Menyemai
Ruh Kebangkitan
(Catatan
Hari Kemerdekaan)
Ahmad
Sahide
17 Agustus, hari kemerdekaan, selalu
dirayakan dengan meriah. Hari kemerdekaan itu dirayakan dengan upacara penaikan
bendera serta berbagi macam lomba yang melibatkan masyarakat luas, mulai dari
kota-kota besar sampai pada pelosok-pelosok Tanah Air. Hari itu, Sang Saka
Merah Putih menghiasi jalan-jalan yang mengingatkan kita akan semangat
perjuangan para pendahulu untuk meraih keemerdekaan yang kita rayakan setiap
tahunnya. Mengingatkan kita bahwa kemerdekaan itu direbut dengan darah dan
semangat kebangsaan yang suci. Tercatat bahwa 17 Agustus kali ini adalah
perayan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-69. Presiden
Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dalam Pidato Kenegaraannya di depan Parlemen pada
hari Jum’at lalu, 15 Agustus 2014, menyebutkan sejumlah capaian dan prestasi.
Misalnya, Indonesia disebut terus mencapai pertumbuhan ekonomi relatif tinggi
selama periode kedua pemerintahannya, rata-rata 5,9 persen, Indonesia juga
telah melunasi utang ke Dana Moneter Internasional (IMF) sebelum tenggat waktu
yang ditentukan, dan capaian lainnya adalah Indonesia diakui menjadi anggota
G-20, indikasi perekonomian negara dalam perekonomian dunia (Kompas, 16/08/2014). Pertanyaannya,
apakah sejumlah capaian itu sebagai pertanda kebangkitan Indonesia sebagai
bangsa dan negara yang siap bersaing dengan negara-negara lainnya, terutama
dengan negara-negara Barat?
Kebangkitan Budaya Ilmu
Tanpa bermaksud menafikan dan
memandang sebelah mata capaian angka-angka kemajuan yang telah ditorehkan oleh
Presiden SBY di atas selama kepemimpinannya, hanya saja segala capaian
angka-angka tersebut bukanlah ruh dari kebangkitan itu sendiri untuk bisa
bangkit dan bersaing dengan negara-negara maju lainnya. Ruh dari kebangkitan
itu, hemat penulis, adalah bangkitnya budaya ilmu.
Semoga saja kita tidak lupa (tidak
tahu) sejarah bahwa awal kebangkitan Barat adalah dimulai dari kebangkitan
budaya ilmu. Barat bangkit dari ketertinggalannya karena mengambil budaya ilmu dari
Timur (Islam), bahkan menghancurkannya dengan tragedi pembakaran buku-buku di
perpustakaan Baghdad (Irak) pada tahun 1258 M. Menarik merekam apa yang
dikatakan oleh Bernard Lewis bahwa Barat mengejar ketertinggalannya dari Timur
(Islam) dengan membangun sains dan ilmu pengetahuan, meng-instutionalization of doubt. Ada semangat keingintahuan yang terbangun dengan kuat, dan itulah
budaya ilmu.
Itulah ruh kebangkitan Barat dalam mengejar
ketertinggalannya sehingga hari ini muncul sebagai kekuatan yang memimpin
dunia. Dari lima negara yang menjadi anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (DK PBB), Barat mendominasi dan hanya China (Tiongkok) yang
berasal dari Asia (Timur). Sekali lagi, kebangkitan tersebut dimulai dengan
bangkitnya budaya ilmu, bukan dengan bertambahnya angkat-angka yang disampaikan
oleh para pejabat dalam upacara-upacara resmi kenegaraan.
Sebagai catatan dari perayaan hari kemerdekaan tahun
ini, penulis hendak berbagi keresahan bahwa selagi kita bangsa Indonesia tidak
mampu menyaingi atau bahkan melebihi dari budaya ilmu Barat, maka sampai
kapanpun kita akan menjadi bangsa dan negara pengikut dari mereka (Barat).
Sebagai contoh dari kuatnya tradisi ilmu Barat,
penulis akan menceritakan secara singkat tentang Philip Khore Hitti. Hitti,
yang lahir pada 1886 di Lebanon dan hidup di hampir semua negara bagian Amerika
Serikat sampai akhirnya meninggal pada 1978, menuliskan sebuah buku History of the Arabs yang monumental dan
menjadi mahakarya dalam dunia keilmuan. Ini adalah buku sejarah Islam yang
terlengkap dan menjadi buku yang paling banyak dikutip untuk bicara keislaman.
Buku dengan ketebalan kurang lebih seribu halaman ini ditulis oleh Hitti kurang
lebih sepuluh tahun lamanya. Begitulah budaya ilmu Barat melahirkan Hitti sehingga
mampu melahirkan karya besar untuk dunia.
Contoh lainnya yang lebih dekat adalah M.C.
Ricklefs, Direktur Sokolah Penelitian tentang Kajian Asia dan Pasifik dari
Australian National University. Ricklefs menulis buku yang cukup lengkap
tentang Indonesia dengan judul Sejarah
Indonesia Modern 1200-2004. Ketebalan buku ini kurang lebih 800 halaman.
Penulis berani melakukan klaim bahwa bagi peneliti yang akan menulis tentang
Indonesia dan sejarahnya, buku ini tentu menjadi salah satu buku referensi
utama.
Apabila kedua buku di atas melahirkan pertanyaan
menggelitik di benak kita bahwa mengapa mesti buku yang dilahirkan oleh orang
Barat yang menjadi rujukan utama, bahkan ketika hal itu berbicara tentang kita?
Jawabannya hanya satu, mereka (Barat) memiliki budaya ilmu yang jauh lebih kuat
dari kita. Itulah yang membuat mereka muncul sebagai kekuatan yang memimpin
dunia dengan gagasan-gagasan mereka. Hal itu karena mereka serius melahirkan
karya (ilmu) bukan untuk sertifikasi semata, tetapi demi sumbangsih pada
perkembangan keilmuan dan peradaban.
Semoga perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) kemerdekaan
kita yang ke-69 ini menjadi awal kebangkitan Indonesia di mana semua itu
dimulai dengan kebangkitan budaya ilmu. Budaya ilmu yang mampu menyaingi bahkan
melebihi budaya ilmu Barat. Itulah syrata mutlak untuk bisa bangkit dan
bersaing dengan bangsa-bangsa lain (Barat)!
Ahmad Sahide
Yogyakarta, 18 Agustus
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar