Selasa, 26 Februari 2013

Refleksi 66 Tahun HMI: Membangkitkan Krisis Intelektual HMI Dengan Gerakan Intelektual Kreatif



Refleksi 66 Tahun HMI: Membangkitkan Krisis Intelektual HMI Dengan Gerakan Intelektual Kreatif  

Oleh: Nur Rachmansyah[1]

Pada tanggal 5 Februari 1947 bertepatan dengan 14 Rabiul awal 1366 H telah di deklarasikan berdirinya sebuah organisasi mahasiswa Islam yang bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Lahirnya HMI di kala itu diprakarsai oleh Lafran Pane, mahasiswa dari Sekolah Tinggi Islam (STI). Konon, menurut catatan sejarah, HMI lahir di dalam ruang kuliah  pada saat perkuliahan sedang berlangsung. Selain itu juga situasi politik, ekonomi, sosial, pendidikan, agama dan kebudayaan jugalah yang turut mematangkan kelahiran dan keberadaan HMI pada masa itu. (Nef Saluz, 2009: 33)
Menurut Agussalim Sitompul, salah seorang alumni HMI yang selama ini aktif menulis sejarah HMI, faktor mendasar berdirinya HMI sekurang-kurangnya ada tiga hal. Pertama, adanya kebutuhan penghayatan keagamaan di kalangan mahasiswa Islam, yang sedang menuntut ilmu di perguruan tinggi, yang selama itu belum mereka nikmati sebagaimana mestinya. Karena pada umumnya mahasiwa Islam belum memahami dan kurang mengamalkan ajaran agamanya, sebagai akibat dan kondisi pendidikan dan kondisi masyarakat kala itu. Kedua, Tuntutan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, yang ingin melepaskan diri, bebas sebebas-bebasnya dari belenggu penjajahan. Ketiga, Adanya Sekolah Tinggi Islam (STI) yang kini menjadi Universitas Islam Indonesia (UII), sebagai ajang dan basis mahasiswa Islam saat itu. Apalagi secara sosiologis bangsa Indonesia mayoritas berpenduduk Islam. (Sitompul, 1997:12)
Satu hal yang harus diakui dari kelahiran dan eksistensi HMI dalam sejarah kemahasiswaan di Indonesia adalah dalam bidang intelektualisme Islam. Deliar Noer, Nurcholis Madjid, Ahmad Wahib, dan Dawam Rahardjo ialah nama-nama yang pernah dibesarkan oleh HMI. Kebesaran HMI antara lain karena ketekunannya dalam melakukan kaderisasi bidang intelektual. Saat itu HMI berhasil menampilkan diri sebagai organisasi mahasiswa yang berani melakukan trobosan intelektual dengan pemikiran alternatif yang mampu mencairkan kebekuan pemikiran Islam pada masa itu. (Ghazali, 1997: 568)
Pada tahun 1970-an misalnya, pucuk pimpinan HMI yang diwakili Nurcholis Madjid (Cak Nur) sudah mampu menerobos pemikiran Masyumi, yaitu dengan mengeluarkan gagasan fenomenal ‘Islam Yes, Partai Islam No’. Betapa pun banyak yang tidak setuju dengan gagasan Cak Nur kala itu. Tetapi, akibat pengaruh dari gagasan tersebut, banyak partai dan ormas melakukan deideologisasi karenanya.
Kini 66 tahun sudah semenjak berdiri, bisa jadi, sejarah di atas hanyalah sekedar contoh, betapa HMI pernah mewarnai khazanah pemikiran intelektual. Karena melihat tiga dasawarsa terkahir, tradisi intelektual itu telah meredup. Dan, kini rasanya sangat sulit mencari indikator bertahannya tradisi HMI secara intelektual. Bahkan tidak salah apabila dikatakan bahwa tradisi intelektual HMI kini telah menjadi butiran sejarah atau kenangan manis masa lalu.

