Jumat, 09 November 2012

Boikot Media: Orba Gaya Baru



Boikot Media: Orba Gaya Baru
Darwin
            Ajakan boikot oleh Sekretaris Kabinet Dipo Alam kepada tiga media yang selalu mengkritik pemerintah, yakni: TV One, Metro TV, dan Media Indonesia  (Tempo, edisi 23 Februari 2011), adalah bagian dari buruknya perjalanan rezim pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama ini. Banyak sekali kekurangan rezim SBY selama memimpin negeri ini terkait dengan kehidupan masyarakat bawah. Kemiskinan, kebodohan, martabat bangsa yang digadaikan, bencana alam, ketidakadilan hukum dan berbagai persoalan bangsa lainnya adalah hal yang berkaitkelindan dengan rezim ini. 

            Hal ini membuktikan seorang SBY sebenarnya sudah tidak layak lagi memimpin negeri yang terbentang dari Sabang sampai Merauke ini. Terlalu banyak persoalan bangsa yang tidak bisa diselesaikan oleh SBY. Persoalan satu belum selesai, muncul persoalan lainnya. Anehnya, SBY malah menjawab semua itu dengan pencitraan, tidak mau dikritik, pengalihan isu, dan “beribu” trik lainnya layaknya pesulap di atas panggung yang mengelabui penonton. Kita tahu selama ini rezim SBY selalu disibukkan dengan angka-angka statistik yang tidak berkait samasekali dengan kepentingan rakyat banyak. Statistik yang hanya sebagai klaim keberhasilan pemerintahan. Oleh karena itu, para tokoh agama kita menganggap rezim SBY ini penuh dengan kebohongan. 

            “Kasus” boikot media adalah salah satu bukti bahwa rezim SBY adalah rezim antikritik. Rezim SBY bisalah disamakan dengan rezim yang memimpin mayoritas negara-negara di Timur Tengah saat ini, atau rezim yang menguasai Cina yang mengontrol secara ketat media-media yang ada di negeri itu. Kalau kita kembali ke negara kita, boikot media adalah penjelmaan kembali Orde Baru. Dulu rezim Orde Baru memang suka membredel media yang berseberangan pendapat dengan pemerintah. Media yang “mengganggu” ideologi pemerintah siap-siap dicabut izin usahanya. Sekarang melalui seorang Dipo Alam keinginan untuk memboikot media kembali diwacanakan. Tidak tanggung-tanggung, media yang diancam tersebut adalah media milik orang kaya yang selama ini cukup dikenal oleh masyarakat.

TV One, Metro TV, Media Indonesia
            TV One adalah adalah milik grup Bakrie yang pimpinannya adalah Aburizal Bakrie, penguasa Partai Golkar sekarang. Sementara,  Metro TV dan Media Indonesia adalah milik Media Grup yang dikomandoi oleh Surya Paloh, salah seorang pencetus Nasional Demokrat. Melihat realitas ini, adalah wajar jika media-media ini “menyerang” habis-habisan rezim SBY. Sebagaimana kita tahu, Partai Golkar pimpinan Aburizal adalah salah satu penguasa parlemen saat ini yang menduduki kursi nomor dua terbanyak sesudah Partai Demokrat. Pasti ada kepentingan-kepentingan politik yang bermain. Hal ini bisa saja dikaitkan dengan Pemilihan Presiden pada 2014. Dalam hal ini, Golkar tentu tidak akan tinggal diam karena duduk di kekuasaan itu sangat menggiurkan, apalagi kursi nomor satu di negeri ini.

            Setali tiga uang dengan Grup Bakrie dengan TV One-nya. Media Grup yang mempunyai Metro TV dan Media Indonesia, juga mempunyai kepentingan dengan mengkritik habis pemerintahan SBY. Menurut hemat penulis, hal ini juga terkait dengan suksesi kepemimpinan nasional pada 2014, yang mana kita masih menunggu gebrakan yang dilakukan oleh Surya Paloh dengan Nasional Demokratnya.

            Akhirnya, di dalam kajian komunikasi ada yang dinamakan dengan teori: ekonomi politik media. Di balik sebuah media, pasti ada ideologi yang bermain. Dalam kasus TV One, Metro TV, dan Media Indonesia, ada kepentingan pemilik media yang bermain. Mereka memanfaatkan modal media sebagai alat memuluskan kepentingan mereka. Apa pun yang diwacanakan oleh tiga media ini, pasti tidak bisa dipisahkan dengan Surya Paloh dan Aburizal Bakrie sebagai pemilik. Hal ini sebenarnya menjadi permasalahan dalam konteks wacana yang berkembang di masyarakat, karena setiap wacana yang berkembang di tengah-tengah mereka pasti ada kepentingan yang bermain. Mungkin ke depan, hal ini bisa terselesaikan oleh para pengkaji Ilmu Komunikasi atau pihak terkait lainnya. Tapi yang pasti, penulis sekali lagi mengingatkan bahwa wacana boikot media yang diwacanakan Dipo Alam adalah  representasi ketidakmampuan SBY memimpin bangsa ini sekaligus adalah bukti Reformasi yang dicanangkan pada tahun 1998 tidaklah berjalan sesuai yang diinginkan, karena gaya Orde Baru masih melekat di pemerintahan SBY. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Yogyakarta, 09 Maret 2011

           



[1] Disampaikan dalam Forum Diskusi Rutin KBM, 17 Maret 2011, di Jalan Golo, Tamsis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar