Paradoks Media, dari Myanmar hingga
Amerika
Darwin
…Bila
kita tengok ke belakang, Pemerintahan Bush dan Pentagon
telah
melakukan salah satu kampanye public relations paling
sukses
dalam sejarah politik modern dalam penggunaan media
untuk
menggerakkan dukungan terhadap perang (Kellner, 2010: 272).
Ada
rahasia yang tidak terungkap ke permukaan selama ini. Rahasia yang sebenarnya
kita ketahui, namun karena kelihaian pertarungan wacana di jagat media yang
dikendalikan negara-negara maju, membuat kita terninabobokan atau lupa diri.
Kita sejauh ini selalu beranggapan di negara-negara seperti Myanmar, Korea
Utara, Cile masa Pinochet, atau Indonesia era Suharto saja penyensoran media secara
ketat dilakukan oleh rezim berkuasa. Ini adalah “kesalahan” dalam berpikir masyarakat
dunia yang turun-temurun diwariskan. Padahal, secara implisit, di negara maju
seperti Amerika Serikat pun pelumpuhan daya kritis para jurnalis dan awak media
lainnya juga terjadi. Bahkan, dampaknya lebih berbahaya karena tidak saja menyangkut
masyarakat negara bersangkutan, tetapi juga menerobos pikiran masyarakat negara
berkembang.
Penulis akan mengupas sedikit media
di dua negara dengan sistem politiknya yang berbeda bak bumi dan langit, yakni
Myanmar dan Amerika Serikat. Myanmar menarik karena baru saja keran “kebebasan”
dihembuskan di negara ini pasca-naiknya Thein Sein di pucuk pimpinan negara
junta ini.
Media yang dilumpuhkan
Bicara
Myanmar tidaklah selalu identik dengan Aung San Suu Kyi, Rohingya, atau
pemerintahan militernya nan kaku—karena dehumanisasi yang kerap dilakukan
pemerintah terhadap warga negaranya ini—, tetapi ada sisi lain yang menarik
perhatian penulis beberapa hari ini, yakni media massa negeri itu.
Tepat
1 April lalu, sebuah media massa swasta akhirnya terbit di negara “anti
kemapanan” ini. Dan mulai 14 April ini, delapan surat kabar swasta akan
menyusul menjumpai masyarakat Myanmar. Ke delapan surat kabar itu adalah Shwe Naing Ngan Thit Daily, Khit Moerian
Daily, The Messenger, Update Daily, Myanmar Newsweek Daily, Daily Mizzima,
Empire Daily, dan Union Daily,
demikian Kementerian Penerangan Myanmar merilis seperti dikutip laman www.kabar24.com (diakses pada 4 April 2013,
pukul 19.13). Pertanda apakah ini?
Pemerintahan Negara Myanmar adalah
negara yang anti-media,—khususnya media non-pemerintah—juga anti-kritik.
Puluhan tahun junta militer menguasai negara ini, selama itu pula media massa
negeri ini dipasung. Walaupun terbit, sensor sangat ketat harus dilalui tulisan-tulisan
wartawan negeri itu sebelum dinikmati oleh publik Myanmar. Pena para jurnalis
harus berbenturan dengan senapan milik penguasa jika terjadi ketidaksepahaman
antara media dan rezim junta. Ada namanya Badan Sensor Negara yang memantau dan
mendisiplinkan media-media di sini. Media didisiplinkan sedemikian rupa sesuai
selera pemerintah. Kalau di Indonesia, era Suharto bisa menjadi pembanding.
Semua tulisan wartawan harus
ditelaah dulu oleh badan sensor ini. Jika ada yang berani mengkritik
pemerintah, siap-siap beredel menimpa. Bahkan, ada yang lebih mengerikan, yakni
berupa penyiksaan atau penculikan terhadap para pelaku pers untuk kemudian
dilenyapkan.
Teori
otoritarian dalam sistem pers menemukan tempatnya di sini. Teori ini
mengatakan, bahwa pers harus tunduk pada kemauan pemerintah. Hukuman akan
ditunaikan jika berani berseberangan dengan pemerintah. Teori ini biasanya
berlaku di negara-negara otoriter. Tetapi tidak tertutup kemungkinan juga
terjadi di negara demokratis, seperti Amerika Serikat, meskipun itu dilakukan secara
subtil. Terkait hal ini, nanti akan dijelaskan lebih lanjut.
Mulai “terbukanya” Myanmar dengan
dunia luar, juga tentunya dengan
masyarakatnya sendiri ini adalah berkat seorang Thein Sein, presiden sipil
pertama di negeri yang selalu dikecam Barat itu karena berani berbeda dengan wacana
dominan Barat, khususnya upaya mereka
melawan “mantra ajaib” negara maju yang terejawantahkan dalam demokrasi. Thein
Sein dipilih pada 4 Februari 2011 oleh parlemen Myanmar karena partainya
berhasil memenangkan pemilu Myanmar November tahun sebelumnya (2010). Setelah
ia dipilih, revolusi gaya pemerintahan pun dilakukan. Jika selama ini agak
ketat dengan media, di bawah tangan Thein Sein dimulailah langgam khasnya,
yakni agak membuka diri sedikit, dengan membolekan media swasta terbit, melunak
dengan Amerika, dan tentu saja pembebasan terhadap Aung San Suu Kyi dari
tahanan rumah dan ujungnya tokoh oposisi itu bisa menghirup udara luar negeri. Jadi,
keindahan “bunga-bunga” yang mulai mekar pun menampakkan kuntumnya dengan kuncup
dan daun warna-warni dalam “padang gersang” negara yang menjadi bagian dari Asia
Tenggara ini.
Kongkalikong antara media dan
negara
Bagaimana
dengan negeri liberal-inklusif seperti Amerika Serikat? Di negara adidaya ini,
nasib media memang mendapat ruang kebebasan. Tapi tentu saja kebebasan itu
adalah seolah-olah (semu) belaka. Kenapa demikian?
Liputan Perang Irak pada tahun 2003,
misalnya, membuktikan betapa media di Amerika Serikat (AS) jauh dari kata
netral. Media-media yang dikuasai oleh raja media Rupert Murdoch lebih memihak
kepada AS daripada menjaga keobyektifannya. Media milik Rupert Murdoch yang
menonjolkan patriotisme dalam Perang Irak adalah Fox News Channel. Hal ini
mendapat kritikan pedas dari seorang Direktur Jenderal BBC Greg Dyke (Santana, 2005:
220).
Begitu
dominannya intervensi pemerintah
terhadap media juga terlihat dalam Perang Teluk, sebuah perang antara Kuwait-Irak
dan disusul intervensi AS pada 1990-an. Konstruk perang ala Amerika kentara
sekali dalam pemberitaan media-media AS. Media-media AS memanipulasi perang
semata-mata demi kepentingan negara AS, sohib Kuwait dan musuh Irak dalam
perang ini. Kellner (2010: 275) menyebut apa yang terjadi di dalam pemberitaan
terkait perang dengan sebutan penyesatan informasi. Sebagai contoh terkait
penyesatan informasi ini, demikian Kellner, apa yang dilakukan surat kabar Washington Post edisi 7 Agustus 1990.
Harian ini membenarkan keputusan Presiden Bush untuk mengirim pasukan ke Arab
Saudi, negara, yang menurut media ini akan diserang oleh Irak. Presiden Irak
Saddam Hussein diberitakan berapi-api ketika rapat dengan Menteri Luar Negeri
AS, Joseph Wilson. Padahal, tidak demikian adanya. Saddam Husein sebenarnya
adalah orang yang ramah dan menginginkan perundingan ketika itu (Kellner, 2010:
275).
Setali tiga uang dengan media cetak,
media televisi milik AS seperti ABC, NBC, dan CBS juga ikut-ikutan membingkai
Perang Teluk dengan asosiasi negatif terhadap negara Irak dan Saddam Hussein.
Saddam Hussein dianggap sebagai setan yang harus dimusnahkan, sementara AS
adalah malaikat penyelamat. ABC dan CBS malah menggunakan logo “Showdown in the Gulf” (Peperangan di
Teluk) selama perang berlangsung dan mengirimkan reporternya untuk melaporkan
detail perang. Semua ini dilakukan semata-mata demi kepentingan pemerintahan
Bush ketika itu. Tidak ada, misalnya, penolakan terhadap perang yang dilakukan
oleh media ini, atau minimal memberitakan warga AS dan para pengamat yang anti
perang. Ketiga televisi ini hanya nurut
saja kemauan pemerintahan Bush, tanpa ada “perlawanan” sama sekali (Kellner,
2010: 287).
Demikian
sekelumit analisis terkait media di AS dalam kaitannya dengan propaganda
pemerintah dalam memuluskan kebijakan-kebijakannya. Sampai hari ini pun
sebenarnya, media-media negara maju terus mamanipulasi wacana global demi
memuluskan kepentingannya, bisa politik, ekonomi, maupun budaya. Jika kita
lihat misalnya berita-berita internasional di pertelevisian atau surat kabar
kita, hampir bisa dipastikan sumbernya tidak jauh-jauh dari AP (kantor berita
AS), AFP (Perancis), dan Reuters (Inggris).
Di sinilah paradoks terjadi. Media
selalu mempunyai kepentingan dalam pemberitaannya. Akibatnya, masyarakat dunia
ketiga dikonstruk sedemikian rupa dalam mendapatkan informasi. Mereka tidak
berkutik dengan daya lena yang ditiupkan media-media negara maju. Mereka harus
menerima arus informasi itu meskipun manifulatif. Hemat penulis, imperialisme
informasi ini berarti bagian dari keotoriteran negara maju. Di manakah
demokrasi nan “sakral” lagi “agung” itu? Entahlah! Wallahu a’lam bi al-shawab. ^^6-4-2013,
8.05 AM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar