Minggu, 31 Maret 2013

Suriah; Krisis Tak Berujung


Suriah; Krisis Tak Berujung
Ahmad Sahide

            Krisis politik dalam negeri Suriah yang mengirimkan berita pembantaian, kejahatan atas kemanusiaan yang dialamatkan pada rakyat, terutama kelompok oposisi, kepada masyarakat internasional membuat pihak-pihak yang merasa bertanggung jawab dalam menyelesaikan krisis tersebut seolah frustrasi. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang punya payung hukum dalam mengintervensi polemik dalam negeri Suriah seolah tidak berdaya setelah upaya damai diplomat senior, Kofi Annan, yang dikirimnya menuai jalan buntu. Enam butir dari upaya damai yang ditawarkan Annan  praktis mati suri dan tidak berhasil menghentikan kekerasan (Kompas, 11/06/2012).
            Berlarut-larutnya krisis Suriah, yang seolah tidak ada jalan keluarnya, membuat negara-negara Barat semakin agresif mengecam dan menekan rezim Suriah. Dari Barat, lahirlah wacana intervensi militer, dan isu terakhir adalah Amnesty Internasional, organisasi pembela hak asasi manusia, mewacanakan akan menyeret rezim Suriah ke pengadilan kriminal internasional (Kompas, 15/06/2012). Selain dari itu, semua pemberitaan tentang rezim Suriah, Bashar al-Assad, selalu memojokkan rezim dan juga negara-negara yang ada di belakangnya, seperti Rusia, China, dan Iran. Bagi pemerhati politik Timur Tengah, peristiwa pembantaian dari hari ke hari membuat kita bertanya apa solusi terbaik dari kemelut tersebut setelah beberapa upaya damai, baik itu dari PBB maupun dari Liga Arab, selalu gagal menghentikan kekerasan dan jatuhnya korban? Hingga kini tercatat sudah lebih dari sepuluh ribu rakyat sipil yang menjadi korban kehilangan nyawa dari kemelut politik tersebut.
            Rusia, yang dikenal cukup dekat secara historis dengan Suriah, mencoba mengambil inisiatif dengan menawarkan pembagian kekuasaan di antara kekuatan politik di Suriah sebagai solusi krisis. Adapun Kofi Annan, yang merepresentasikan Barat, tengah menyiapkan inisiatif damai baru, yaitu pembentukan kelompok kontak baru yang melibatkan sejumlah negara Barat, Suriah, dan China. Iran dan negara-negara Arab dipertimbangkan untuk bergabung (Kompas, 11/06/2012). Akankah ini menjadi jalan keluar untuk mengakhiri krisis politik Suriah?

Asing sebagai akar masalah

            Sejak awal krisis politik dalam negeri Suriah, sudah tercium adanya dua ideologi besar yang akan bersaing mendapatkan dan merangkul Suriah ke depan. Tesis Naomi Klein cukup menarik dari bukunya “The Shock Doctrine”. Klein mengeksplore banyak bukti bagaimana negara-negara kapitalis (Barat) mulai mendoktrine dan menghegemoni suatu negara yang sedang mengalami ‘shock’, baik itu karena bencana alam maupun karena kisruh politik. Revolusi di Timur Tengah yang dimulai dari Tunisia pada awal tahun 2011 lalu, yang merembet ke negara-negara lainnya, termasuk Suriah kini, merupakan bagian dari situasi ‘shock’ yang dimanfaatkan oleh dua ideologi besar dunia, Barat versus Rusia dan China, untuk mendoktrin beberapa negara di kawasan kaya minyak tersebut. Bagi dunia Barat, terutama Amerika Serikat (AS), Arab Spring (musim semi Arab) adalah momentum untuk menghegemoni negara-negara yang selama ini berada pada ‘poros setan’. China dan Rusia juga tentu berpikir demikian adanya.
            Libya sudah tercatat dalam sejarah sebagai korban dari permainan politik The Shock Doctrine yang mengakhiri rezim Moammar Khadafi. Kini Suriah menjadi medan berikutnya, pertempuran ideologis antara Barat versus Rusia dan China. Dan Bashar al-Assad adalah peluncur dan rakyat kini telah kehilangan nyawa adalah pion-pionnya. Suriah pun terancam terjerumus ke dalam perang saudara. Dan media internasional, yang dihegemoni oleh Barat, selalu mencitrakan rezim Suriah sebagai pihak yang salah dan akar dari persoalan tersebut. Ada pun China dan Rusia yang selalu berdiri pada pihak Assad dikecam sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas situasi di dalam negeri Suriah. Terakhir Rusia angkat suara dengan mengatakan bahwa Barat tidak menawarkan solusi untuk mengakhiri krisis Suriah. Barat, di mata Rusia, justru mendorong oposisi untuk melakukan aksi  lebih keras atas rezim Suriah (Kompas, 16/06/2012). Begitu pun juga dengan sebaliknya, Barat selalu mencurigai Rusia mempersenjatai rezim Bashar al-Assad.
            Dari sini terlihat dengan cukup jelas bahwa akar persoalan dari berlarut-larutnya krisis politik dalam negeri Suriah adalah pihak asing. Keterlibatan Barat untuk mendoktrin dan mengehegomi Suriah ke depan yang memanfaat serta menjadikan situasi semakin ‘shock’ setelah Arab Spring mewabah di mana-mana. Dan Rusia, beserta China, tidak ingin situasi yang ‘shock’ tersebut sebawai awal dari kehilangan partner politik dan bisnisnya di kawasan kaya minyak tersebut. Konflik Suriah pun seolah tidak ada jalan keluarnya. Solusi yang dibawa Annan akan menguntungkan ideologi yang diusung Barat dan merugikan Rusia dan China. Sebaliknya, opsi jalan damai yang ditawarkan Rusia menguntungkan Rusia dan tidak bagi Barat.
Itulah nasib Suriah kini, menjadi tameng dari pertarungan dua ideologi besar dunia. Dan Bashar al-Assad, yang kini posisinya semakin lemah, selalu menjadi kambing hitam. Bayarannya adalah nyawa rakyat kecil melayang dari waktu ke waktu. Sampai kapan semua ini akan berakhir? Kita tentu harus menunggu pertarungan dua ideologi besar dunia ini akan berakhir di atas ‘ring tinju’ lingkaran batas-batas geografis Suriah, serta menunggu hasil siapa yang keluar sebagai pemenang dan pecundang.
Pemerhati Timur Tengah
Tinggal di Yogyakarta
Yogyakarta, 17 Juni 2012



Tidak ada komentar:

Posting Komentar