Fakhrunnas MA Jabbar, Sastrawan
Penggelut Budaya Melayu
Darwin
Membicarakan
sosok para “pemain” kata (baca: sastrawan) tak akan ada habisnya. Berbagai
literatur tentang para “pemuja” kata tumbuh, dengan “daun” lebatnya yang
menjadi peneduh. “Cabang”-nya menjulur ke mana-mana jadi tempat bergantung. “Bunga”-nya
kembang menyemerbak bau harum. Dan, “akar’-nya yang menancap tegap menandakan
adanya pakem kesastraan khas Melayu (Indonesia).
Salah satu dari banyaknya para penggelut
kata ini adalah Fakhrunnas MA Jabbar (selanjutnya Fakhrunnas). Seorang
sastrawan ranah Melayu yang cukup diperhitungkan karena karya-karyanya yang menghentak,
“menujah”, sekaligus penuh dengan nilai-nilai kemelayuan. Karyanya melampaui (beyond) tempat di mana ia bermastautin,
yakni, Riau. Melampaui, karena karya-karyanya diperbincangkan di Pusat.
Karya-karyanya bertebaran di koran dan majalah nasional, seperti Koran Tempo, Republika, Kompas, Horison,
Jawa Pos, Citra, Kartini, dan lainnya. Bahkan, cerpennya Rumah Besar tanpa Jendela disinetronkan
oleh sutradara kondang Chaerul Umam pada tahun 2002 lalu.
Berkat
kegigihannya bersastra, penghargaan sebagai Seniman/Budayawan Pilihan Sagang dari
Yayasan Sagang, Riau dan Seniman Pemangku Negeri dari Dewan Kesenian Riau ia
dapatkan. Ia pernah juga diundang oleh Unesco Korea Selatan dalam 99 Cultural Exchange Programme
ASEAN-Republik of Korea di Seoul dan Kyong Ju pada tahun 1999. Pernah pula
tampil membacakan puisi di Kuala Lumpur, Singapura, dan beberapa even sastra di
Taman Ismail Marzuki (Jabbar, Sebatang
Ceri di Serambi: 2007). Di tingkat lokal, ia berkeliling Indonesia
mengikuti berbagai helat sastra, seperti pembacaan puisi, kongres cerpen, pertemuan
pengarang, dan banyak lagi yang lainnya.
Sastrawan yang spesialisasi cerpen
dan puisi ini—meskipun menjadi penulis esai juga—dilahirkan di Tanjung Barulak,
Kampar, Riau, pada 18 Januari 1959. Di Facebook-nya pada bulan Januari lalu,
pas hari ulang tahunnya, penulis sempat membaca sekilas statusnya, ia
mengatakan bahwa ia dilahirkan di tanggal yang sama dengan Pep Guardiola (lihat
Facebook-nya di alamat Fakhrunnas MA Jabbar)—Para penggila bola dan pemuja
Barcelona tentu tidak asing lagi dengan sosok fenomenal ini. Fakhrunnas pernah mencicipi
bangku kuliah, ia tertarik dengan Fakultas Perikanan. Tepatnya adalah Jurusan
Manajemen Sumberdaya Perairan, Universitas Riau, Pekanbaru.
Bergelut
dengan tulisan adalah kebiasaannya sejak dulu. Setidaknya, sejak SMP, ia telah
mulai menulis (Pusat Dokumentasi Sastra Melayu Riau, beralamat di
Sutrianto.com, akses tanggal 10 Maret 2013, pukul 14.57 wib). Ditambah lagi
karirnya sebagai wartawan beberapa media cetak maupun elektronik sejak tahun
1979 yang, sebagaimana kita ketahui pastilah identik dengan dunia
tulis-menulis. Maka, torehan penanya telah melahirkan karya berupa cerpen,
puisi, dan esai. Pemikirannya menjadi inspirasi dunia Melayu, terutama dalam
hal sumbangsihnya terhadap budaya Melayu itu sendiri. Selain itu, yang tak
dilupakan adalah daya dobraknya yang menggelegak terhadap status quo dan
ketidakadilan yang dilihatnya sendiri di tanah Riau.
