Minggu, 08 September 2013

Fenomena Jokowi



Fenomena Jokowi
Ahmad Sahide
            Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Joko Widodo, atau yang sering dipanggil Jokowi, menjadi figur yang sangat menarik perhatian semua kalangan akhir-akhir ini terkait dengan bursa calon presiden 2014. Survei terakhir yang dirilis oleh harian Kompas, 26 Agustus 2013, menunjukkan bahwa elektabilitas Jokowi (32%) jauh di atas elektabilitas tokoh-tokoh lain yang sudah lama menguasai panggung politik Indonesia.  Prabowo Subianto yang menggelontorkan dana besar-besaran untuk mengangkat elektabilitasnya tetap tidak bisa membendung apresiasi publik terhadap elektabilitas Jokowi. Prabowo hanya meraih 15,1%. Begitupun juga dengan Aburizal Bakrie yang memegang kendali mesin politik Golkar tidak mampu berbuat banyak, hanya meraih 8,8%.
            Kehadiran nama Jokowi dalam panggung politik nasional menepis beberapa anggapan selama ini bahwa dalam pemilihan presiden 2014 nanti kembali akan diisi oleh tokoh-tokoh lama. Kehadiran Jokowilah memungkinkan hadirnya tokoh baru dan muda dalam daur ulang demokrasi 2014 nanti. Namun demikian, nasib Jokowi ada di tangan Megawati Soekarno Putri, Ketua Umumnya di Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) mengingat Jokowi adalah politisi yang dikenal santun dan menjunjung etika politik. Itulah mengapa ia tidak menerima ‘pinangan’ dari komite konvensi Demokrat untuk ikut bersaing dalam bursa konvensi calon presiden partai Demokrat yang akhir-akhir ini marak diberitakan. Namun hal sedikit menggembirakan adalah adanya pernyataan dari Puan Maharani, putri Megawati, bahwa PDI-P saat ini sedang mencermati elektabilitas Jokowi.  Pernyataan Puan ini menjadi sinyal bahwa ada kemungkinan Jokowi maju sebagai capres atau mungkin cawapres pada pemilihan presiden 2014 nanti.

Ketakjuban pada Jokowi
            Pembacaan banyak pengamat dan masyarakat awam selama ini adalah bahwa jika Jokowi nantinya maju sebagai capres pada 2014 nanti, maka ada kemungkinan elektabilitasnya anjlok jika mendapatkan serangan dari lawan-lawan politiknya. Kata banyak orang, Jokowi akan diserang sebagai politisi bajing loncat mengingat masa jabatan kedua kalinya di Solo belum selesai ia mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI dan terpilih. Jika nantinya maju sebagai capres, masa jabatan pertamanya di DKI barulah setengah periode. Serangan ini, jika nantinya dialamatkan pada Jokowi, tentu punya alasan yang kuat dan bisa dikemas dengan sangat cantik melalui media massa. Tidak bisa dipungkiri bahwa peran media tentu sangatlah besar dalam mempengaruhi persepsi publik. Apalagi dari beberapa nama yang muncul selama ini yang berpotensi sebagai lawan Jokowi adalah penguasa media. Hary Tanoesoedibyo (HT) pemilik MNCTV Group sudah jauh hari mendeklarasikan diri sebagai cawapres dari Hanura mendampingi Wiranto. Aburizal Bakrie adalah pemilik dari TVONE. Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem adalah pemilik dari Metro TV. Semua ini tentu memungkinan membalikkan keadaan jika ramai-ramai menyerang Jokowi. Lagi-lagi ini adalah kemungkinan karena di dalam dunia politik semua adalah mungkin.
            Tetapi saya juga melihat adanya kemungkinan lain. Yaitu bahwa publik tidak akan terpengaruh banyak oleh kampanye media untuk menjatuhkan elektabilitas Jokowi. Saat ini, semua politisi harus mengakui, bahwa sosok Jokowi adalah figur yang membuat publik takjub terhadapnya. Orang yang takjub pasti akan kehilangan nalar kritisnya. Oleh karena itu, apapun yang dilakukan oleh Jokowi, lompatan-lompatan politiknya selama ini, akan selalu dilihat positif oleh publik. Hal yang tidak bisa ditiru oleh politisi lain dari Jokowi adalah kemampuannya memperoleh trust (kepercayaan) dari publik. Maka, apapun yang diambil oleh Jokowi, termasuk langkah politik, akan selalu mendapatkan trust tersebut. Pada aspek inilah sehingga kita membutuhkan pemimpin seperti Jokowi. Pemimpin yang memiliki trust dari masyarakat sehingga  itu bisa menjadi modal besar dalam melakukan perubahan.
            Faktor lainnya yang bisa memperkuat posisi Jokowi dari serangan-serangan para penguasa media adalah kepemilikan media di Indonesia tidak dihegemoni oleh kelompok tertentu. Masih ada media-media lain yang tidak berpihak pada kelompok tertentu yang bisa melakukan pemberitaan dengan fair. Saya kira, media yang berjarak dari penguasa ini yang bisa melakukan pemberitaan tandingan dan itu berpihak pada sosok Jokowi.
Yogyakarta, 4 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar