
Selain politisi, para aktor
Hollywood, penulis, dan surat kabar dunia juga bersedih atas kepergian penulis
terbesar Amerika Latin ini. Surat kabar tenar semacam Liberation/Perancis, El Pais/Kolombia,
dan El Territorio/Argentina menjadikan
Marquez sebagai headline (Pitono, Jawa
Pos/20/4/2014). Amerika Latin secara emosional tentunya sangatlah dekat
dengan sosok Marquez. Ia lahir di Kolombia, tapi terusir dari negara itu. Mirip
novelis besar lain, Franz Kafka yang lahir di Ceko, namun harus mengungsi ke
Perancis karena pemerintahnya tidak menyukainya. Di Indonesia, dengan nasib
agak mirip, ada Pramoedya Ananta Toer yang menderita karena perlakuan
Pemerintah Orde Baru, meskipun ia tidak diasingkan ke luar negeri, namun di sebuah
tempat di mana manusia tidak ada artinya di sana, yakni Pulau Buru, selama
puluhan tahun.
Marquez
terusir dari Kolombia dan mendapatkan suaka di Meksiko karena kritik-kritik
pedasnya terhadap pemerintah Kolombia. Tidak hanya pemerintah Kolombia yang
merah telinga, pemerintah AS juga mendapatkan terapi kejut dari penulis yang
sering dipanggil Gabo ini. Akibatnya bertahun-tahun Marquez dilarang
menghampiri Negara AS.
Di
sinilah dedikasinya terhadap kemanusiaan tersua. Kita tahu Amerika Latin dari
dulu selalu dihantui oleh kemiskinan, kriminalitas, dan ditambah lagi
pemerintahan yang otoriter. Jadilah tanah Amerika Latin menjadi bahan tulisan
seorang Marquez, maka jenis tulisannya adalah realisme magis. Berangkat dari
penderitaan dan ketertindasan masyarakat kecil.
Karyanya
yang sangat populer adalah Cien anos de
Soledad/One Hundred Years of Solitude.
Di Indonesia novel ini diterbitkan Bentang Pustaka dengan judul Seratus Tahun Kesunyian (2007). Karya
ini sangat memikat karena menceritakan tentang sebuah kota bernama Macondo yang
terasing dari peradaban. Hanya para pengembara yang menghampiri kota ini. Di
akhir cerita kota ini mengalami kehancuran. Melalui novel inilah ia mengritik status quo, sekaligus membela kaum subaltern (kelompok marjinal).
Novel
ini sangat memikat mungkin karena proses terciptanya sungguh tidak mudah. Dalam
catatan, novel ini ditulis selama 18 bulan yang melelahkan pada tahun 1965
hingga 1966. Ia terpaksa hidup dari pinjaman uang teman-temannya, dan lebih tragis
lagi perabot milik istrinya juga terpaksa digadaikan (Kompas/19/4/2014). Namun, kepedihan hidup Marquez tertebus oleh
meledaknya penjualan novel ini. Puluhan juta kopi karya yang menginspirasi
dunia ini laku di pasaran, dan pada 1982 nama Marquez dipuja-puja dunia karena
kehadirannya di Forum Nobel Swedia.
Satu
lagi yang mengagumkan dari seorang Marquez. Ia menolak duduk di kursi empuk
kekuasaan. Jabatan penting seperti presiden dan duta besar ditolaknya.
Bandingkan dengan Indonesia kontemporer, di mana orang-orang berebutan berburu
jabatan. Semua orang ingin menjadi pemimpin rakyat, tanpa memedulikan yang
namanya etika. Maka dijumpailah orang-orang yang saling sikut satu sama lain,
mengambil yang bukan haknya, dan perilaku buruk khas politisi lainnya. Agaknya
Marquez bisa menjadi teladan kita semua, terutama para politisi kita yang haus
kuasa itu.
Selamat
jalan, Gabo! Tulisanmu akan selalu dikenang sepanjang Bumi terentang! Wallahu a’lam bi al-shawab.
April
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar