Senin, 17 Februari 2014

Valentine’s Day Dalam Setting Globalisasi



Valentine’s Day Dalam Setting Globalisasi
Ahmad Sahide

            Valentine’s day tentulah sudah menjadi bahasa yang sangat umum di kalangan generasi muda-mudi, terutama di kota-kota besar. Valentine’s day, yang jatuh pada tanggal 14 April setiap tahunnya, biasanya marak dirayakan oleh generasi muda-mudi di kota-kota besar. Katanya hari itu adalah hari ‘kasih sayang’.
Dalam rangka menyambut hari valentine itulah, teman-teman aktivis masjid di kampus dua Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY) membuat forum pengajian (semacam diskusi) pada hari Rabu, 12 Februari 2014. Forum itu mengangkat tema “Islam dan Valentine” di mana saya diminta untuk hadir sebagai pembicara. Dalam forum itu, yang dihadiri lebih dari 50 mahasiswa dari berbagai fakultas itu, mereka memanggil saya ‘ustadz’, profesi baru di Yogyakarta tentunya.
Saya datang dengan pakaian yang agak santai, jeans dan kaos, sebab pada awalnya saya berpikiran bahwa forum ini forum yang tidak terlalu formal. Ia hanyalah forum diskusi mahasiswa yang katanya rutin diadakan. Ternyata forum ini adalah forum di mana saya didaulat sebagai ‘ustadz’ padahal saya datang tanpa persiapan ayat-ayat maupun hadis-hadis untuk persiapan berbicara sebagai ‘ustadz’. Saya pun memulai pembicaraan itu dengan melihat valentine’s day dalam setting globalisasi.

Budaya Impor
            Menyadari bahwa yang saya hadapi pada hari itu mahasiswa yang pada umumnya semester awal, maka saya mencoba untuk menyederhanakan cara saya menyampaikan pandangan-pandangan saya. Dalam forum itu, saya mengajak mereka untuk melihat valentine’s day sebagai bagian dari kado globalisasi. Ia adalah budaya dari Barat yang masuk ke Indonesia, merasuki generasi-generasi muda, karena faktor globalisasi. Beberapa menyebutnya bahwa hal itu sebagai bagian dari pendangkalan budaya dan akidah, sepertinya pandangan ini ada benarnya juga. Kepada mereka saya katakan bahwa di era globalisasi, yang selalu diperhadapkan antara Barat dan Timur, di mana Barat itu maju dan superior, sementara Timur itu terbelakang dan inferior. Barat versus Timur, di mana Timur terbelakang dan inferior, inilah yang membuat budaya valentine’s day itu menjangkiti anak-anak muda hari ini. Adanya perasaan inferior, secara tidak langsung, membuat mereka ‘taklid’ dengan hal-hal yang berbau Barat. Dalam bahasa yang lebih keren adalah ‘westernisasi’. Meniru segala sesuatu yang datangnya dari Barat, termasuk cara berpakaian dan lain sebagainya. Bahkan gaya Cristiano Ronaldo pun, bintang Portugal dan Real Madrid itu, banyak ditiru oleh anak-anak muda yang punya hobi main bola atau futsal hari ini. Bagi mereka, itulah modernitas. Modernitas yang dipahami sangat dangkal tentunya. Modernitas yang tidak membuat generasi kita semakin produktif, melainkan konsumtif. Penermiaan anak-anak muda hari ini dengan valentine’s day, hemat saya, tidak lepas dari settingan itu semua, globalisasi dan modernisasi.
            Bukan berarti bahwa kita harus tertutup dengan Barat. Sesuatu yang mustahil hari ini, di mana kemajuan teknologi semakin memudahkan kita untuk berinteraksi melalui dunia maya kepada manusia-manusia lainnya di benua yang berbeda. Kita juga semakin tergantung dengan teknologi; Blackberry, facebook, dan lain sebagainya di mana itu adalah pintu-pintu globalisasi. Bahkan Nabi Muhammad sendiri sebenarnya mengajarkan kita untuk terbuka dengan budaya lain (yang bukan dari Islam) dengan perkataannya bahwa “tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China.” Apa yang dikatakan oleh nabi sebenarnya ini adalah cara pandang yang terbuka yang diajarkan oleh nabi. Nabi memerintahkan kepada kita untuk belajar ke negeri China, sekalipun  ia bukanlah negeri Islam. Sayangnya, keterbukaan kita hari ini dengan dunia lain, terutama dengan dunia Barat bukan pada keterbukaan dengan ilmunya, melainkan terbuka dengan hasil-hasil produksi mereka. Dalam hal budaya ilmu, kita sepertinya belum banyak belajar dari mereka.
            Kurang lebih seperti itulah poin yang saya sampaikan dalam forum teman-teman mahasiswa aktivis kampus UTY hari Rabu lalu. Sepertinya saya berhasil memprovokasi mereka untuk tidak merayakan hari valentine’s day itu, karena secara kebetulan, pada hari jatuhnya valentine’s day, Gunung Kelud meletus di mana abu vulkaniknya sampai ke kota Yogyakarta sehingga aktivitas lumpuh seharian. Apakah kejadian ini melibatkan ‘tangan’ Tuhan? kurang lebih seperti itu opini yang berkembang di kalangan kelompok-kelompok relijius.
Yogyakarta, 15 Februari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar