Ideologi dan ‘Moralitas Baru’
(catatan kuliah)
Ahmad Sahide
Rabu
siang, 17 Maret 2013, saya kembali mengikuti kuliah “Teori Ideologi” yang
diampu oleh Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra di Kajian Timur Tengah (KTT),
untuk program Doktor, Universitas Gadjah Mada (UGM). Dari ‘ceramahnya’, Prof.
Heddy mengatakan bahwa ideologi dibutuhkan dan sangat penting bagi siapa saja
untuk bisa menafsir realitas yang terus berkembang dan dinamis.
Kata ‘ideologi’ tentu sudah tidak
asing lagi di telinga masyarakat kampus, terutama para aktivis. Ketika kita
menyebut kata komunisme, sosialisme, kapitalisme, liberalisme akan mengingatkan
kita pada ideologi. Namun, setelah mengikuti kuliah ini beberapa kali, saya
semakin sadar bahwa saya sebenarnya belum memahami dengan baik apa itu ideologi
serta apa isinya? Jika kita merujuk pada Louis Althusser, kita mendapatkan definisi bahwa ideologi
adalah kepercayaan yang tertanam tanpa disadari. Kepercayaan yang dipoles
sedemikian rupa sehingga tidak seperti kepercayaan. Citra ideal yang dikemas
seperti fakta dan dipahami sebagai realitas konkrit (Althusser: xvii). Itulah
ideologi dalam defenisi Althusser. David E. After punya definisi dengan bahasa yang
berbeda. Bagi After, “ideologi” merujuk lebih dari sekedar doktrin. Ideologi
dapat dilihat sebagai jubah (mantel) dari motif-motif dan penampilan yang busuk
(After: 16).
Akar munculnya ideologi
Dari ceramah kuliahnya siang itu,
Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra menjelaskan kepada mahasiswanya yang terbatas
(jumlah) akan keterkaitan antara ideologi, ketidakpuasan (discontent),
dan dinamika realitas. Bahwa ideologi lahir dari dua hal, yaitu dari
ketidakpuasan (discontent) dan pemimpin (leaders). Artinya bahwa
sebuah ideologi akan lahir karena muncul ketidakpuasan dari ideologi yang lama
(dominan). Contoh sederhananya adalah, sebagaimana yang kita ketahui bersama,
bahwa ideologi sosialisme lahir karena ada ketidakpuasan dari ideologi
kapitalisme. Kapitalisme dilihat sebagai ideologi yang tidak memberikan ruang
kepada kaum lemah untuk dapat bersaing dengan kaum berpunya dengan ajaran
moralnya yang menjunjung tinggi kepemilikan pribadi. Ajaran kapitalisme
dianggapnya ‘tidak bermoral’, maka lahirlah ajaran yang baru dengan ‘moralitas
yang baru.’ Komunisme (sosialisme) yang membawa ajaran sama rata-sama rasa.
Suatu ajaran (ideologi) yang lahir karena ketidakpuasan tadi. Inilah salah satu
penyebab lahirnya ideologi.
Faktor kedua lahirnya ideologi
adalah pemimpin (leaders). Discontent tadi akan berhasil sebagai
gerakan sosial (perubahan) jika ia memiliki pemimpin yang berhasil merumuskan
ajaran-ajaran barunya tersebut. Dan seorang pemimpin sah dianggap sebagai
pemimpin jika mampu merumuskan ideologinya (ajaran). Komunisme (sosialisme)
akan selalu melekat dengan figur Karl Marx karena Marxlah yang berhasil
merumuskan ajaran-ajaran barunya tersebut. Begitu pun juga dengan
ideologi-ideologi yang lainnya, baik itu dalam skala global maupun lokal
(nasional).
Dalam konteks Indonesia, hal ini
dapat dilihat bahwa lahirnya ajaran-ajaran baru, baik itu berseragam agama,
karena ada ketidakpuasan dari ajaran-ajaran yang lama. Dan ajaran-ajaran yang
baru itu perlu pemimpin yang merumuskannya, walaupun terkadang ada yang
menyebut dirinya sebagai ‘nabi’ yang membawa ajaran moralitas yang baru. Di
sinilah letak pentingnya ideologi untuk membaca dan menafsir realitas kehidupan
masyarakat yang dinamis. Sebagaimana dijelaskan oleh Althusser bahwa setiap
orang berperan menyebarkan ideologi dan menjadikan masyarakat ideologis. Bagi
Althusser, tidak mungkin ada sebuah masyarakat yang terbebas dari ideologi
(Althusser: xxiv).
Di Yogyakarta, banyak stiker yang
dipasang di kaca mobil, di mana stiker itu menunjukkan ketidakpuasan tersebut
dan juga dapat dilihat sebagai gejala lahirnya ideologi baru. Stiker itu
memunculkan foto mantan Presiden Soeharto yang melamnaikan tangan, kemudian ada
tulisan dalam bahasa Jawa, “Piye kabare bro? Asek palek zamanku, to...!”
Bagi Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra, jika selebaran ini mampu dirumuskan dengan
baik, kemudian memiliki pemimpin yang sukses merumuskan ajarannya, bahwa zaman
Soeharto lebih baik, maka ia pun dapat menjadi ideologi. Dan selebaran ini
lahir karena adanya ketidakpuasan sebagian kelompok masyarakat akan situasi
sosial politik saat ini.
Yogyakarta, 19 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar