Akhirnya,
Telur Itu Pecah Juga
Ahmad
Sahide
Sebagai seorang penulis, ada
kepuasan tersendiri jika tulisan yang lahir dari jari-jarinya dapat dikonsumsi
oleh orang banyak. Seperti itulah yang saya rasakan saat tulisan saya pertama
kali terbit di harian Bernas Jogja pada tahun 2007 lalu, setelah itu tulisan
saya beberapa kali dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, Suara Muhammadiyah,
Tribun Timur di Sulawesi-Selatan, dan media-media kecil yang tidak terhitung
lainnya. Belum lagi dengan buku-buku yang saya terbitkan serta tulisan yang
terbit di beberapa jurnal dan majalah.
Dari sekian banyak tulisan saya yang
pernah terpublikasikan, tulisan saya yang dimuat di harian Kompas pada hari
inilah, dengan judul Peran Media Dalam
Kontestasi Politik 2014, yang membuat saya punya perasaan dan ekspresi yang
berbeda. Dimuatnya tulisan saya di kolom ‘angker’ harian Kompas hari ini serasa
menyempurnakan perjuangan saya untuk menjadi seorang penulis. Betapa tidak,
sudah sekian tahun saya mencoba mengirim tulisan di Kompas dan selalu
dikembalikan dengan berbagai alasa, kadang analisisnya kurang tajam, tidak ada
gagasan baru, kurang actual, dan juga seringkali (belakangan ini) karena
kesulitan mendapatkan tempat.
Seringnya
tulisan saya dikembalikan dengan alasan kesulitan mendapatkan tempat itulah
yang membuat saya punya keyakinan bahwa suatu saat kolom angker opini kompas
ini bisa saya tembus. Walaupun saya
akui, pada umumnya penulis berpendapat demikian, bahwa tidaklah mudah tulisan kita
mendapatkan tempat di halaman 6 dan 7 dari media cetak nomor satu yang kita
punya tersebut. Hal itu karena kolom-kolom tersebut selalu diisi oleh
penulis-penulis besar yang tidak diragukan lagi kemampuan menulis dan kapasitas
keilmuannya. Tokoh sekelas Ahmad Syafi’I Maarif, Azyuardi Azra, Solahuddin
Wahid, Jusuf Kalla, Komaruddin Hidayat, Saldi Isra, dan Anis Baswedan
seringkali menghiasi kolom tersebut. Melihat sederet nama yang sering
terpampang di sana itulah sehingga kolom ini dikenal sebagai kolom angker.
Belum lagi dengan mengantrinya sekitar 90 tulisan setiap harinya untuk bersaing
mendapatkan tempat. Karena ketatnya persaingan untuk mengisi kolom itulah
sehingga ia dikenal sebagai kolom yang angker. Itu jugalah yang membuat saya
tertantang untuk menembusnya yang terkadang menghadirkan keegoan karena
seringkali saya menolak saran teman untuk mengirim tulisan-tulisan saya ke
media-media lainnya, yang kelasnya jauh di bawah Kompas. Saya kira penempatan ego
itu tidaklah seratus persen salah karena ia mampu membuat saya bekerja lebih
keras untuk menghasilkan sebuah karya yang lebih baik dari waktu ke waktu.
Kematangan
dalam menusli itu sebuah proses, kata Ahmad Tohari, penulis novel Ronggeng
Dukuh Paruk. Seiring dengan berjalannya waktu dengan mimpi untuk bisa menembus
kolom opini Kompas, kematangan itu akhirnya datang juga memberikan jawaban,
yaitu dengan terbitnya tulisan saya di kolom opini Kompas pada hari ini, Kamis,
12 Juni 2014. Telur itu akhirnya terpecahkan juga setelah usaha dan penantian
yang cukup lama. Saya kurang tahu pasti, yang jelas saya sudah mengirim tulisan
di Kompas di atas dua puluh kali, dan barulah pada hari ini tulisan saya
dimuat. Kesabarana, ketekunan, dan mimpi itulah yang membuahkan hasil pada hari
ini. Itulah yang membuat saya merasakan sesuatu yang berbeda pada hari ini.
Kepuasan yang jauh lebih bermakna dari karya-karya saya lainnya yang sudah
terbit. Semoga ini adalah awal yang baik dan bisa terus mengisi kolom angker
tersebut. sekian!
Yogyakarta, 12 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar