Membahasakan
Realitas ke Dalam Indahnya Kata-Kata
Darwin
Membahasakan
realitas ke dalam indahnya kata-kata, inilah yang dilakukan oleh para penyair.
Namun, bahasa manusia sungguh sangat terbatas dalam mengolah “adonan” yang
bernama realitas tersebut ke dalam “kue” yang bernama puisi, atau ada juga yang
menyebutnya dengan sajak, bahkan syair ini. Alam sekitar jauh lebih kaya
perbendaharaan katanya daripada bahasa manusia, namun hal tersebut tidak
diketahui (belum tersingkap) oleh manusia karena misteri dari alam tersebut, yang
sebagaimana kita ketahui “tangan” Tuhan berada di baliknya. Inilah salah satu
bagian dari kata-kata yang terlontar dari salah seorang penyair yang ada di Kota
Yogyakarta, Bang Bustan Basir Maras (selanjutnya Bang Bustan), pada diskusi “Komunitas
Belajar Menulis” (KBM), Ahad malam (5/6) lalu, di markas KBM, jalan Golo,
Tamsis. Diskusi yang dihadiri oleh 12 orang ini -terdiri dari peserta tetap KBM
dan undangan- semakin asyik karena banyolan-banyolan yang diberikan oleh Bang
Bustan di sela-sela diskusi.
Dengan memakai kaos berwarna putih
dipadu dengan jaket hitam, celana jins, dan jam tangan yang melingkar di tangan
kanannya, Bang Bustan memulai diskusinya dengan menyitir kata-kata filosof
tenar Perancis, Nietzsche: bahwa puisi adalah menerjemahkan kenyataan ke dalam
mimpi, dan sebaliknya mimpi ke dalam kenyataan. Selanjutnya, Bang Bustan
bercerita banyak tentang seluk beluk dunia perpuisian, mulai dari hal-hal
sederhana dari puisi hingga yang paling filosofis sekalipun. Lebih lanjut lelaki
asal Mandar ini menjelaskan, bahwa hampir semua ilmuwan atau ulama besar Islam
dahulu adalah penyair. Hal ini menunjukkan keunggulan puisi daripada
kategori-kategori sastra lainnya, seperti novel dan cerpen, misalnya. Bahkan,
Bang Bustan mengatakan, puisi lebih unggul daripada filsafat sekalipun, karena
ia bersifat pra-pikir. Dengan kata lain, ia sebenarnya sudah ada dalam kepala
penyair sebelum ia dibahasakan dalam bentuk puisi. Berbeda dengan filsafat, ia
ada setelah pemikiran mencuat dan diperdebatkan.
Ditemani
dua aqua gelas dihadapannya, Bang Bustan semakin bersemangat menelurkan ilmu
kepenyairannya kepada peserta diskusi, apalagi setelah sebagian peserta juga
tidak mau kalah dengan pembicara yang ada di depan, dengan mengeluarkan sedikit
pemikirannya terkait dengan dunia puisi. Menjawab pertanyaan dari saudara
Rezki, misalnya, lelaki yang telah menghasilkan beberapa buku puisi ini,
mengatakan, semakin rasional seseorang, maka semakin hilang unsur puitiknya.
Artinya, bahasa puisi adalah bahasa imajinasi, di luar dari bahasa sehari-hari
manusia. Ia memuat ketidaklaziman, bahkan hal-hal yang tidak masuk akal
sekalipun. Jadi, untuk menjadi penyair, dibutuhkan daya imajinasi yang tinggi
ditambah interaksi dengan lingkungan sekitar. Tidak hanya itu, seorang penyair
haruslah mengamati apa yang ditemui dalam kehidupannya secara detail, walaupun
hal tersebut remeh sekalipun, apa pun itu.
Di
akhir-akhir diskusi, lelaki yang mempunyai suara keras ini, membandingkan isi
puisi dahulu dan sekarang. Dahulu bahasa puisi terlihat lebih puitis.
Menurutnya wajar, karena kita mengkonsumsinya pada zaman yang jauh lebih
berbeda dengan zaman mereka. Bisa jadi para penyair dahulu tidak menganggap
puisi mereka puitik, karena sudah menjadi “makanan” sehari-hari mereka. Kita yang
lahir di zaman modern sekarang menganggap puisi zaman dahulu puitik karena
bahasanya yang tidak jamak di telinga kita untuk saat ini. Begitu juga, tambah
Bang Bustan lebih lanjut, puisi-puisi kita saat ini di masa yang akan datang
akan dianggap puitik oleh generasi selanjutnya karena mereka tidak mengalami
era sekarang.
Karena
malam sudah hampir larut, diskusi tentang perpuisian, ini pun ditutup oleh
saudara Nanang sebagai moderator, dilanjutkan beberapa menit obrolan ringan
yang tidak formal antara peserta diskusi dengan Bang Bustan sebelum ia pulang
ke rumahnya.
Yogyakarta, 10
Juni 2011:10.20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar