Refleksi 66
Tahun HMI: Membangkitkan Krisis Intelektual HMI Dengan Gerakan Intelektual
Kreatif
Oleh: Nur Rachmansyah[1]
Pada tanggal 5 Februari 1947
bertepatan dengan 14 Rabiul awal 1366 H telah di deklarasikan berdirinya sebuah
organisasi mahasiswa Islam
yang bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Lahirnya HMI di kala itu diprakarsai oleh
Lafran Pane,
mahasiswa dari Sekolah
Tinggi Islam (STI).
Konon, menurut catatan sejarah, HMI lahir
di dalam ruang
kuliah pada saat perkuliahan
sedang berlangsung.
Selain itu juga situasi politik,
ekonomi, sosial, pendidikan, agama dan kebudayaan jugalah yang turut mematangkan kelahiran
dan keberadaan HMI pada masa itu. (Nef Saluz, 2009: 33)
Menurut Agussalim Sitompul, salah
seorang alumni HMI yang selama ini aktif menulis sejarah HMI, faktor mendasar berdirinya HMI
sekurang-kurangnya ada tiga hal. Pertama, adanya kebutuhan penghayatan
keagamaan di kalangan
mahasiswa Islam,
yang sedang menuntut ilmu di perguruan tinggi, yang selama itu belum mereka
nikmati sebagaimana mestinya. Karena pada umumnya mahasiwa Islam belum memahami dan kurang
mengamalkan ajaran agamanya, sebagai akibat dan kondisi pendidikan dan kondisi
masyarakat kala itu. Kedua, Tuntutan perjuangan kemerdekaan
bangsa Indonesia,
yang ingin melepaskan diri, bebas sebebas-bebasnya dari belenggu penjajahan. Ketiga, Adanya Sekolah Tinggi Islam (STI) yang kini menjadi
Universitas Islam Indonesia (UII), sebagai ajang dan basis mahasiswa Islam saat
itu. Apalagi secara sosiologis bangsa Indonesia mayoritas berpenduduk Islam. (Sitompul, 1997:12)
Satu
hal yang harus diakui dari kelahiran dan eksistensi HMI dalam sejarah
kemahasiswaan di Indonesia adalah dalam bidang intelektualisme Islam. Deliar
Noer, Nurcholis Madjid, Ahmad Wahib, dan Dawam Rahardjo ialah nama-nama yang
pernah dibesarkan oleh HMI. Kebesaran HMI antara lain karena ketekunannya dalam
melakukan kaderisasi bidang intelektual. Saat itu HMI berhasil menampilkan diri
sebagai organisasi mahasiswa yang berani melakukan trobosan intelektual dengan
pemikiran alternatif yang mampu mencairkan kebekuan pemikiran Islam pada masa
itu. (Ghazali, 1997: 568)
Pada
tahun 1970-an misalnya, pucuk pimpinan HMI yang diwakili Nurcholis Madjid (Cak
Nur) sudah mampu menerobos pemikiran Masyumi, yaitu dengan mengeluarkan gagasan
fenomenal ‘Islam Yes, Partai Islam No’. Betapa pun banyak yang tidak setuju
dengan gagasan Cak Nur kala itu. Tetapi, akibat pengaruh dari gagasan tersebut,
banyak partai dan ormas melakukan deideologisasi karenanya.
Kini
66 tahun sudah semenjak berdiri, bisa jadi, sejarah di atas hanyalah sekedar
contoh, betapa HMI pernah mewarnai khazanah pemikiran intelektual. Karena
melihat tiga dasawarsa terkahir, tradisi intelektual itu telah meredup. Dan,
kini rasanya sangat sulit mencari indikator bertahannya tradisi HMI secara
intelektual. Bahkan tidak salah apabila dikatakan bahwa tradisi intelektual HMI
kini telah menjadi butiran sejarah atau kenangan manis masa lalu.
Dekadensi Intelektual
Pada
era HMI saat ini, tampaknya tradisi intelektual HMI tidak sekadar meredup tapi
sudah bisa dikatakan hampir menghilang. Para aktivis HMI saat ini sudah tidak
tertarik lagi dengan suasana intelektual dan forum-forum diskusi. Bisa di lihat
pada diskusi atau training-training yang diadakan oleh Komisariat maupun Cabang
sungguh sepi dari peminat. Saya merasakan sendiri, dikala acara yang benuansa
intelektual, minat kader HMI untuk berpartisipasi sangat minim. Seperti pada
waktu yang lalu, saya mengikuti sekolah filsafat yang diselenggarakan oleh HMI
Cabang Yogyakarta. Peserta dari sekolah tersebut sangat sedikit bahkan bisa
dihitung jari. Hal tersebut sebenarnya tidaklah sebanding dengan kuantitas
kader HMI di wilayah Cabang Yogyakarta yang sangat banyak.
Saya
juga memperhatikan, kalau pun ada diadakan diskusi atau forum-forum intelektual
itu hanyalah sebatas rutinitas belaka. Tidak ada folow up atau gagasan yang brilian lahir dari forum-forum tersebut.
Bahkan, dari cakupan yang lebih luas lagi, bisa dikatakan juga bahwa seluruh
kegiatan HMI berkutat pada rutinitas belaka. Saat ini HMI hanya berkutat dalam
pergantian kepengurusan, mengadakan training, diskusi, demontrasi, dan
lain-lain, yang hanya menghasilkan orang-orang yang pintar berpidato dan
bersidang. Barangkali benar, apa yang
menjadi kritik dari sebagian alumni, kalau kualitas HMI sekarang sudah jauh
daripada dahulu.
Bahkan
yang menjadi paradoks di dalam HMI, saya melihat kader-kader HMI itu justru banyak yang lebih suka terhadap kegiatan yang
sifatnya ceremonial dan hiburan
belaka. Contohnya, ketika diadakan kegiatan futsal atau pun refresing, maka banyak sekali kader yang
ikut serta. Itu tidak sebanding peminatnya ketika pada saat diadakan diskusi,
seminar, training atau pun kegiatan yang bersifat intelektual lainnya.
Gerakan Intelektual Kreatif
Saya
tertarik dengan sebuah opini dari saudara Bhima Yudhistira, kader HMI Cabang
Sleman, yang ada di HMINEWS.COM berjudul “Komunitas Keatif Untuk Apa?”. Dalam
opininya, saudara Bhima mengkritisi tentang komunitas kreatif yang telah
digagas oleh Pengurus Besar (PB) HMI. Saudara Bhima mempertanyakan seperti
apakah sebenarnya kominitas kreatif yang dimaksud oleh PB HMI. Apakah semacam
perkumpulan art-designer yang gemar
corat-coret dan membuka distro? Atau berpikir untuk kemajuan pemikiran di HMI
secara kreatif? (HMINEWS, Bhima Yudistira:
18 April 2012)
Menanggapi
opini dari Bhima Yudistira, sebenarnya saat ini di HMI sudah ada bentuk dari
komunitas kreatif. Saya mengambil contoh seperti, Komunitas Belajar Menulis
(KBM) yang dipelopori oleh Ahmad Sahide. KBM ini adalah salah satu komunitas
kreatif yang dimiliki HMI saat ini. Betapa tidak, adanya KBM cukup memberikan angin
segar di tengah miskinnya kreativitas HMI. Secara umur KBM masih sangat relatif
muda yang lahir sekitar bulan Desember 2010, tetapi KBM sudah membuktikan
dengan melahirkan karya-karya intelektual. Sudah lahir beberapa karya dari KBM
antara lain berupa buku, ‘Kusimpan Kau Dalam Puisi’, ‘Pesan Mama Tentang
Kematian Yang Indah’, serta beberapa tulisan anak KBM yang dimuat oleh media,
koran dan majalah.
Menurut
saya, sebenarnya adanya KBM ini haruslah direspon oleh HMI secara keseluruhan.
Untuk menopang keintelektualan HMI, tidak bisa diharapkan hanya menjadi
tanggung jawab dari struktur HMI saja. Tetapi harus ditanggapi oleh seluruh
kader HMI, untuk bisa membuat berbagai macam komunitas kreatif. Silahkan kader
HMI membuat komunitas kreatif, dalam ranah apa pun. Bagi kader HMI yang suka
menulis, bisa membuat komunitas menulis. Bagi kader yang suka menonton film,
bisa membuat komunitas pencinta film. Untuk kader yang suka filsafat, silahkan membuat
komunitas kajian filsafat. Yang jelas, komunitas apa pun dapat dibuat sesuai dengan
minat dan bakat. Dan yang terpenting adalah komunitas kreatif tersebut bisa
menunjang intelektualitas kader HMI.
Adanya
komunitas kreatif, itu membuktikan bahwa masih ada intelektual kreatif,
meskipun dalam jumlah yang kecil. Tetapi alangkah lebih baiknya jika saat ini
HMI memiliki banyak komunitas kreatif. Untuk PB HMI, yang sudah menggagas dari
gerakan komunitas kreatif ini, diharapkan bisa membumikan lagi wacana tersebut.
Apabila komunitas keatif tersebut bisa berjalan dengan lancar secara tekun, maka
tidak menutup kemungkinan bahwa HMI saat ini bisa kembali melahirkan
tokoh-tokoh intelektual. HMI harus tetap optimis dan berusaha, bahwa sebenarnya
HMI bisa kembali seperti pada masa keemasan HMI.
Paradigma ‘Intelektual Profetik’
Menurut
saya, gerakan intelektual kreatif saat ini haruslah memiliki landasan
keintelektualan. Agar secara pondasi intelektual, gerakan intelektual kreatif
juga memiliki landasan paradigma yang kuat. Jadi secara objektif ada indikator
yang kongkrit sebagai paradigma dan standarisasi intelektual, yang menjadi
landasan dari gerakan intelektual kreatif. Saya di sini menawarkan untuk
memberikan standarisasi tersebut, yaitu dengan gagasan paradigma ‘intelektual
profetik’.
Intelektual
profetik adalah sebuah akronim. Pengabungan dari dua kata yang diserap dari
bahasa inggris yakni kata intelectual
(orang pandai, teknokrat, moralis) dan Prophet
(Nabi). Apabila diartikan menggunakan bahasa Indonesia, intelektual profetik
akan memiliki arti sebagai orang pandai atau ilmuwan dengan paradigma kenabian.
Serta di dalamnya ada sosok yang mencirikan kenabian. Dalam artian, intelektual
profetik ialah seorang yang memiliki konsep agama dalam menjalani kehidupannya.
Segala sudut pandangnya terhadap persoalan dunia selalu berdasarkan pada ajaran
nabi. Segala perkataan dan perbuatannya selalu merujuk pada perkataan dan
perbuatan yang dicontohkan oleh nabinya.
Sebenarnya
Al-Qur’an juga telah menjelaskan bagaimana ciri dari intelektual profetik
tetapi dengan bahasa ulil albab. HMI pun secara eksplisit sudah menyebutkan
“membentuk insan ulil albab” sebagai tujuan organisasi. Menurut saya, bagaimana
jika HMI juga menafsirkan ulil albab tersebut menjadi intelektual propetik. Intelektual
yang mampu menyelaraskan antar hasil penalaran akal dengan hasil penalaran
wahyu. Jadi seharusnya dalam perkaderannya, HMI diharapkan mampu menciptakan
kader-kader yang mempunyai paradigma kenabian. Dengan kata lain sosok yang
tercermin dalam seorang kader dapat memposisikan diri sebagai intelektual
profetik.
Jadi,
dalam konteks kekinian, HMI perlu merefleksikan urgensi gerakan intelektual
kreatif. Dan gerakan intelektual kreatif tersebut memiliki landasan paradigma
intelektual profetik. Intelektual yang memiliki jiwa atau semangat kenabian.
[1]
Kader Himpunan Mahasiswa Islam
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (HMI FH UII), Anggota penggiat
Komunitas Belajar Menulis (KBM).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar