Darwin
Ajakan boikot oleh
Sekretaris Kabinet Dipo Alam kepada tiga media yang selalu mengkritik pemerintah,
yakni: TV One, Metro TV, dan Media Indonesia (Tempo,
edisi 23 Februari 2011), adalah bagian dari buruknya perjalanan rezim
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama ini. Banyak sekali
kekurangan rezim SBY selama memimpin negeri ini terkait dengan kehidupan
masyarakat bawah. Kemiskinan, kebodohan, martabat bangsa yang digadaikan,
bencana alam, ketidakadilan hukum dan
berbagai persoalan bangsa lainnya adalah hal yang berkaitkelindan dengan rezim
ini.
Hal ini membuktikan seorang SBY
sebenarnya sudah tidak layak lagi memimpin negeri yang terbentang dari Sabang
sampai Merauke ini. Terlalu banyak persoalan bangsa yang tidak bisa
diselesaikan oleh SBY. Persoalan satu belum selesai, muncul persoalan lainnya. Anehnya,
SBY malah menjawab semua itu dengan pencitraan, tidak mau dikritik, pengalihan
isu, dan “beribu” trik lainnya layaknya pesulap di atas panggung yang mengelabui
penonton. Kita tahu selama ini rezim SBY selalu disibukkan dengan angka-angka
statistik yang tidak berkait samasekali dengan kepentingan rakyat banyak. Statistik
yang hanya sebagai klaim keberhasilan pemerintahan. Oleh karena itu, para tokoh
agama kita menganggap rezim SBY ini penuh dengan kebohongan.
“Kasus”
boikot media adalah salah satu bukti bahwa rezim SBY adalah rezim antikritik.
Rezim SBY bisalah disamakan dengan rezim yang memimpin mayoritas negara-negara
di Timur Tengah saat ini, atau rezim yang menguasai Cina yang mengontrol secara
ketat media-media yang ada di negeri itu. Kalau kita kembali ke negara kita,
boikot media adalah penjelmaan kembali Orde Baru. Dulu rezim Orde Baru memang
suka membredel media yang berseberangan pendapat dengan pemerintah. Media yang
“mengganggu” ideologi pemerintah siap-siap dicabut izin usahanya. Sekarang
melalui seorang Dipo Alam keinginan untuk memboikot media kembali diwacanakan. Tidak
tanggung-tanggung, media yang diancam tersebut adalah media milik orang kaya
yang selama ini cukup dikenal oleh masyarakat.
TV
One, Metro TV, Media Indonesia
TV
One adalah adalah milik grup Bakrie yang pimpinannya adalah Aburizal
Bakrie, penguasa Partai Golkar sekarang. Sementara, Metro
TV dan Media Indonesia adalah
milik Media Grup yang dikomandoi oleh Surya Paloh, salah seorang pencetus
Nasional Demokrat. Melihat realitas ini, adalah wajar jika media-media ini
“menyerang” habis-habisan rezim SBY. Sebagaimana kita tahu, Partai Golkar
pimpinan Aburizal adalah salah satu penguasa parlemen saat ini yang menduduki
kursi nomor dua terbanyak sesudah Partai Demokrat. Pasti ada
kepentingan-kepentingan politik yang bermain. Hal ini bisa saja dikaitkan
dengan Pemilihan Presiden pada 2014. Dalam hal ini, Golkar tentu tidak akan
tinggal diam karena duduk di kekuasaan itu sangat menggiurkan, apalagi kursi
nomor satu di negeri ini.
Setali tiga uang dengan Grup Bakrie
dengan TV One-nya. Media Grup yang
mempunyai Metro TV dan Media Indonesia, juga mempunyai
kepentingan dengan mengkritik habis pemerintahan SBY. Menurut hemat penulis,
hal ini juga terkait dengan suksesi kepemimpinan nasional pada 2014, yang mana
kita masih menunggu gebrakan yang dilakukan oleh Surya Paloh dengan Nasional
Demokratnya.
Akhirnya, di dalam kajian komunikasi
ada yang dinamakan dengan teori: ekonomi
politik media. Di balik sebuah media, pasti ada ideologi yang bermain.
Dalam kasus TV One, Metro TV, dan Media
Indonesia, ada kepentingan pemilik media yang bermain. Mereka memanfaatkan
modal media sebagai alat memuluskan kepentingan mereka. Apa pun yang
diwacanakan oleh tiga media ini, pasti tidak bisa dipisahkan dengan Surya Paloh
dan Aburizal Bakrie sebagai pemilik. Hal ini sebenarnya menjadi permasalahan
dalam konteks wacana yang berkembang di masyarakat, karena setiap wacana yang
berkembang di tengah-tengah mereka pasti ada kepentingan yang bermain. Mungkin
ke depan, hal ini bisa terselesaikan oleh para pengkaji Ilmu Komunikasi atau
pihak terkait lainnya. Tapi yang pasti, penulis sekali lagi mengingatkan bahwa
wacana boikot media yang diwacanakan Dipo Alam adalah representasi ketidakmampuan SBY memimpin
bangsa ini sekaligus adalah bukti Reformasi yang dicanangkan pada tahun 1998 tidaklah
berjalan sesuai yang diinginkan, karena gaya Orde Baru masih melekat di
pemerintahan SBY. Wallahu a’lam bi
al-shawab.
Yogyakarta,
09 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar