Kamis, 26 Juni 2014

Akhirnya, Telur Itu Pecah Juga



Akhirnya, Telur Itu Pecah Juga
Ahmad Sahide

            Sebagai seorang penulis, ada kepuasan tersendiri jika tulisan yang lahir dari jari-jarinya dapat dikonsumsi oleh orang banyak. Seperti itulah yang saya rasakan saat tulisan saya pertama kali terbit di harian Bernas Jogja pada tahun 2007 lalu, setelah itu tulisan saya beberapa kali dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, Suara Muhammadiyah, Tribun Timur di Sulawesi-Selatan, dan media-media kecil yang tidak terhitung lainnya. Belum lagi dengan buku-buku yang saya terbitkan serta tulisan yang terbit di beberapa jurnal dan majalah.
            Dari sekian banyak tulisan saya yang pernah terpublikasikan, tulisan saya yang dimuat di harian Kompas pada hari inilah, dengan judul Peran Media Dalam Kontestasi Politik 2014, yang membuat saya punya perasaan dan ekspresi yang berbeda. Dimuatnya tulisan saya di kolom ‘angker’ harian Kompas hari ini serasa menyempurnakan perjuangan saya untuk menjadi seorang penulis. Betapa tidak, sudah sekian tahun saya mencoba mengirim tulisan di Kompas dan selalu dikembalikan dengan berbagai alasa, kadang analisisnya kurang tajam, tidak ada gagasan baru, kurang actual, dan juga seringkali (belakangan ini) karena kesulitan mendapatkan tempat.
Seringnya tulisan saya dikembalikan dengan alasan kesulitan mendapatkan tempat itulah yang membuat saya punya keyakinan bahwa suatu saat kolom angker opini kompas ini bisa saya tembus.  Walaupun saya akui, pada umumnya penulis berpendapat demikian, bahwa tidaklah mudah tulisan kita mendapatkan tempat di halaman 6 dan 7 dari media cetak nomor satu yang kita punya tersebut. Hal itu karena kolom-kolom tersebut selalu diisi oleh penulis-penulis besar yang tidak diragukan lagi kemampuan menulis dan kapasitas keilmuannya. Tokoh sekelas Ahmad Syafi’I Maarif, Azyuardi Azra, Solahuddin Wahid, Jusuf Kalla, Komaruddin Hidayat, Saldi Isra, dan Anis Baswedan seringkali menghiasi kolom tersebut. Melihat sederet nama yang sering terpampang di sana itulah sehingga kolom ini dikenal sebagai kolom angker. Belum lagi dengan mengantrinya sekitar 90 tulisan setiap harinya untuk bersaing mendapatkan tempat. Karena ketatnya persaingan untuk mengisi kolom itulah sehingga ia dikenal sebagai kolom yang angker. Itu jugalah yang membuat saya tertantang untuk menembusnya yang terkadang menghadirkan keegoan karena seringkali saya menolak saran teman untuk mengirim tulisan-tulisan saya ke media-media lainnya, yang kelasnya jauh di bawah Kompas. Saya kira penempatan ego itu tidaklah seratus persen salah karena ia mampu membuat saya bekerja lebih keras untuk menghasilkan sebuah karya yang lebih baik dari waktu ke waktu.
Kematangan dalam menusli itu sebuah proses, kata Ahmad Tohari, penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk. Seiring dengan berjalannya waktu dengan mimpi untuk bisa menembus kolom opini Kompas, kematangan itu akhirnya datang juga memberikan jawaban, yaitu dengan terbitnya tulisan saya di kolom opini Kompas pada hari ini, Kamis, 12 Juni 2014. Telur itu akhirnya terpecahkan juga setelah usaha dan penantian yang cukup lama. Saya kurang tahu pasti, yang jelas saya sudah mengirim tulisan di Kompas di atas dua puluh kali, dan barulah pada hari ini tulisan saya dimuat. Kesabarana, ketekunan, dan mimpi itulah yang membuahkan hasil pada hari ini. Itulah yang membuat saya merasakan sesuatu yang berbeda pada hari ini. Kepuasan yang jauh lebih bermakna dari karya-karya saya lainnya yang sudah terbit. Semoga ini adalah awal yang baik dan bisa terus mengisi kolom angker tersebut. sekian!
Yogyakarta, 12 Juni 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar