Fenomena Jokowi
Ahmad
Sahide
Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI)
Jakarta, Joko Widodo, atau yang sering dipanggil Jokowi, menjadi figur yang
sangat menarik perhatian semua kalangan akhir-akhir ini terkait dengan bursa
calon presiden 2014. Survei terakhir yang dirilis oleh harian Kompas, 26
Agustus 2013, menunjukkan bahwa elektabilitas Jokowi (32%) jauh di atas
elektabilitas tokoh-tokoh lain yang sudah lama menguasai panggung politik
Indonesia. Prabowo Subianto yang
menggelontorkan dana besar-besaran untuk mengangkat elektabilitasnya tetap
tidak bisa membendung apresiasi publik terhadap elektabilitas Jokowi. Prabowo
hanya meraih 15,1%. Begitupun juga dengan Aburizal Bakrie yang memegang kendali
mesin politik Golkar tidak mampu berbuat banyak, hanya meraih 8,8%.
Kehadiran nama Jokowi dalam panggung
politik nasional menepis beberapa anggapan selama ini bahwa dalam pemilihan
presiden 2014 nanti kembali akan diisi oleh tokoh-tokoh lama. Kehadiran
Jokowilah memungkinkan hadirnya tokoh baru dan muda dalam daur ulang demokrasi
2014 nanti. Namun demikian, nasib Jokowi ada di tangan Megawati Soekarno Putri,
Ketua Umumnya di Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) mengingat Jokowi
adalah politisi yang dikenal santun dan menjunjung etika politik. Itulah mengapa
ia tidak menerima ‘pinangan’ dari komite konvensi Demokrat untuk ikut bersaing
dalam bursa konvensi calon presiden partai Demokrat yang akhir-akhir ini marak
diberitakan. Namun hal sedikit menggembirakan adalah adanya pernyataan dari
Puan Maharani, putri Megawati, bahwa PDI-P saat ini sedang mencermati
elektabilitas Jokowi. Pernyataan Puan
ini menjadi sinyal bahwa ada kemungkinan Jokowi maju sebagai capres atau
mungkin cawapres pada pemilihan presiden 2014 nanti.
Ketakjuban pada Jokowi
Pembacaan banyak pengamat dan
masyarakat awam selama ini adalah bahwa jika Jokowi nantinya maju sebagai
capres pada 2014 nanti, maka ada kemungkinan elektabilitasnya anjlok jika
mendapatkan serangan dari lawan-lawan politiknya. Kata banyak orang, Jokowi
akan diserang sebagai politisi bajing loncat mengingat masa jabatan kedua
kalinya di Solo belum selesai ia mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI dan
terpilih. Jika nantinya maju sebagai capres, masa jabatan pertamanya di DKI
barulah setengah periode. Serangan ini, jika nantinya dialamatkan pada Jokowi,
tentu punya alasan yang kuat dan bisa dikemas dengan sangat cantik melalui
media massa. Tidak bisa dipungkiri bahwa peran media tentu sangatlah besar
dalam mempengaruhi persepsi publik. Apalagi dari beberapa nama yang muncul
selama ini yang berpotensi sebagai lawan Jokowi adalah penguasa media. Hary
Tanoesoedibyo (HT) pemilik MNCTV Group sudah jauh hari mendeklarasikan diri
sebagai cawapres dari Hanura mendampingi Wiranto. Aburizal Bakrie adalah
pemilik dari TVONE. Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem adalah pemilik dari
Metro TV. Semua ini tentu memungkinan membalikkan keadaan jika ramai-ramai
menyerang Jokowi. Lagi-lagi ini adalah kemungkinan karena di dalam dunia
politik semua adalah mungkin.
Tetapi saya juga melihat adanya
kemungkinan lain. Yaitu bahwa publik tidak akan terpengaruh banyak oleh
kampanye media untuk menjatuhkan elektabilitas Jokowi. Saat ini, semua politisi
harus mengakui, bahwa sosok Jokowi adalah figur yang membuat publik takjub
terhadapnya. Orang yang takjub pasti akan kehilangan nalar kritisnya. Oleh
karena itu, apapun yang dilakukan oleh Jokowi, lompatan-lompatan politiknya
selama ini, akan selalu dilihat positif oleh publik. Hal yang tidak bisa ditiru
oleh politisi lain dari Jokowi adalah kemampuannya memperoleh trust (kepercayaan) dari publik. Maka,
apapun yang diambil oleh Jokowi, termasuk langkah politik, akan selalu
mendapatkan trust tersebut. Pada
aspek inilah sehingga kita membutuhkan pemimpin seperti Jokowi. Pemimpin yang
memiliki trust dari masyarakat
sehingga itu bisa menjadi modal besar
dalam melakukan perubahan.
Faktor lainnya yang bisa memperkuat
posisi Jokowi dari serangan-serangan para penguasa media adalah kepemilikan
media di Indonesia tidak dihegemoni oleh kelompok tertentu. Masih ada
media-media lain yang tidak berpihak pada kelompok tertentu yang bisa melakukan
pemberitaan dengan fair. Saya kira,
media yang berjarak dari penguasa ini yang bisa melakukan pemberitaan tandingan
dan itu berpihak pada sosok Jokowi.
Yogyakarta,
4 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar