Suriah; Krisis Tak
Berujung
Ahmad Sahide
Krisis politik dalam negeri Suriah
yang mengirimkan berita pembantaian, kejahatan atas kemanusiaan yang
dialamatkan pada rakyat, terutama kelompok oposisi, kepada masyarakat
internasional membuat pihak-pihak yang merasa bertanggung jawab dalam
menyelesaikan krisis tersebut seolah frustrasi. Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) yang punya payung hukum dalam mengintervensi polemik dalam negeri Suriah
seolah tidak berdaya setelah upaya damai diplomat senior, Kofi Annan, yang
dikirimnya menuai jalan buntu. Enam butir dari upaya damai yang ditawarkan
Annan praktis mati suri dan tidak
berhasil menghentikan kekerasan (Kompas, 11/06/2012).
Berlarut-larutnya krisis Suriah,
yang seolah tidak ada jalan keluarnya, membuat negara-negara Barat semakin
agresif mengecam dan menekan rezim Suriah. Dari Barat, lahirlah wacana
intervensi militer, dan isu terakhir adalah Amnesty Internasional, organisasi
pembela hak asasi manusia, mewacanakan akan menyeret rezim Suriah ke pengadilan
kriminal internasional (Kompas, 15/06/2012). Selain dari itu, semua
pemberitaan tentang rezim Suriah, Bashar al-Assad, selalu memojokkan rezim dan
juga negara-negara yang ada di belakangnya, seperti Rusia, China, dan Iran.
Bagi pemerhati politik Timur Tengah, peristiwa pembantaian dari hari ke hari
membuat kita bertanya apa solusi terbaik dari kemelut tersebut setelah beberapa
upaya damai, baik itu dari PBB maupun dari Liga Arab, selalu gagal menghentikan
kekerasan dan jatuhnya korban? Hingga kini tercatat sudah lebih dari sepuluh
ribu rakyat sipil yang menjadi korban kehilangan nyawa dari kemelut politik
tersebut.
Rusia, yang dikenal cukup dekat
secara historis dengan Suriah, mencoba mengambil inisiatif dengan menawarkan
pembagian kekuasaan di antara kekuatan politik di Suriah sebagai solusi krisis.
Adapun Kofi Annan, yang merepresentasikan Barat, tengah menyiapkan inisiatif
damai baru, yaitu pembentukan kelompok kontak baru yang melibatkan sejumlah
negara Barat, Suriah, dan China. Iran dan negara-negara Arab dipertimbangkan
untuk bergabung (Kompas, 11/06/2012). Akankah ini menjadi jalan keluar
untuk mengakhiri krisis politik Suriah?
Asing sebagai akar masalah
Sejak awal krisis politik dalam
negeri Suriah, sudah tercium adanya dua ideologi besar yang akan bersaing
mendapatkan dan merangkul Suriah ke depan. Tesis Naomi Klein cukup menarik dari
bukunya “The Shock Doctrine”. Klein mengeksplore banyak bukti bagaimana
negara-negara kapitalis (Barat) mulai mendoktrine dan menghegemoni suatu negara
yang sedang mengalami ‘shock’, baik itu karena bencana alam maupun
karena kisruh politik. Revolusi di Timur Tengah yang dimulai dari
Tunisia pada awal tahun 2011 lalu, yang merembet ke negara-negara lainnya,
termasuk Suriah kini, merupakan bagian dari situasi ‘shock’ yang dimanfaatkan
oleh dua ideologi besar dunia, Barat versus Rusia dan China, untuk mendoktrin
beberapa negara di kawasan kaya minyak tersebut. Bagi dunia Barat, terutama
Amerika Serikat (AS), Arab Spring (musim semi Arab) adalah momentum
untuk menghegemoni negara-negara yang selama ini berada pada ‘poros setan’.
China dan Rusia juga tentu berpikir demikian adanya.
Libya sudah tercatat dalam sejarah
sebagai korban dari permainan politik The Shock Doctrine yang mengakhiri
rezim Moammar Khadafi. Kini Suriah menjadi medan berikutnya, pertempuran
ideologis antara Barat versus Rusia dan China. Dan Bashar al-Assad adalah
peluncur dan rakyat kini telah kehilangan nyawa adalah pion-pionnya. Suriah pun
terancam terjerumus ke dalam perang saudara. Dan media internasional, yang
dihegemoni oleh Barat, selalu mencitrakan rezim Suriah sebagai pihak yang salah
dan akar dari persoalan tersebut. Ada pun China dan Rusia yang selalu berdiri
pada pihak Assad dikecam sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas
situasi di dalam negeri Suriah. Terakhir Rusia angkat suara dengan mengatakan
bahwa Barat tidak menawarkan solusi untuk mengakhiri krisis Suriah. Barat, di
mata Rusia, justru mendorong oposisi untuk melakukan aksi lebih keras atas rezim Suriah (Kompas,
16/06/2012). Begitu pun juga dengan sebaliknya, Barat selalu mencurigai Rusia
mempersenjatai rezim Bashar al-Assad.
Dari sini terlihat dengan cukup
jelas bahwa akar persoalan dari berlarut-larutnya krisis politik dalam negeri
Suriah adalah pihak asing. Keterlibatan Barat untuk mendoktrin dan mengehegomi
Suriah ke depan yang memanfaat serta menjadikan situasi semakin ‘shock’
setelah Arab Spring mewabah di mana-mana. Dan Rusia, beserta China, tidak ingin
situasi yang ‘shock’ tersebut sebawai awal dari kehilangan partner
politik dan bisnisnya di kawasan kaya minyak tersebut. Konflik Suriah pun
seolah tidak ada jalan keluarnya. Solusi yang dibawa Annan akan menguntungkan
ideologi yang diusung Barat dan merugikan Rusia dan China. Sebaliknya, opsi
jalan damai yang ditawarkan Rusia menguntungkan Rusia dan tidak bagi Barat.
Itulah nasib Suriah kini, menjadi tameng dari pertarungan
dua ideologi besar dunia. Dan Bashar al-Assad, yang kini posisinya semakin
lemah, selalu menjadi kambing hitam. Bayarannya adalah nyawa rakyat kecil
melayang dari waktu ke waktu. Sampai kapan semua ini akan berakhir? Kita tentu
harus menunggu pertarungan dua ideologi besar dunia ini akan berakhir di atas
‘ring tinju’ lingkaran batas-batas geografis Suriah, serta menunggu hasil siapa
yang keluar sebagai pemenang dan pecundang.
Pemerhati Timur Tengah
Tinggal di Yogyakarta
Yogyakarta, 17 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar