Valentine’s Day Dalam
Setting Globalisasi
Ahmad Sahide
Valentine’s
day tentulah sudah menjadi bahasa yang sangat umum di kalangan generasi
muda-mudi, terutama di kota-kota besar. Valentine’s day, yang jatuh pada
tanggal 14 April setiap tahunnya, biasanya marak dirayakan oleh generasi
muda-mudi di kota-kota besar. Katanya hari itu adalah hari ‘kasih sayang’.
Dalam rangka menyambut hari valentine
itulah, teman-teman aktivis masjid di kampus dua Universitas Teknologi
Yogyakarta (UTY) membuat forum pengajian (semacam diskusi) pada hari Rabu, 12
Februari 2014. Forum itu mengangkat tema “Islam dan Valentine” di mana saya
diminta untuk hadir sebagai pembicara. Dalam forum itu, yang dihadiri lebih
dari 50 mahasiswa dari berbagai fakultas itu, mereka memanggil saya ‘ustadz’,
profesi baru di Yogyakarta tentunya.
Saya datang dengan pakaian yang agak
santai, jeans dan kaos, sebab pada awalnya saya berpikiran bahwa forum ini
forum yang tidak terlalu formal. Ia hanyalah forum diskusi mahasiswa yang
katanya rutin diadakan. Ternyata forum ini adalah forum di mana saya didaulat
sebagai ‘ustadz’ padahal saya datang tanpa persiapan ayat-ayat maupun
hadis-hadis untuk persiapan berbicara sebagai ‘ustadz’. Saya pun memulai
pembicaraan itu dengan melihat valentine’s day dalam setting globalisasi.
Budaya Impor
Menyadari
bahwa yang saya hadapi pada hari itu mahasiswa yang pada umumnya semester awal,
maka saya mencoba untuk menyederhanakan cara saya menyampaikan
pandangan-pandangan saya. Dalam forum itu, saya mengajak mereka untuk melihat
valentine’s day sebagai bagian dari kado globalisasi. Ia adalah budaya dari
Barat yang masuk ke Indonesia, merasuki generasi-generasi muda, karena faktor
globalisasi. Beberapa menyebutnya bahwa hal itu sebagai bagian dari
pendangkalan budaya dan akidah, sepertinya pandangan ini ada benarnya juga.
Kepada mereka saya katakan bahwa di era globalisasi, yang selalu diperhadapkan
antara Barat dan Timur, di mana Barat itu maju dan superior, sementara Timur
itu terbelakang dan inferior. Barat versus Timur, di mana Timur terbelakang dan
inferior, inilah yang membuat budaya valentine’s day itu menjangkiti anak-anak
muda hari ini. Adanya perasaan inferior, secara tidak langsung, membuat mereka
‘taklid’ dengan hal-hal yang berbau Barat. Dalam bahasa yang lebih keren adalah
‘westernisasi’. Meniru segala sesuatu yang datangnya dari Barat, termasuk cara
berpakaian dan lain sebagainya. Bahkan gaya Cristiano Ronaldo pun, bintang
Portugal dan Real Madrid itu, banyak ditiru oleh anak-anak muda yang punya hobi
main bola atau futsal hari ini. Bagi mereka, itulah modernitas. Modernitas yang
dipahami sangat dangkal tentunya. Modernitas yang tidak membuat generasi kita
semakin produktif, melainkan konsumtif. Penermiaan anak-anak muda hari ini
dengan valentine’s day, hemat saya, tidak lepas dari settingan itu semua,
globalisasi dan modernisasi.
Bukan
berarti bahwa kita harus tertutup dengan Barat. Sesuatu yang mustahil hari ini,
di mana kemajuan teknologi semakin memudahkan kita untuk berinteraksi melalui
dunia maya kepada manusia-manusia lainnya di benua yang berbeda. Kita juga
semakin tergantung dengan teknologi; Blackberry, facebook, dan lain sebagainya
di mana itu adalah pintu-pintu globalisasi. Bahkan Nabi Muhammad sendiri
sebenarnya mengajarkan kita untuk terbuka dengan budaya lain (yang bukan dari
Islam) dengan perkataannya bahwa “tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri
China.” Apa yang dikatakan oleh nabi sebenarnya ini adalah cara pandang yang
terbuka yang diajarkan oleh nabi. Nabi memerintahkan kepada kita untuk belajar
ke negeri China, sekalipun ia bukanlah
negeri Islam. Sayangnya, keterbukaan kita hari ini dengan dunia lain, terutama
dengan dunia Barat bukan pada keterbukaan dengan ilmunya, melainkan terbuka
dengan hasil-hasil produksi mereka. Dalam hal budaya ilmu, kita sepertinya
belum banyak belajar dari mereka.
Kurang
lebih seperti itulah poin yang saya sampaikan dalam forum teman-teman mahasiswa
aktivis kampus UTY hari Rabu lalu. Sepertinya saya berhasil memprovokasi mereka
untuk tidak merayakan hari valentine’s day itu, karena secara kebetulan, pada
hari jatuhnya valentine’s day, Gunung Kelud meletus di mana abu vulkaniknya
sampai ke kota Yogyakarta sehingga aktivitas lumpuh seharian. Apakah kejadian
ini melibatkan ‘tangan’ Tuhan? kurang lebih seperti itu opini yang berkembang
di kalangan kelompok-kelompok relijius.
Yogyakarta, 15 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar