Kamis, 26 Juni 2014

Kidung Nagari Dewata



Kidung Nagari Dewata

daun- duan mengering, lalu berjatuhan
disambut tanah, yang kering jua bahkan terbelah
rumput, ilalang menguning keras lalu rontok
teratai yang yang bermekaran kini hilang indahnya
sungai mengering, lalu ikan menghilang

       ketika aku baru terjaga, dari maboknya harum kepalsuan
       aku melihatndengan telanjang, senyum itu berubah menjadi kebengisan
       aih aih apa itu? Suku, ras, bangsa, negara? Apapula itu masyarakat? Dan apa itu rakyat
       siapa yang membuat semua istilah itu? Aih ema, anakmu bingung ema
       belum hilang kebingunganku, kini muncul lagi istilah rat atau derajat.
       Bisa juga disebut kasta

Tuhan akau bertanya padamu, tapai ngakau membisu
ngakau angkuh dengan singgasanahmu
itulah Raja yang mengaku titisan Batara Wisnu, pentu benar dan salah
anugerahatau hukuman

       sudah muak aku akan kebeneran semu, yang tanpa landasan logika
       darai masa lalu sampai sekarang sama saja, hanya berganti raga namun jiwa tetap sama
       dari jaman Aji Saka sampai jaman Sibuyan, yah mereka yang menjadi tersangka
       bergaya bak Dewa yang tak tersentuh benda pusaka

masih segara dalam ingatan, deangan keangkuhan dan ambisinya Gajah Mada
mereka sebutnpahlawan namun taklain adalah pembantai
yah pembantai rombongan, sang penganten permpuan.
Yah penganten rajanya sendiri, calon Permasuari rajanya.
       Lupaningatan ia, atau sudah butakah ia akan kenyataan sejati
       bahwa Sanggrama Wijaya, kake dari rajanya iyalah putra sunda
       yah putra raja sunda, raja yang dulu meninggal muda

raja demak yang pertama mengatasnamakan, Agama dan Tuhan.
Bergelar Sultan nama lian raja namun sejatinya sama saja
ia rontokan kekuasaan dari raja, yang ia sebut ayahhanda

       lanjut Tronggono menghilangkan nafas calon sultan
       yang ia sebut kanda.
       Sutawijaya mencongkel tahta dari yang mengangkatnya anak.
       Lalu memberikan gealar pangeran,
       lalu ia menganugerahi dirinya dengan sebutan Panembahan Senopati

Ki Ageng mangir muda taklain Purbaya, ia hilangkan demi tanah mangir
memang ambisi menantu sendiri rela dihabisi
       wahai kalin para raja, ingin terus bertahta

        halalkan segala cara, agar bis terus bermahkota
        yang takberdarah mati
        yang kekurangan darah lemah
        hanya yang berlumuran darah saja perkasa
        dan hanya silemah yang berkubangan air mata





Rindu akan bulu buah dada mu

kuadukan rindu pada harum kelopak teratai
kuhelkan getirnya rindu pada udara kehampaan
di atas danau kerinduan terbayang samar lekuk tubuhmu
menari membangkitkan gairku untuk mencumbuimu oh devitaku

    bak laksana sang sukma kamajaya dan sukma kamaratih
    bercumbu, mengaduk gairah menjadi samara kasih ditilamsari
    kutarik nafas panjangku
    bau harum dupa mengalun lembut menembus angin serembak harum surgaloka
    hayalku semakin masuk lenyapkan raga sejatikan jiwa

lokanata mengalunkan gending keabadian
mengiringi kakawih serbu bidadari
dalam alunan tembang surgawi
duhai devitaku kini gairahku semakin memburu
bersama tembang dan gending kau hampiri gairahku

    tubuhmu yang sintal kudekap dalam pelukan
    kuhisap aroma tubuhmu berpadu bersama aroma surga
    kukecup keningmu yang begitu bening, pipimu yang merona
    bibirmu yang tipis berpadu kelembutan

bulu-bulu lembut yang tumbuh di buah dadamu
ingin aku belai dalam kemesraan sang Arjuna
kuremes pinggulmu yang pisik itu
berpaculah kita dalam gairah birahi
    ah rindu deritamu begitu tiada akhir


Devitaku qidam dirimu dalam diriku

dahulu kita satu dalam suatu rasa
seperti cabai dan tomat satu dalam cobek
walau terkadang riasu membelenggu rasa
namun muklisku berkumandang daim
    walaupun lambaian sayung amat menggoda
    walakin kasihku daim terhadapmu
    catur purnama sudah kau dan aku memadu kasih
    dalam bingkai janji abadi
aku kira kasihmu abadi namun ia pergi diburu sayung
kini tinggal aku seorang diri
dihempaskan kegetiran didekap nestafa
    engkau perawan di bulan purnama
    anugerah Batra Wisnu untuk para perjaka
    kukekalkan engkau dalam rasa
    daim dalam keabadian
setengah windu sudah aku didekap gulana
dicabit-cabit kemasygulan
takterkira berpa madah tealah terurai
melukiskan belenggu nestafa akan dirimu
    walkin dirimu bersorak memadu kasih bersama yang lain
    meluputkan rasa akan diriku.
    untukmu yang tak pernah ada
    lalu ada untuk membatinkan
    dan kembali tiada untuk menyasap
    devitaku qadim dirimu dalam diriku

Minggu, 22 Juni 2014
markas pena dewata
SUMAR





Tidak ada komentar:

Posting Komentar