Dekadensi Intelektual
Pada era HMI saat ini, tampaknya tradisi intelektual HMI tidak sekadar meredup tapi sudah bisa dikatakan hampir menghilang. Para aktivis HMI saat ini sudah tidak tertarik lagi dengan suasana intelektual dan forum-forum diskusi. Bisa di lihat pada diskusi atau training-training yang diadakan oleh Komisariat maupun Cabang sungguh sepi dari peminat. Saya merasakan sendiri, dikala acara yang benuansa intelektual, minat kader HMI untuk berpartisipasi sangat minim. Seperti pada waktu yang lalu, saya mengikuti sekolah filsafat yang diselenggarakan oleh HMI Cabang Yogyakarta. Peserta dari sekolah tersebut sangat sedikit bahkan bisa dihitung jari. Hal tersebut sebenarnya tidaklah sebanding dengan kuantitas kader HMI di wilayah Cabang Yogyakarta yang sangat banyak.
Saya juga memperhatikan, kalau pun ada diadakan diskusi atau forum-forum intelektual itu hanyalah sebatas rutinitas belaka. Tidak ada folow up atau gagasan yang brilian lahir dari forum-forum tersebut. Bahkan, dari cakupan yang lebih luas lagi, bisa dikatakan juga bahwa seluruh kegiatan HMI berkutat pada rutinitas belaka. Saat ini HMI hanya berkutat dalam pergantian kepengurusan, mengadakan training, diskusi, demontrasi, dan lain-lain, yang hanya menghasilkan orang-orang yang pintar berpidato dan bersidang.  Barangkali benar, apa yang menjadi kritik dari sebagian alumni, kalau kualitas HMI sekarang sudah jauh daripada dahulu.
Bahkan yang menjadi paradoks di dalam HMI, saya melihat kader-kader HMI itu justru  banyak yang lebih suka terhadap kegiatan yang sifatnya ceremonial dan hiburan belaka. Contohnya, ketika diadakan kegiatan futsal atau pun refresing, maka banyak sekali kader yang ikut serta. Itu tidak sebanding peminatnya ketika pada saat diadakan diskusi, seminar, training atau pun kegiatan yang bersifat intelektual lainnya.

Gerakan Intelektual Kreatif
Saya tertarik dengan sebuah opini dari saudara Bhima Yudhistira, kader HMI Cabang Sleman, yang ada di HMINEWS.COM berjudul “Komunitas Keatif Untuk Apa?”. Dalam opininya, saudara Bhima mengkritisi tentang komunitas kreatif yang telah digagas oleh Pengurus Besar (PB) HMI. Saudara Bhima mempertanyakan seperti apakah sebenarnya kominitas kreatif yang dimaksud oleh PB HMI. Apakah semacam perkumpulan art-designer yang gemar corat-coret dan membuka distro? Atau berpikir untuk kemajuan pemikiran di HMI secara kreatif? (HMINEWS, Bhima Yudistira: 18 April 2012)
Menanggapi opini dari Bhima Yudistira, sebenarnya saat ini di HMI sudah ada bentuk dari komunitas kreatif. Saya mengambil contoh seperti, Komunitas Belajar Menulis (KBM) yang dipelopori oleh Ahmad Sahide. KBM ini adalah salah satu komunitas kreatif yang dimiliki HMI saat ini. Betapa tidak, adanya KBM cukup memberikan angin segar di tengah miskinnya kreativitas HMI. Secara umur KBM masih sangat relatif muda yang lahir sekitar bulan Desember 2010, tetapi KBM sudah membuktikan dengan melahirkan karya-karya intelektual. Sudah lahir beberapa karya dari KBM antara lain berupa buku, ‘Kusimpan Kau Dalam Puisi’, ‘Pesan Mama Tentang Kematian Yang Indah’, serta beberapa tulisan anak KBM yang dimuat oleh media, koran dan majalah.
Menurut saya, sebenarnya adanya KBM ini haruslah direspon oleh HMI secara keseluruhan. Untuk menopang keintelektualan HMI, tidak bisa diharapkan hanya menjadi tanggung jawab dari struktur HMI saja. Tetapi harus ditanggapi oleh seluruh kader HMI, untuk bisa membuat berbagai macam komunitas kreatif. Silahkan kader HMI membuat komunitas kreatif, dalam ranah apa pun. Bagi kader HMI yang suka menulis, bisa membuat komunitas menulis. Bagi kader yang suka menonton film, bisa membuat komunitas pencinta film. Untuk kader yang suka filsafat, silahkan membuat komunitas kajian filsafat. Yang jelas, komunitas apa pun dapat dibuat sesuai dengan minat dan bakat. Dan yang terpenting adalah komunitas kreatif tersebut bisa menunjang intelektualitas kader HMI.
Adanya komunitas kreatif, itu membuktikan bahwa masih ada intelektual kreatif, meskipun dalam jumlah yang kecil. Tetapi alangkah lebih baiknya jika saat ini HMI memiliki banyak komunitas kreatif. Untuk PB HMI, yang sudah menggagas dari gerakan komunitas kreatif ini, diharapkan bisa membumikan lagi wacana tersebut. Apabila komunitas keatif tersebut bisa berjalan dengan lancar secara tekun, maka tidak menutup kemungkinan bahwa HMI saat ini bisa kembali melahirkan tokoh-tokoh intelektual. HMI harus tetap optimis dan berusaha, bahwa sebenarnya HMI bisa kembali seperti pada masa keemasan HMI.

Paradigma ‘Intelektual Profetik’
Menurut saya, gerakan intelektual kreatif saat ini haruslah memiliki landasan keintelektualan. Agar secara pondasi intelektual, gerakan intelektual kreatif juga memiliki landasan paradigma yang kuat. Jadi secara objektif ada indikator yang kongkrit sebagai paradigma dan standarisasi intelektual, yang menjadi landasan dari gerakan intelektual kreatif. Saya di sini menawarkan untuk memberikan standarisasi tersebut, yaitu dengan gagasan paradigma ‘intelektual profetik’.
Intelektual profetik adalah sebuah akronim. Pengabungan dari dua kata yang diserap dari bahasa inggris yakni kata intelectual (orang pandai, teknokrat, moralis) dan Prophet (Nabi). Apabila diartikan menggunakan bahasa Indonesia, intelektual profetik akan memiliki arti sebagai orang pandai atau ilmuwan dengan paradigma kenabian. Serta di dalamnya ada sosok yang mencirikan kenabian. Dalam artian, intelektual profetik ialah seorang yang memiliki konsep agama dalam menjalani kehidupannya. Segala sudut pandangnya terhadap persoalan dunia selalu berdasarkan pada ajaran nabi. Segala perkataan dan perbuatannya selalu merujuk pada perkataan dan perbuatan yang dicontohkan oleh nabinya.
Sebenarnya Al-Qur’an juga telah menjelaskan bagaimana ciri dari intelektual profetik tetapi dengan bahasa ulil albab. HMI pun secara eksplisit sudah menyebutkan “membentuk insan ulil albab” sebagai tujuan organisasi. Menurut saya, bagaimana jika HMI juga menafsirkan ulil albab tersebut menjadi intelektual propetik. Intelektual yang mampu menyelaraskan antar hasil penalaran akal dengan hasil penalaran wahyu. Jadi seharusnya dalam perkaderannya, HMI diharapkan mampu menciptakan kader-kader yang mempunyai paradigma kenabian. Dengan kata lain sosok yang tercermin dalam seorang kader dapat memposisikan diri sebagai intelektual profetik.
Jadi, dalam konteks kekinian, HMI perlu merefleksikan urgensi gerakan intelektual kreatif. Dan gerakan intelektual kreatif tersebut memiliki landasan paradigma intelektual profetik. Intelektual yang memiliki jiwa atau semangat kenabian.



[1] Kader Himpunan Mahasiswa Islam Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (HMI FH UII), Anggota penggiat Komunitas Belajar Menulis (KBM).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar