Minggu, 07 April 2013

Paradoks Media, dari Myanmar hingga Amerika


Paradoks Media, dari Myanmar hingga Amerika
Darwin
…Bila kita tengok ke belakang, Pemerintahan Bush dan Pentagon
telah melakukan salah satu kampanye public relations paling
sukses dalam sejarah politik modern dalam penggunaan media
untuk menggerakkan dukungan terhadap perang (Kellner, 2010: 272).

Ada rahasia yang tidak terungkap ke permukaan selama ini. Rahasia yang sebenarnya kita ketahui, namun karena kelihaian pertarungan wacana di jagat media yang dikendalikan negara-negara maju, membuat kita terninabobokan atau lupa diri. Kita sejauh ini selalu beranggapan di negara-negara seperti Myanmar, Korea Utara, Cile masa Pinochet, atau Indonesia era Suharto saja penyensoran media secara ketat dilakukan oleh rezim berkuasa. Ini adalah “kesalahan” dalam berpikir masyarakat dunia yang turun-temurun diwariskan. Padahal, secara implisit, di negara maju seperti Amerika Serikat pun pelumpuhan daya kritis para jurnalis dan awak media lainnya juga terjadi. Bahkan, dampaknya lebih berbahaya karena tidak saja menyangkut masyarakat negara bersangkutan, tetapi juga menerobos pikiran masyarakat negara berkembang.  
            Penulis akan mengupas sedikit media di dua negara dengan sistem politiknya yang berbeda bak bumi dan langit, yakni Myanmar dan Amerika Serikat. Myanmar menarik karena baru saja keran “kebebasan” dihembuskan di negara ini pasca-naiknya Thein Sein di pucuk pimpinan negara junta ini.

Media yang dilumpuhkan
Bicara Myanmar tidaklah selalu identik dengan Aung San Suu Kyi, Rohingya, atau pemerintahan militernya nan kaku—karena dehumanisasi yang kerap dilakukan pemerintah terhadap warga negaranya ini—, tetapi ada sisi lain yang menarik perhatian penulis beberapa hari ini, yakni  media massa negeri itu.
Tepat 1 April lalu, sebuah media massa swasta akhirnya terbit di negara “anti kemapanan” ini. Dan mulai 14 April ini, delapan surat kabar swasta akan menyusul menjumpai masyarakat Myanmar. Ke delapan surat kabar itu adalah Shwe Naing Ngan Thit Daily, Khit Moerian Daily, The Messenger, Update Daily, Myanmar Newsweek Daily, Daily Mizzima, Empire Daily, dan Union Daily, demikian Kementerian Penerangan Myanmar merilis seperti dikutip laman www.kabar24.com (diakses pada 4 April 2013, pukul 19.13).  Pertanda apakah ini?
            Pemerintahan Negara Myanmar adalah negara yang anti-media,—khususnya media non-pemerintah—juga anti-kritik. Puluhan tahun junta militer menguasai negara ini, selama itu pula media massa negeri ini dipasung. Walaupun terbit, sensor sangat ketat harus dilalui tulisan-tulisan wartawan negeri itu sebelum dinikmati oleh publik Myanmar. Pena para jurnalis harus berbenturan dengan senapan milik penguasa jika terjadi ketidaksepahaman antara media dan rezim junta. Ada namanya Badan Sensor Negara yang memantau dan mendisiplinkan media-media di sini. Media didisiplinkan sedemikian rupa sesuai selera pemerintah. Kalau di Indonesia, era Suharto bisa menjadi pembanding.
            Semua tulisan wartawan harus ditelaah dulu oleh badan sensor ini. Jika ada yang berani mengkritik pemerintah, siap-siap beredel menimpa. Bahkan, ada yang lebih mengerikan, yakni berupa penyiksaan atau penculikan terhadap para pelaku pers untuk kemudian dilenyapkan.
Teori otoritarian dalam sistem pers menemukan tempatnya di sini. Teori ini mengatakan, bahwa pers harus tunduk pada kemauan pemerintah. Hukuman akan ditunaikan jika berani berseberangan dengan pemerintah. Teori ini biasanya berlaku di negara-negara otoriter. Tetapi tidak tertutup kemungkinan juga terjadi di negara demokratis, seperti Amerika Serikat, meskipun itu dilakukan secara subtil. Terkait hal ini, nanti akan dijelaskan lebih lanjut.
            Mulai “terbukanya” Myanmar dengan dunia luar,  juga tentunya dengan masyarakatnya sendiri ini adalah berkat seorang Thein Sein, presiden sipil pertama di negeri yang selalu dikecam Barat itu karena berani berbeda dengan wacana dominan Barat, khususnya upaya mereka melawan “mantra ajaib” negara maju yang terejawantahkan dalam demokrasi. Thein Sein dipilih pada 4 Februari 2011 oleh parlemen Myanmar karena partainya berhasil memenangkan pemilu Myanmar November tahun sebelumnya (2010). Setelah ia dipilih, revolusi gaya pemerintahan pun dilakukan. Jika selama ini agak ketat dengan media, di bawah tangan Thein Sein dimulailah langgam khasnya, yakni agak membuka diri sedikit, dengan membolekan media swasta terbit, melunak dengan Amerika, dan tentu saja pembebasan terhadap Aung San Suu Kyi dari tahanan rumah dan ujungnya tokoh oposisi itu bisa menghirup udara luar negeri. Jadi, keindahan “bunga-bunga” yang mulai mekar pun menampakkan kuntumnya dengan kuncup dan daun warna-warni dalam “padang gersang” negara yang menjadi bagian dari Asia Tenggara ini.

Kongkalikong antara media dan negara
            Bagaimana dengan negeri liberal-inklusif seperti Amerika Serikat? Di negara adidaya ini, nasib media memang mendapat ruang kebebasan. Tapi tentu saja kebebasan itu adalah seolah-olah (semu) belaka. Kenapa demikian?
            Liputan Perang Irak pada tahun 2003, misalnya, membuktikan betapa media di Amerika Serikat (AS) jauh dari kata netral. Media-media yang dikuasai oleh raja media Rupert Murdoch lebih memihak kepada AS daripada menjaga keobyektifannya. Media milik Rupert Murdoch yang menonjolkan patriotisme dalam Perang Irak adalah Fox News Channel. Hal ini mendapat kritikan pedas dari seorang Direktur Jenderal BBC Greg Dyke (Santana, 2005: 220).   
            Begitu dominannya intervensi pemerintah terhadap media juga terlihat dalam Perang Teluk, sebuah perang antara Kuwait-Irak dan disusul intervensi AS pada 1990-an. Konstruk perang ala Amerika kentara sekali dalam pemberitaan media-media AS. Media-media AS memanipulasi perang semata-mata demi kepentingan negara AS, sohib Kuwait dan musuh Irak dalam perang ini. Kellner (2010: 275) menyebut apa yang terjadi di dalam pemberitaan terkait perang dengan sebutan penyesatan informasi. Sebagai contoh terkait penyesatan informasi ini, demikian Kellner, apa yang dilakukan surat kabar Washington Post edisi 7 Agustus 1990. Harian ini membenarkan keputusan Presiden Bush untuk mengirim pasukan ke Arab Saudi, negara, yang menurut media ini akan diserang oleh Irak. Presiden Irak Saddam Hussein diberitakan berapi-api ketika rapat dengan Menteri Luar Negeri AS, Joseph Wilson. Padahal, tidak demikian adanya. Saddam Husein sebenarnya adalah orang yang ramah dan menginginkan perundingan ketika itu (Kellner, 2010: 275).
            Setali tiga uang dengan media cetak, media televisi milik AS seperti ABC, NBC, dan CBS juga ikut-ikutan membingkai Perang Teluk dengan asosiasi negatif terhadap negara Irak dan Saddam Hussein. Saddam Hussein dianggap sebagai setan yang harus dimusnahkan, sementara AS adalah malaikat penyelamat. ABC dan CBS malah menggunakan logo “Showdown in the Gulf” (Peperangan di Teluk) selama perang berlangsung dan mengirimkan reporternya untuk melaporkan detail perang. Semua ini dilakukan semata-mata demi kepentingan pemerintahan Bush ketika itu. Tidak ada, misalnya, penolakan terhadap perang yang dilakukan oleh media ini, atau minimal memberitakan warga AS dan para pengamat yang anti perang. Ketiga televisi ini hanya nurut saja kemauan pemerintahan Bush, tanpa ada “perlawanan” sama sekali (Kellner, 2010: 287).
Demikian sekelumit analisis terkait media di AS dalam kaitannya dengan propaganda pemerintah dalam memuluskan kebijakan-kebijakannya. Sampai hari ini pun sebenarnya, media-media negara maju terus mamanipulasi wacana global demi memuluskan kepentingannya, bisa politik, ekonomi, maupun budaya. Jika kita lihat misalnya berita-berita internasional di pertelevisian atau surat kabar kita, hampir bisa dipastikan sumbernya tidak jauh-jauh dari AP (kantor berita AS), AFP (Perancis), dan Reuters (Inggris).
            Di sinilah paradoks terjadi. Media selalu mempunyai kepentingan dalam pemberitaannya. Akibatnya, masyarakat dunia ketiga dikonstruk sedemikian rupa dalam mendapatkan informasi. Mereka tidak berkutik dengan daya lena yang ditiupkan media-media negara maju. Mereka harus menerima arus informasi itu meskipun manifulatif. Hemat penulis, imperialisme informasi ini berarti bagian dari keotoriteran negara maju. Di manakah demokrasi nan “sakral” lagi “agung” itu? Entahlah! Wallahu a’lam bi al-shawab. ^^6-4-2013, 8.05 AM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar