Minggu, 24 Maret 2013

Fakhrunnas MA Jabbar, Sastrawan Penggelut Budaya Melayu



Fakhrunnas MA Jabbar, Sastrawan Penggelut Budaya Melayu
Darwin
            Membicarakan sosok para “pemain” kata (baca: sastrawan) tak akan ada habisnya. Berbagai literatur tentang para “pemuja” kata tumbuh, dengan “daun” lebatnya yang menjadi peneduh. “Cabang”-nya menjulur ke mana-mana jadi tempat bergantung. “Bunga”-nya kembang menyemerbak bau harum. Dan, “akar’-nya yang menancap tegap menandakan adanya pakem kesastraan khas Melayu (Indonesia).
            Salah satu dari banyaknya para penggelut kata ini adalah Fakhrunnas MA Jabbar (selanjutnya Fakhrunnas). Seorang sastrawan ranah Melayu yang cukup diperhitungkan karena karya-karyanya yang menghentak, “menujah”, sekaligus penuh dengan nilai-nilai kemelayuan. Karyanya melampaui (beyond) tempat di mana ia bermastautin, yakni, Riau. Melampaui, karena karya-karyanya diperbincangkan di Pusat. Karya-karyanya bertebaran di koran dan majalah nasional, seperti Koran Tempo, Republika, Kompas, Horison, Jawa Pos, Citra, Kartini, dan lainnya. Bahkan, cerpennya Rumah Besar tanpa Jendela disinetronkan oleh sutradara kondang Chaerul Umam pada tahun 2002 lalu.
Berkat kegigihannya bersastra, penghargaan sebagai Seniman/Budayawan Pilihan Sagang dari Yayasan Sagang, Riau dan Seniman Pemangku Negeri dari Dewan Kesenian Riau ia dapatkan. Ia pernah juga diundang oleh Unesco Korea Selatan dalam 99 Cultural Exchange Programme ASEAN-Republik of Korea di Seoul dan Kyong Ju pada tahun 1999. Pernah pula tampil membacakan puisi di Kuala Lumpur, Singapura, dan beberapa even sastra di Taman Ismail Marzuki (Jabbar, Sebatang Ceri di Serambi: 2007). Di tingkat lokal, ia berkeliling Indonesia mengikuti berbagai helat sastra, seperti pembacaan puisi, kongres cerpen, pertemuan pengarang, dan banyak lagi yang lainnya.
            Sastrawan yang spesialisasi cerpen dan puisi ini—meskipun menjadi penulis esai juga—dilahirkan di Tanjung Barulak, Kampar, Riau, pada 18 Januari 1959. Di Facebook-nya pada bulan Januari lalu, pas hari ulang tahunnya, penulis sempat membaca sekilas statusnya, ia mengatakan bahwa ia dilahirkan di tanggal yang sama dengan Pep Guardiola (lihat Facebook-nya di alamat Fakhrunnas MA Jabbar)—Para penggila bola dan pemuja Barcelona tentu tidak asing lagi dengan sosok fenomenal ini. Fakhrunnas pernah mencicipi bangku kuliah, ia tertarik dengan Fakultas Perikanan. Tepatnya adalah Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Universitas Riau, Pekanbaru.
Bergelut dengan tulisan adalah kebiasaannya sejak dulu. Setidaknya, sejak SMP, ia telah mulai menulis (Pusat Dokumentasi Sastra Melayu Riau, beralamat di Sutrianto.com, akses tanggal 10 Maret 2013, pukul 14.57 wib). Ditambah lagi karirnya sebagai wartawan beberapa media cetak maupun elektronik sejak tahun 1979 yang, sebagaimana kita ketahui pastilah identik dengan dunia tulis-menulis. Maka, torehan penanya telah melahirkan karya berupa cerpen, puisi, dan esai. Pemikirannya menjadi inspirasi dunia Melayu, terutama dalam hal sumbangsihnya terhadap budaya Melayu itu sendiri. Selain itu, yang tak dilupakan adalah daya dobraknya yang menggelegak terhadap status quo dan ketidakadilan yang dilihatnya sendiri di tanah Riau.
            Karya-karya Fakhrunnas punya langgam tersendiri. Ia menghadirkan dunia Melayu (Riau) ke dalam setiap goresan kata-kata. Segala macam tetek bengek kemelayuan hampir tidak luput dari penerokaannya. Mulai dari hutan yang dihabisi para manusia serakah dari Jakarta, para politisi yang korupsi, nasib puak Melayu yang sengsara karena eksploitasi penguasa-pengusaha, hingga budaya adiluhung Melayu yang penuh dengan petuah (nilai) hidup. Semuanya tidak luput dari amatannya. Lihatlah, misalnya, sebagian dari cerpen berjudul “Sebatang Ceri di Serambi” berikut:
“Saya sudah membaca banyak  buku pustaka dan manuskrip lama negeri ini. Tampak  sekali bahwa sumber daya alam Riaouw sangat kaya. Saya pernah mencatat bahwa Riaouw ini dulunya negeri minyak yang berlimpah-ruah. Ada sebuah perusahaan minyak dari Amerika—ya, kalau tak salah Caltex namanya—benar-benar jadi perusahaan raksasa di bidang minyak di republik  masa itu.Tapi kekayaan minyak tak banyak dinikmati orang-orang Riaouw. Menurut mereka, pemerintah pusat pada masa itu telah menzaliminya. Kekayaan dari Riaouw dibawa ke Jakarta,” kata Durna meyakinkan sekali. (“Sebatang Ceri di Serambi”: 2007).
            Dari segi permainan kata dan diksi, serta rima, Fakhrunnas adalah jagonya. Fakhrunnas cenderung menggunakan bahasa Melayu yang sangat khas Riau. Bahasa yang tentu saja berbeda dengan bahasa Melayu yang dikonstruk Jakarta. Nampaknya, ia ingin melawan dominasi bahasa ala Jakarta yang berseliweran di jagat media itu. Ia berani dan percaya diri menggunakan sebagian kata-kata Melayu Riau yang notabene adalah awal mula bahasa Indonesia. Perhatikan kutipan dari cerpen-cerpen berikut:
Aku malas bertekak dengan istriku sendiri gara-gara adu pendapat soal yang sudah lama diapungkan. Bukankah aku pada hakekatnya sependapat dengan Maryam? (“Kemarau Air Mata”)
Hayba sudah tak ada lagi. Ahli Sejarah Perjuangan Rakyat Melayu itu telah meninggal dua tahun sebelumnya karena semput. (“Riaouw Anno 2204”)
Beberapa hari menjelang upacara tujuh belasan, orang kampung sudah bisa melihat tabiat Usin Deka. Di tali ampaian telah bergantungan celana dan baju lusuh yang terlihat jelas berukuran lapang. (“Seorang Cacat di Hari Kemerdekaan”)
Sebab, dulu-dulunya, Sanif  begitu pulang kantor sesore itu langsung menengok reban ayam dan tebat ikan di samping rumah. Ayam-ayam yang berkeliaran segera dipanggil dan dimasukan ke reban itu. (“Perburuan Sanif”)
            Bisa dilihat kata-kata seperti bertekak, semput, tali ampaian, dan reban ayam sungguh sangat khas Riau. Kata-kata yang tentunya asing di telinga orang Indonesia pada umumnya. Kata bertekak diartikan dengan bertengkar, sedangkan semput adalah penyakit sesak napas. Adapun tali ampaian dimaksudkan sebagai  jemuran seperti kita ketahui selama ini. Dan, kata reban ayam bermakna kandang ayam. Tentunya masih banyak lagi kata-kata lain dengan resam Melayu nan khas yang termuat dalam karya-karya Fakhrunnas. 

Karya fenomenal
            Karya-karya Fakhrunnas bertebaran dari dulu hingga kini, di antaranya: kumpulan puisi Di Bawah Matahari (1981), Matahari Malam, Matahari Siang (1982), keduanya ditulis bersama Husnu Abadi, buku biografi Buya Zaini Kuni: Sebutir Mutiara di Lubuk Bendahara (1993), Air Mata Barzanji (2005), Tanah Airku Melayu (2008),—keduanya adalah buku puisi—, buku autobiografi H Soeman Hs: Bukan Pencuri Anak Perawan (1998), dan kumpulan cerpen Sebatang Ceri di Serambi (2006), serta Ongkak (2010).
Tapi dari semua karya di atas, yang fenomenal adalah H Soeman Hs: Bukan Pencuri Anak Perawan dan Sebatang Ceri di Serambi. Kedua buku ini mendapatkan anugerah sastra bergengsi, yakni Anugerah Sagang di Riau. Untuk diketahui, anugerah ini adalah penghargaan sastra-budaya tertinggi di Riau yang dihelat setiap tahun. Karya-karya terbaik seniman-budayawan Melayu diapresiasi dan dinilai di ajang ini. Selain itu, buku cerpen Sebatang Ceri di Serambi ini  juga masuk nominasi Anugerah Khatulistiwa Literary Award pada 2006.
            Kumpulan cerpen Sebatang Ceri di Serambi yang terbit pada 2005 adalah kumpulan cerpen terbaik Fakhrunnas. Salah satu cerpen dalam himpunan cerpen tersebut dimuat di Buku Horison Sastra Indonesia, Kitab Cerpen, terbitan Horison (2001), yakni cerpen yang berjudul Rumah Besar tanpa Jendela. Cerpen lainnya yang ada di dalam Sebatang Ceri di Serambi ini pernah dipublikasikan di Kompas, Republika, Riau Pos, Kartini, Citra, Riau Mandiri, dan lainnya. Sebagaimana telah kita ulas di atas, dalam kumpulan cerpen ini Fakhrunnas banyak mengangkat budaya puak Melayu, Riau, dengan bahasa indah khas Riau pula.
            Sedangkan dalam buku H Soeman Hs: Bukan Pencuri Anak Perawan, Fakhrunnas mengungkai sosok Soeman HS. Seorang sastrawan kenamaan dari Riau. Karya yang selalu disebut ketika sosok ini diulas adalah Kasih Tak Terlerai (1930), dan Mencari Pencuri Anak Perawan (1932), kedua-duanya adalah terbitan Balai Pustaka, Jakarta.
            Demikian sejumput kisah seorang Fakhrunnas. Sastrawan penggelut budaya Melayu, Riau. Dengan adanya Fakhrunnas, puak Melayu diharapkan akan tetap eksis menjalani kehidupan. Kekayaan Riau memang dikeruk habis oleh para korporasi besar yang berkongsi dengan elite Riau, namun dalam aspek lain, yakni sastra-budaya, Riau akan tetap gemilang dan terbilang karena ada Fakhrunnas, si penggelut budaya Melayu yang terus-menerus menorehkan penanya tanpa pernah mengenal kata berhenti. Wallahu a’lam bi al-shawab. 10 Maret 2013.
*Menujah = menikam
*Bermastautin = menetap
           

1 komentar:

  1. Terimakasih Bung Darwin. Saya baru saja membaca blog yang Anda kawal. Terus terang, apa yang dikisahkan mengenai diri saya membuat saya tersanjung (bisa-bisa tak berpijak di bumi, hehe). Mudah-mudahan sanjungan itu makin membuat saya sadar bahwa apa yang sudah saya perbuat hanyalah berwujud 'remah-remah yang berserakan'. Andai dihimpun pun dan dimaka, tak sampailah membuat orang kenyang.
    Oh ya, kabar gembira bagi saya, cerpen Sebatang Ceri di Serambi sedang diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis dan akan dimuat di dalam majalah Le Banian edisi Juni 2013 ini. Salam sukses selalu. Fakhrunnas MA Jabbar (Tanah Melayu Riau)

    BalasHapus