Sabtu, 06 September 2014

Menyemai Ruh Kebangkitan



Menyemai Ruh Kebangkitan
(Catatan Hari Kemerdekaan)
Ahmad Sahide
            17 Agustus, hari kemerdekaan, selalu dirayakan dengan meriah. Hari kemerdekaan itu dirayakan dengan upacara penaikan bendera serta berbagi macam lomba yang melibatkan masyarakat luas, mulai dari kota-kota besar sampai pada pelosok-pelosok Tanah Air. Hari itu, Sang Saka Merah Putih menghiasi jalan-jalan yang mengingatkan kita akan semangat perjuangan para pendahulu untuk meraih keemerdekaan yang kita rayakan setiap tahunnya. Mengingatkan kita bahwa kemerdekaan itu direbut dengan darah dan semangat kebangsaan yang suci. Tercatat bahwa 17 Agustus kali ini adalah perayan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-69.            Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dalam Pidato Kenegaraannya di depan Parlemen pada hari Jum’at lalu, 15 Agustus 2014, menyebutkan sejumlah capaian dan prestasi. Misalnya, Indonesia disebut terus mencapai pertumbuhan ekonomi relatif tinggi selama periode kedua pemerintahannya, rata-rata 5,9 persen, Indonesia juga telah melunasi utang ke Dana Moneter Internasional (IMF) sebelum tenggat waktu yang ditentukan, dan capaian lainnya adalah Indonesia diakui menjadi anggota G-20, indikasi perekonomian negara dalam perekonomian dunia (Kompas, 16/08/2014). Pertanyaannya, apakah sejumlah capaian itu sebagai pertanda kebangkitan Indonesia sebagai bangsa dan negara yang siap bersaing dengan negara-negara lainnya, terutama dengan negara-negara Barat? 

Kebangkitan Budaya Ilmu
            Tanpa bermaksud menafikan dan memandang sebelah mata capaian angka-angka kemajuan yang telah ditorehkan oleh Presiden SBY di atas selama kepemimpinannya, hanya saja segala capaian angka-angka tersebut bukanlah ruh dari kebangkitan itu sendiri untuk bisa bangkit dan bersaing dengan negara-negara maju lainnya. Ruh dari kebangkitan itu, hemat penulis, adalah bangkitnya budaya ilmu.
            Semoga saja kita tidak lupa (tidak tahu) sejarah bahwa awal kebangkitan Barat adalah dimulai dari kebangkitan budaya ilmu. Barat bangkit dari ketertinggalannya karena mengambil budaya ilmu dari Timur (Islam), bahkan menghancurkannya dengan tragedi pembakaran buku-buku di perpustakaan Baghdad (Irak) pada tahun 1258 M. Menarik merekam apa yang dikatakan oleh Bernard Lewis bahwa Barat mengejar ketertinggalannya dari Timur (Islam) dengan membangun sains dan ilmu pengetahuan, meng-instutionalization of doubt. Ada semangat keingintahuan yang terbangun dengan kuat, dan itulah budaya ilmu.
Itulah ruh kebangkitan Barat dalam mengejar ketertinggalannya sehingga hari ini muncul sebagai kekuatan yang memimpin dunia. Dari lima negara yang menjadi anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), Barat mendominasi dan hanya China (Tiongkok) yang berasal dari Asia (Timur). Sekali lagi, kebangkitan tersebut dimulai dengan bangkitnya budaya ilmu, bukan dengan bertambahnya angkat-angka yang disampaikan oleh para pejabat dalam upacara-upacara resmi kenegaraan.
Sebagai catatan dari perayaan hari kemerdekaan tahun ini, penulis hendak berbagi keresahan bahwa selagi kita bangsa Indonesia tidak mampu menyaingi atau bahkan melebihi dari budaya ilmu Barat, maka sampai kapanpun kita akan menjadi bangsa dan negara pengikut dari mereka (Barat).
Sebagai contoh dari kuatnya tradisi ilmu Barat, penulis akan menceritakan secara singkat tentang Philip Khore Hitti. Hitti, yang lahir pada 1886 di Lebanon dan hidup di hampir semua negara bagian Amerika Serikat sampai akhirnya meninggal pada 1978, menuliskan sebuah buku History of the Arabs yang monumental dan menjadi mahakarya dalam dunia keilmuan. Ini adalah buku sejarah Islam yang terlengkap dan menjadi buku yang paling banyak dikutip untuk bicara keislaman. Buku dengan ketebalan kurang lebih seribu halaman ini ditulis oleh Hitti kurang lebih sepuluh tahun lamanya. Begitulah budaya ilmu Barat melahirkan Hitti sehingga mampu melahirkan karya besar untuk dunia.
Contoh lainnya yang lebih dekat adalah M.C. Ricklefs, Direktur Sokolah Penelitian tentang Kajian Asia dan Pasifik dari Australian National University. Ricklefs menulis buku yang cukup lengkap tentang Indonesia dengan judul Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Ketebalan buku ini kurang lebih 800 halaman. Penulis berani melakukan klaim bahwa bagi peneliti yang akan menulis tentang Indonesia dan sejarahnya, buku ini tentu menjadi salah satu buku referensi utama.
Apabila kedua buku di atas melahirkan pertanyaan menggelitik di benak kita bahwa mengapa mesti buku yang dilahirkan oleh orang Barat yang menjadi rujukan utama, bahkan ketika hal itu berbicara tentang kita? Jawabannya hanya satu, mereka (Barat) memiliki budaya ilmu yang jauh lebih kuat dari kita. Itulah yang membuat mereka muncul sebagai kekuatan yang memimpin dunia dengan gagasan-gagasan mereka. Hal itu karena mereka serius melahirkan karya (ilmu) bukan untuk sertifikasi semata, tetapi demi sumbangsih pada perkembangan keilmuan dan peradaban.
Semoga perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) kemerdekaan kita yang ke-69 ini menjadi awal kebangkitan Indonesia di mana semua itu dimulai dengan kebangkitan budaya ilmu. Budaya ilmu yang mampu menyaingi bahkan melebihi budaya ilmu Barat. Itulah syrata mutlak untuk bisa bangkit dan bersaing dengan bangsa-bangsa lain (Barat)!
Ahmad Sahide
Yogyakarta, 18 Agustus 2014 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar