Minggu, 28 April 2013

Ideologi dan ‘Moralitas Baru’


Ideologi dan ‘Moralitas Baru’
(catatan kuliah)
Ahmad Sahide
            Rabu siang, 17 Maret 2013, saya kembali mengikuti kuliah “Teori Ideologi” yang diampu oleh Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra di Kajian Timur Tengah (KTT), untuk program Doktor, Universitas Gadjah Mada (UGM). Dari ‘ceramahnya’, Prof. Heddy mengatakan bahwa ideologi dibutuhkan dan sangat penting bagi siapa saja untuk bisa menafsir realitas yang terus berkembang dan dinamis.
            Kata ‘ideologi’ tentu sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat kampus, terutama para aktivis. Ketika kita menyebut kata komunisme, sosialisme, kapitalisme, liberalisme akan mengingatkan kita pada ideologi. Namun, setelah mengikuti kuliah ini beberapa kali, saya semakin sadar bahwa saya sebenarnya belum memahami dengan baik apa itu ideologi serta apa isinya? Jika kita merujuk pada Louis Althusser, kita mendapatkan definisi bahwa ideologi adalah kepercayaan yang tertanam tanpa disadari. Kepercayaan yang dipoles sedemikian rupa sehingga tidak seperti kepercayaan. Citra ideal yang dikemas seperti fakta dan dipahami sebagai realitas konkrit (Althusser: xvii). Itulah ideologi dalam defenisi Althusser. David E. After punya definisi dengan bahasa yang berbeda. Bagi After, “ideologi” merujuk lebih dari sekedar doktrin. Ideologi dapat dilihat sebagai jubah (mantel) dari motif-motif dan penampilan yang busuk (After: 16).

Akar munculnya ideologi

            Dari ceramah kuliahnya siang itu, Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra menjelaskan kepada mahasiswanya yang terbatas (jumlah) akan keterkaitan antara ideologi, ketidakpuasan (discontent), dan dinamika realitas. Bahwa ideologi lahir dari dua hal, yaitu dari ketidakpuasan (discontent) dan pemimpin (leaders). Artinya bahwa sebuah ideologi akan lahir karena muncul ketidakpuasan dari ideologi yang lama (dominan). Contoh sederhananya adalah, sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa ideologi sosialisme lahir karena ada ketidakpuasan dari ideologi kapitalisme. Kapitalisme dilihat sebagai ideologi yang tidak memberikan ruang kepada kaum lemah untuk dapat bersaing dengan kaum berpunya dengan ajaran moralnya yang menjunjung tinggi kepemilikan pribadi. Ajaran kapitalisme dianggapnya ‘tidak bermoral’, maka lahirlah ajaran yang baru dengan ‘moralitas yang baru.’ Komunisme (sosialisme) yang membawa ajaran sama rata-sama rasa. Suatu ajaran (ideologi) yang lahir karena ketidakpuasan tadi. Inilah salah satu penyebab lahirnya ideologi.
            Faktor kedua lahirnya ideologi adalah pemimpin (leaders). Discontent tadi akan berhasil sebagai gerakan sosial (perubahan) jika ia memiliki pemimpin yang berhasil merumuskan ajaran-ajaran barunya tersebut. Dan seorang pemimpin sah dianggap sebagai pemimpin jika mampu merumuskan ideologinya (ajaran). Komunisme (sosialisme) akan selalu melekat dengan figur Karl Marx karena Marxlah yang berhasil merumuskan ajaran-ajaran barunya tersebut. Begitu pun juga dengan ideologi-ideologi yang lainnya, baik itu dalam skala global maupun lokal (nasional).
            Dalam konteks Indonesia, hal ini dapat dilihat bahwa lahirnya ajaran-ajaran baru, baik itu berseragam agama, karena ada ketidakpuasan dari ajaran-ajaran yang lama. Dan ajaran-ajaran yang baru itu perlu pemimpin yang merumuskannya, walaupun terkadang ada yang menyebut dirinya sebagai ‘nabi’ yang membawa ajaran moralitas yang baru. Di sinilah letak pentingnya ideologi untuk membaca dan menafsir realitas kehidupan masyarakat yang dinamis. Sebagaimana dijelaskan oleh Althusser bahwa setiap orang berperan menyebarkan ideologi dan menjadikan masyarakat ideologis. Bagi Althusser, tidak mungkin ada sebuah masyarakat yang terbebas dari ideologi (Althusser: xxiv).
            Di Yogyakarta, banyak stiker yang dipasang di kaca mobil, di mana stiker itu menunjukkan ketidakpuasan tersebut dan juga dapat dilihat sebagai gejala lahirnya ideologi baru. Stiker itu memunculkan foto mantan Presiden Soeharto yang melamnaikan tangan, kemudian ada tulisan dalam bahasa Jawa, “Piye kabare bro? Asek palek zamanku, to...!” Bagi Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra, jika selebaran ini mampu dirumuskan dengan baik, kemudian memiliki pemimpin yang sukses merumuskan ajarannya, bahwa zaman Soeharto lebih baik, maka ia pun dapat menjadi ideologi. Dan selebaran ini lahir karena adanya ketidakpuasan sebagian kelompok masyarakat akan situasi sosial politik saat ini.
Yogyakarta, 19 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar