Minggu, 10 November 2013

Pelangi Di Malam Hari



Pelangi di Malam Hari
(Pika yang Cerdik)
By : Darah Mimpi
Tidak ada sesuatu yang tidak mungkin di dunia ini. Sesulit apapun pasti dapat digenggamnya, dengan do’a maksimal, dan tidak pernah mengenal kata putus asa. Never give up. Itulah kalimat yang selalu mengendap di benak  Pika Varisa. Bocah berumur sembilan tahun yang masih duduk di kelas 3 SD.
Suatu hari Pak Latif Guru Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), memberikan materi pelajaran tentang pelangi. Mulai dari jumlah warna yang dimilikinya, hingga bentuk beserta proses terjadinya. Beliau menunjukkan warna dan bentuknya dengan menggunakan prisma, kaca, dan air sebaskom yang diletakkan di atas Meja Guru.
Waktu itu Pika, gadis cadel yang menggemaskan itu, belum bisa memahami keterangan yang disampaikan oleh Pak Latif. Ia mengangkat jari telunjuknya lalu mengungkapkan pernyataan.
“Bapak kok aneh sih? Pelangikan di langit, bukan di atas meja. Pelangikan cekung di udala dengan alami, bukan kalena pantulan dali kaca dan plisma. Walna pelangi ya, Melah, jingga, kuning, hijau, bilu, nila, dan ungu… Kok walnanya ditambah disebut MEJIKUHIBINIU sih? Ih Bapak goblok…! Setahu Pika walna itu cuma ada dua macam. Satu walna dasal dan yang kedua walna tulunan. Walna dasal hanya ada 3. Melah, kuning, dan bilu. Yang lainnya disebut walna tulunan. Enggak ada tuh walna MEJIKUHIBINIU dalam pelajalan Seni Budaya.” protesnya dengan nada cadelnya yang has.
Cerdik sekali otaknya, hingga berani memprotes keterangan gurunya. Pak Latif terkekeh kecil mendengar kalimat jenius yang keluar dari mulut Pika. Beliau memaklumi pertanyaan konyol itu, karena ia masih duduk di bangku 3 SD. Wajar kalau anak manis itu belum bisa menangkap dan mencerna keterangan guru dengan cepat. Beliau duduk di samping anak yang belum paham itu, refleks Pika geser sedikit.
“Betul pelangi memang di langit, cuma bapak hanya menjelaskan menggunakan prisma supaya Pika dan teman-teman lainnya paham. Itu cuma perumpamaan. Misalnya seperti tahu, bapak umpamakan bentuknya seperti penghapus yang kotak, kan enggak mungkin bapak masuk ke kelas bawa tahu. Nah benar kata Pika, warna hanya ada dua macam.”
“Warna dasar dan warna turunan. MEJIKUHIBINIU itu bukan termasuk macam warna… tapi singkatan dari warna-warna pelangi yang hanya diambil huruf depannya saja. Misal merah, ya hanya Me, jingga ya hanya Ji… kenapa seperti itu? Supaya Pika dan teman-teman mudah menghafal warna-warna pelangi yang jumlahnya ada tujuh. Begitu sayang, uda paham?” Beliau menjelaskan dengan pelan dan lembut.
 “Kata Bu Nani, Gulu IPS Pika, di dunia ini nggak ada yang nggak mungkin. Nyatanya Indonesia bisa mengalahkan Belanda, yang sudah menjajah negala Indonesia selama 3 abad lebih. Belalti mungkin saja dong, Bapak bawa tahu ke kelas, Bapak aja yang malas, telus bilang nggak mungkin.” ia berkata dengan nada menuntut.
Kata-katanya mampu membuat guru yang mengajar IPA itu mati kutu. Sementara murid-murid lainnya bertepuk tangan, tertawa ria sambil meledek.
“Huu… Pak Latif goblok, pinteran Pika. Pak Latif pemalas pinter Pika…Huu” mereka bersorak-sorak ramai mengikuti ucapan Pika yang mengatakan Pak Latif goblok.
“Hehehe, otak kamu memang jenius, bapak bangga sama kamu Pik, ya sudah apa sekarang Pika sudah paham?” tanya Pak Latif simpatik sambil mengembangkan senyumnya.
“Paham Pak, tapi sedikit.”
“Biar paham seratus persen, entar kalau sudah sampai rumah, Pika belajar lagi ya!” perintah beliau.