Karya-karya Fakhrunnas punya langgam
tersendiri. Ia menghadirkan dunia Melayu (Riau) ke dalam setiap goresan
kata-kata. Segala macam tetek bengek kemelayuan hampir tidak luput dari
penerokaannya. Mulai dari hutan yang dihabisi para manusia serakah dari
Jakarta, para politisi yang korupsi, nasib puak Melayu yang sengsara karena
eksploitasi penguasa-pengusaha, hingga budaya adiluhung Melayu yang penuh
dengan petuah (nilai) hidup. Semuanya tidak luput dari amatannya. Lihatlah,
misalnya, sebagian dari cerpen berjudul “Sebatang Ceri di Serambi” berikut:
“Saya
sudah membaca banyak buku pustaka dan
manuskrip lama negeri ini. Tampak sekali
bahwa sumber daya alam Riaouw sangat kaya. Saya pernah mencatat bahwa Riaouw
ini dulunya negeri minyak yang berlimpah-ruah. Ada sebuah perusahaan minyak
dari Amerika—ya, kalau tak salah Caltex namanya—benar-benar jadi perusahaan
raksasa di bidang minyak di republik masa itu.Tapi kekayaan minyak tak banyak dinikmati
orang-orang Riaouw. Menurut mereka, pemerintah pusat pada masa itu telah
menzaliminya. Kekayaan dari Riaouw dibawa ke Jakarta,” kata Durna meyakinkan
sekali. (“Sebatang Ceri di Serambi”: 2007).
Dari segi permainan kata dan diksi,
serta rima, Fakhrunnas adalah jagonya. Fakhrunnas cenderung menggunakan bahasa
Melayu yang sangat khas Riau. Bahasa yang tentu saja berbeda dengan bahasa Melayu
yang dikonstruk Jakarta. Nampaknya, ia ingin melawan dominasi bahasa ala
Jakarta yang berseliweran di jagat media itu. Ia berani dan percaya diri
menggunakan sebagian kata-kata Melayu Riau yang notabene adalah awal mula
bahasa Indonesia. Perhatikan kutipan dari cerpen-cerpen berikut:
Aku
malas bertekak
dengan istriku sendiri gara-gara adu pendapat soal yang sudah lama diapungkan.
Bukankah aku pada hakekatnya sependapat dengan Maryam? (“Kemarau Air Mata”)
Hayba
sudah tak ada lagi. Ahli Sejarah Perjuangan Rakyat Melayu itu telah meninggal
dua tahun sebelumnya karena semput. (“Riaouw Anno 2204”)
Beberapa
hari menjelang upacara tujuh belasan, orang kampung sudah bisa melihat tabiat
Usin Deka. Di tali ampaian telah bergantungan celana dan baju lusuh yang terlihat jelas berukuran
lapang. (“Seorang Cacat di Hari Kemerdekaan”)
Sebab,
dulu-dulunya, Sanif begitu pulang kantor
sesore itu langsung menengok reban ayam dan tebat ikan di samping rumah. Ayam-ayam yang berkeliaran segera dipanggil dan
dimasukan ke reban itu. (“Perburuan
Sanif”)
Bisa dilihat kata-kata seperti bertekak, semput, tali ampaian, dan reban ayam sungguh sangat khas Riau.
Kata-kata yang tentunya asing di telinga orang Indonesia pada umumnya. Kata bertekak diartikan dengan bertengkar,
sedangkan semput adalah penyakit
sesak napas. Adapun tali ampaian
dimaksudkan sebagai jemuran seperti kita
ketahui selama ini. Dan, kata reban ayam
bermakna kandang ayam. Tentunya masih banyak lagi kata-kata lain dengan resam
Melayu nan khas yang termuat dalam karya-karya Fakhrunnas.
Karya fenomenal
Karya-karya Fakhrunnas bertebaran
dari dulu hingga kini, di antaranya: kumpulan puisi Di Bawah Matahari (1981),
Matahari Malam, Matahari Siang (1982), keduanya ditulis bersama Husnu Abadi,
buku biografi Buya Zaini Kuni: Sebutir
Mutiara di Lubuk Bendahara (1993), Air
Mata Barzanji (2005), Tanah Airku
Melayu (2008),—keduanya adalah
buku puisi—, buku autobiografi H Soeman
Hs: Bukan Pencuri Anak Perawan (1998), dan kumpulan cerpen Sebatang Ceri di Serambi (2006), serta Ongkak (2010).
Tapi
dari semua karya di atas, yang fenomenal adalah H Soeman Hs: Bukan Pencuri Anak Perawan dan Sebatang Ceri di Serambi. Kedua buku ini mendapatkan anugerah
sastra bergengsi, yakni Anugerah Sagang
di Riau. Untuk diketahui, anugerah ini adalah penghargaan sastra-budaya
tertinggi di Riau yang dihelat setiap tahun. Karya-karya terbaik seniman-budayawan
Melayu diapresiasi dan dinilai di ajang ini. Selain itu, buku cerpen Sebatang Ceri di Serambi ini juga
masuk nominasi Anugerah Khatulistiwa
Literary Award pada 2006.
Kumpulan cerpen Sebatang Ceri di Serambi yang terbit pada 2005 adalah kumpulan cerpen
terbaik Fakhrunnas. Salah satu cerpen dalam himpunan cerpen tersebut dimuat di Buku Horison Sastra Indonesia, Kitab Cerpen,
terbitan Horison (2001), yakni cerpen yang berjudul Rumah Besar tanpa Jendela. Cerpen lainnya yang ada di dalam Sebatang Ceri di Serambi ini pernah
dipublikasikan di Kompas, Republika, Riau
Pos, Kartini, Citra, Riau Mandiri,
dan lainnya. Sebagaimana telah kita ulas di atas, dalam kumpulan cerpen ini
Fakhrunnas banyak mengangkat budaya puak Melayu, Riau, dengan bahasa indah khas
Riau pula.
Sedangkan dalam buku H Soeman Hs: Bukan Pencuri Anak Perawan,
Fakhrunnas mengungkai sosok Soeman HS. Seorang sastrawan kenamaan dari Riau.
Karya yang selalu disebut ketika sosok ini diulas adalah Kasih Tak Terlerai (1930), dan Mencari
Pencuri Anak Perawan (1932), kedua-duanya adalah terbitan Balai Pustaka,
Jakarta.
Demikian sejumput kisah seorang
Fakhrunnas. Sastrawan penggelut budaya Melayu, Riau. Dengan adanya Fakhrunnas,
puak Melayu diharapkan akan tetap eksis menjalani kehidupan. Kekayaan Riau
memang dikeruk habis oleh para korporasi besar yang berkongsi dengan elite
Riau, namun dalam aspek lain, yakni sastra-budaya, Riau akan tetap gemilang dan
terbilang karena ada Fakhrunnas, si penggelut budaya Melayu yang terus-menerus
menorehkan penanya tanpa pernah mengenal kata berhenti. Wallahu a’lam bi al-shawab. 10 Maret 2013.
*Menujah
= menikam
*Bermastautin
= menetap
Terimakasih Bung Darwin. Saya baru saja membaca blog yang Anda kawal. Terus terang, apa yang dikisahkan mengenai diri saya membuat saya tersanjung (bisa-bisa tak berpijak di bumi, hehe). Mudah-mudahan sanjungan itu makin membuat saya sadar bahwa apa yang sudah saya perbuat hanyalah berwujud 'remah-remah yang berserakan'. Andai dihimpun pun dan dimaka, tak sampailah membuat orang kenyang.
BalasHapusOh ya, kabar gembira bagi saya, cerpen Sebatang Ceri di Serambi sedang diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis dan akan dimuat di dalam majalah Le Banian edisi Juni 2013 ini. Salam sukses selalu. Fakhrunnas MA Jabbar (Tanah Melayu Riau)