“Iya Pak, Pika akan belajal sungguh-sungguh, asalkan Bapak besok tidak malas bawa tahu ke kelas. Kan di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin. Belalti kalau Bapak tidak bawa, Bapak belum bias mencelminkan sikap peljuangan Bangsa Indonesia melawan penjajah Belanda. Coba Bapak pikil, Bangsa Indonesiakan cuma sedikit, uda gitu senjatanya juga enggak lengkap. Tapi dengan niat yang belkobal dalam jiwa, meleka belsatu melawan penjajah dan menang. Kalau dipikil kan enggak mungkin, Indonesia bakal menang, tapi nyatanya Indonesia menang. Nah kata Bu Nani, itu membuktikan bahwa di dunia ini tidak ada yang nggak mungkin. Asalkan kita belusaha dengan sungguh-sungguh. Masak cuma bawa tahu ke kelas aja enggak mungkin, hah… belalti Bapak pemalas dong…!” ujar Pika dengan cerdiknya.
Lelaki separuh baya yang mengajar IPA itu, hanya mengangguk bangga sambil menyudutkan bibirnya untuk tersenyum. Beliau yang berjiwa samudera, tidak marah dikatakan goblok dan pemalas. Beliau malah bangga dengan Pika yang berani mengoreksi kesalahannya dengan teliti. Jarang anak kelas 3 SD yang mampu berfikir seperti dirinya. Hanya seribu satu.
“Oke, besok bapak akan bawakan tahu sepesial buat Pika. Asalkan Pika belajar sungguh-sungguh.”
“ Asyiiik…” teriaknya girang kemudian melanjutkan kalimatnya,
“O iya Pak, bisa nggak Pika liat pelangi di malam hali?”. Pertanyaan Pika belum terjawab karena bel kedua telah berbunyi. Petanda waktu pulang telah tiba. Pak Latif mengahiri pelajaran hari itu. Beliau memimpin anak-anak berdo’a. Membiarkan Pika yang masih berhayal dengan pertanyaannya yang tidak masuk akal.
* * *
                        Pika duduk manis di kursi tamu, usai melepas seragamnya. Mengganti pakaian sekolahnya dengan blus biru Winnie The Pooh kesukaannya. Ia sengaja menunggu kedatangan ayahnya pulang kerja, dari Toko Tanaman Hias milik beliau. Dia duduk sambil memeluk boneka abu-abu Shoun The Sheep. Meletakkan dagunya di atas kepala bonekanya.
                        Pika termasuk anak yang hiperaktif. Tutur katanya suka ceplas-ceplos. Pemikirannya cerdik, mampu mengalahkan guru. Ia menuruni watak ibunya yang jenius namun kasar dan  keras kepala. Tak jarang kata-kata kasar sering keluar dari mulut ibunya, seperti Pika tolol, nakal, pemalas, goblok, tidak sopan, dan lain sebagainya. Jadi  wajar jika anak itu berkata kasar kepada gurunya. Berani mengatakan beliau goblok, karena kata-kata itulah yang selalu terdengar di telinga Pika. Sementara ayah Pika, memiliki jiwa seluas samudera. Tutur katanya lembut. Beliau penyayang dan sangat perhatian.
                        Pelangi yang indah berwarna-warni terbayang dalam angannya. Ia ingin sekali melihat pelangi yang menghias angkasa setelah turunnya butiran air dari langit. “Kenapa halus hujan dulu, kenapa hanya nampak di waktu telang saja, kenapa enggak di malam hali, bial bisa belteman dengan bulan dan bintang?” ia menggumam sambil menggerakkan jari telunjuknya untuk menonyong-nonyong dahinya. “Kenapa ya?” ia terus bertanya-tanya.
            Tak disadari, lelaki separuh baya yang ditunggunya sudah berdiri tegak di depannya. Ayah Pika membelai lembut rambut putri tercintanya, yang sedang melamun bingung memikirkan pelangi.
“Sayang, anak ayah kok ngelamun. Enggak boleh loh, entar kesurupan terus Pika ketawa-ketiwi sendiri kayak orang gila.” ujar beliau sambil menaikkan anaknya di pelukan beliau.
“Ayah kapan pulangnya sih? Pika uda nungguin lama sama Adik Sheep (boneka kesayangannya, Shoun The Sheep) dali tadi tauuuk.”
“Pika sih, ngelamun terus, jadi enggak tahu kapan ayah masuk rumah. Kenapa Pika enggak masuk ke dapur nemuin ibu?” beliau mendudukkan gadis kecil itu kembali.
“Malas ah Yah, ibu bawel” rajuknya.
 “Oh ya Yah, Pika pengen liat pelangi di malam hali”
            Ayah Pika mengerutkan dahi. Permintaan Pika sungguh tidak masuk akal.
“Aduh sayang, mana ada. Kalau malam pelangi ya nggak kelihatan meskipun sehabis hujan!” “Kata Gulu IPS Pika di dunia ini nggak ada yang nggak mungkin Yah…” katanya penuh antusias.
“Tapi kalau pelangi di malam hari ya enggak ada sayang” beliau coba meyakinkan.
            “Pokoknya Ayah halus ngajakin liat pelangi ental malam. Titik…  kalau enggak Pika enggak mau makan satu minggu.” Anak itu turun dari kursi lari menggendong bonekanya menuju kamar. Pika terkenal dengan sifatnya yang keras kepala. Ia selalu mogok makan jika apa yang diinginkannya tidak terpenuhi. Ancaman tersebut, membuat lelaki separuh baya itu pusing tujuh keliling.
             “Hmm… apa yang harus aku lakukan untuk anak itu, aku takut dia enggak mau makan beneran seperti kejadian yang sudah-sudah” ungkap beliau dalam hati, dengan raut wajah yang cemas.
* * *
            Malam begitu cepat menghembuskan nafasnya, namun Pika belum mau mengisi perutnya yang sedari siang belum dimasuki apa-apa.  Hal itu membuat hawatir perasaan ayahnya. Beliau sangat menyayangi buah hatinya yang keras kepala. Beliau takut anak itu sakit gara-gara tidak makan. Berkali-kali beliau membujuk anaknya untuk makan, sayang usahanya tetap nihil.
            Beliau berpikir sejenak sambil membelai lembut rambut putrinya yang sedang duduk  di atas ranjang sambil memeluk bonekanya. Tiba-tiba muncul ide dari benak beliau. Ayah Pika keluar, menelfon karyawan yang bekerja di toko beliau. Menyuruhnya untuk menata semua jenis tanaman hias membentuk cekung seperti pelangi dan mengelompokkan warnanya berurutan seperti warna pelangi. Beliau juga menyuruh karyawannya untuk memasang lampu hias di setiap tepi tanaman hias itu. Baris pertama bunga yang berwarna merah, baris kedua bunga yang berwarna jingga dan seterusnya, menyerupai warna pelangi.
Setelah semuanya selesai, beliau mengajak Pika ke Toko Tanaman Hias tersebut. Sesampainya di sana, mata Pika terbelalak kagum. Sungguh indah pemandangan yang ada di depannya. Sayang, masih ada yang menjanggal di pikirannya.
“Ayah, ini memamng seperti pelangi, dan ini sangatlah indah. Tapi kenapa pelangi ini tidak di langit, dan kenapa pelangi ini dibuat dali bunga, Ayah?” anak mungil itu masih tetap protes. Dengan santai ayah Pika berkata,
 “ Sayang, di dunia inikan tidak ada yang tidak mungkin, jadi mungkin saja dong kalau ada pelangi di Bumi. Kalau sewaktu terang pelangi ada di langit, tapi jika malam datang, pelangi itu akan nampak seperti ini.” tutur beliau dengan mantap, dihiasi senyuman semanis mungkin.
“Emm… iya juga di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin. Yaudah deh nggak papa, yang penting Pika uda bisa liat pelangi di malam hali. Heee… holeeee” teriaknya bahagia sambil lari mengelilingi cekungan bunga-bunga tersebut.
Ayah Pika menghirup nafas lega, karena telah berhasil menaklukan hati putrinya yang cerdik itu. “Entar pulang langsung makan ya!” ungkap ayah Pika,
 “Pasti Yah, Pika kan cuma akting biar Ayah nulutin pelmintaan Pika, hee… lagian Pika uda lapal buangeeet.” Anak itu telah berhasil membuat ayahnya memasang ekspresi geram. Walaupun begitu, beliau tetap bangga dengan putrinya yang sangat cerdik.
Bermimpilah setinggi langit. Jangan pernah takut hal itu mustahil, yakinlah mimpi itu akan terwujud. Jika mau terus berusaha dan tak mau mengenal kata putus asa. Terjanglah terus ombak di lautan. Hancurkanlah batu kerikil yang menghalangi langkah, kuburlah rasa malas dan hapuslah perasaan takut. Jangan pernah memupuk hal keji yang dapat menghalangi langkah meraih mimpi. Dan ingat jadikanlah celaan serta hinaan sebagai motifasi yang membangun. Let’s reach our dream…..!!!!!!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar